Geliat ”Kampung Caping” dari Tepian Kapuas
Kampung Mendawai atau dikenal ”Kampung Caping” di tepian sungai Kapuas, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, memiliki potensi pariwisata dan semangat gotong royong. Potensi itu modal dasar geliat kampung secara perlahan.
Tepian Sungai Kapuas di satu sisi terdapat masalah, seperti kawasan kumuh, sampah, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Di sisi lain, ada potensi wisata dan semangat gotong royong. Potensi itu modal dasar perlahan menumbuhkan geliat ”Kampung Caping”.
Asep (19), operator wisata sampan di Kampung Mendawai (Kampung Caping), Kelurahan Bansir Laut, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, meniti tangga menuju sampan yang bersandar di tepian Sungai Kapuas, Sabtu (3/4/2021) pagi. ”Silakan naik,” ujar Asep sembari senyum mempersilakan Kompas naik ke sampan.
Ia memegangi sampan itu agar tak bergoyang. Asep mulai mengayuh dayung. Perahu pun menjauh dari dermaga. Sesekali perahu bergoyang terkena gelombang dari motor air, kapal dan perahu cepat (speedboat) yang sibuk melintas di Kapuas.
Warga tepian Kapuas terlihat sibuk dengan aktivitas rutin mandi dan mencuci sembari memakai topi caping di bawah rumah panggung. Ada pula yang menyeruput secangkir kopi. Dari kejauhan tampak jembatan kapuas membelah Kapuas. Sesekali terdengar pesawat terbang penyapu langit kota khatulistiwa itu.
Menyusuri Kapuas sekitar 1 jam ke hulu dan hilir dengan sampan bisa merasakan denyut kehidupan tepian Kapuas. Selain speedboat pengangkut orang, juga kapal-kapal barang. Sesekali terlihat warga berperahu motor menuju lokasi yang agak jauh mencari ikan.
”Di tepi Kapuas saat menjelang Lebaran biasanya ada Festival Meriam Karbit. Dentumannya sahut-sahutan,” ujar Asep, sedikit menjelaskan budaya tepian Kapuas.
Asep kerap kali membawa wisatawan baik warga Pontianak maupun luar Pontianak. ”Terkadang ada anak-anak muda menikmati senja dari Kapuas. Setelah itu nongkrong di tepi sungai,” kata Asep.
Baca juga: Merindu Wisata Sungai Kapuas
Bersampan salah satu paket wisata khusus di kampung Mendawai atau dikenal wisata Kampung Caping. Ada juga wisata bersampan sembari menjala ikan didampingi operator pengayuh sampan dan penjala ikan. Ikannya bisa dibawa pulang oleh wisatawan.
Jika ingin mengayuh sendiri, juga ada disediakan wisata bermain kano di pinggir Kapuas, tentunya di lokasi yang aman dengan pendampingan operator. Selain itu, dilengkapi pula jaket pelampung.
Ada juga susur sungai dengan menggunakan speedboat yang juga didampingi operator. Susur sungai diikuti beberapa orang. Biasanya ada sekitar lima orang dibawa menyusuri Kapuas.
Di kampung Mendawai wisatawan juga bisa melukis dengan media topi caping. Sebab, Kampung Mendawai dikenal juga sebagai kampung caping karena di daerah tersebut terdapat para perajin topi caping. Perlengkapannya disediakan pengelola.
Ada juga wisata makan saprahan. Tradisi saprahan adalah tradisi makan bersama duduk di lantai. Nasi, sayur dan lauk-pauk di mangkok/piring dihidangkan di lantai yang telah diberi alas. Masyarakat duduk melingkar menghadap ke hidangan yang telah disiapkan.
Masakannya harus dipesan lebih awal agar segar. Menu makan saprahan di antaranya ada ikan asam pedas dari berbagai jenis ikan. Harga makanan tergantung jenis ikan. Ikan semah yang bisa dimasak asam pedas misalnya, dipatok agak mahal Rp 50.000-Rp 100.000. Selain itu, ada juga nasi kebuli.
Inklusi sosial
Di Kampung Caping juga ada Rumah Ide. Rumah panggung 15 meter persegi itu memiliki perpustakaan dengan 3.000 koleksi buku, antara lain, karya umum, filsafat, psikologi, agama, sosiologi, dan kesusastraan. Dengan adanya perpustakaan, masyarakat diharapkan mendapatkan wawasan yang bermanfaat untuk inklusi sosial.
Selain sebagai perpustakaan, Rumah Ide juga menjadi pusat pelayanan atraksi dan paket-paket wisata minat khusus, baik wisata air maupun budaya. Fungsi lainnya adalah tempat pertemuan dan kantor pusat informasi masyarakat. Informasi pariwisata pun bisa dicari di situ.
Tak hanya itu, Rumah Ide juga menjadi etalase pelestarian permainan tradisional, antara lain gasing dan ketapel. Pupuk cair hasil pengolahan sampah di Rumah Magot juga dipajang di Rumah Ide.
Sekitar 30 meter dari Rumah Ide terdapat Rumah Kreatif. Di Rumah Kreatif terdapat pojok literasi berisi buku-buku. Di halamannya terdapat gerobak baca bagian dari kegiatan Perpustakaan Bahagia Mendawai.
Baca juga: Mengembalikan Sungai sebagai Wajah Pontianak
Di gerobak baca ada berbagai koleksi buku yang biasa dimanfaatkan anak-anak. Seperti pagi itu, Muhammad Farhan (13), salah satu anak yang sedang membaca di gerobak baca. ”Saya biasanya membaca buku cerita ataupun komik. Sering juga membaca buku-buku pelajaran sekolah,” ujarnya.
Demikian juga Rizky Aris Ginanjar (14) yang sedang membaca atlas dan Matematika di gerobak baca. ”Dengan adanya gerobak baca, ada pilihan buku selain buku-buku yang ada di sekolah,” ujar Rizky.
Rumah Kreatif juga berfungsi sebagai sanggar seni dan aula kampung. Aktivitas seni di situ, antara lain, tari, musik, pantun, kerajinan, dan melukis. Keberadaannya juga sebagai upaya melestarikan kebudayaan.
Rumah Kreatif tersebut meminjam rumah warga. Ada warga yang suka rela meminjamkan rumahnya untuk aktivitas tersebut. Alamul Huda (53), tokoh setempat yang suka rela meminjamkan rumah tersebut.
”Saya meminjamkan karena dari hati. Amanah dari orangtua untuk menjaga kampung Mendawai. Saya menanamkan kepada masyarakat untuk mencintai kampung. Selagi masih diperlukan silakan rumah ini dipakai, yang penting bisa merawatnya,” ujarnya.
Di Kampung Caping juga terdapat aktivitas pengelolaan sampah di Rumah Magot yang terpisah dari Rumah Ide dan Rumah Kreatif. Sampah dari masyarakat ada yang diantar ke Rumah Magot dan ada juga petugas bank sampah mengambil ke rumah warga. Sampak organik dan non-organik dipilah, ada diolah menjadi kompos melalui komposter. Sementara sampah plastik dan botol dijual ulang.
Endang Purnama (49), Ketua Bank Sampah Berkah Mendawai, menuturkan, sejak ada bank sampah kesadaran masyarakat mengelola sampah perlahan membaik. Mereka mengantar sampah ke bank sampah. Sebelumnya, banyak warga membuang sampah ke sungai.
Berbagai gerakan tersebut dimotori Akademi Ide Kalimantan. Akademi Ide Kalimantan merupakan perkumpulan yang bergerak dalam bidang ekonomi kreatif, pariwisata, lingkungan hidup, dan kemanusiaan.
Ekonomi kreatif
Ketua Akademi Ide Kalimantan Beny Than Heri menuturkan, pihaknya fokus bergerak di Kampung Mendawai sejak 2019. Ia terdorong membuat berbagai program karena di satu sisi masih ada masalah, antara lain, masyarakatnya sebagian besar berpenghasilan menengah ke bawah dan termasuk kawasan kumuh.
”Namun, di sisi lain juga terdapat potensi, misalnya wisata sungai,” ujar Beny.
Pendekatannya juga perlu holistik karena minat masyarakat berbeda; seni, olahraga dan budaya, pendidikan dan ekonomi. ”Percuma kalau lingkungan bersih, tetapi ekonomi tidak memadai. Maka, dikembangkan juga pariwisata minat khusus,” ujarnya.
Kampung-kampung di tepi sungai Kapuas merupakan kampung lama, antara lain, Kampung Mendawai, Beting, Tambelan, dan Kamboja. Bahkan, cikal-bakal Kota Pontianak dari tepian Sungai Kapuas, yakni di Kampung Beting. Di tepian sungai juga terdapat potensi sosial-budaya, semangat gotong royong dan potensi produksi caping turun-temurun.
”Ini potensi menarik, branding menarik untuk dikembangkan. Potensi lainnya masyarakat menjala dan sampan,” kata Beny.
Dari situlah lahir paket-paket wisata minat khusus, seperti menjala ikan dan naik sampan. Membangun pariwisata berdasarkan kearifan lokal. Penghasilan dari paket wisata ada yang diberikan untuk operator, kas kampung, dan kegiatan kampung. Daerah itu juga dipercantik dengan mural dan warna-warni untuk menghilangkan kesan kumuh.
Daerah itu juga didorong menjadi kampung kreatif melalui program kreatif kampung caping untuk melahirkan usaha baru. Di Kampung Mendawai terdapat perajin topi caping turun-temurun. Caping dahulu dipergunakan nelayan dan petani. Kini dipergunakan untuk aktivitas sehari-hari di sungai.
Sentuhan kreatifnya dari sisi variasi warna sehingga nilai jualnya bisa lebih tinggi dari yang biasanya Rp 10.000 per buah menjadi Rp 35.000 per buah. Produk dipasarkan ke berbagai daerah di Kalbar untuk keperluan pertanian. Ada juga suvenir dalam ukuran kecil.
Perajin topi caping di Kampung Mendawai 59 orang. Rosila Wati (53), salah satu perajin caping, misalnya generasi ketiga pembuat caping. Memproduksi caping menjadi mata pencarian utama. Dari caping ia bisa membiayai anak-anaknya sekolah. Per bulan penghasilan bersih sekitar Rp 2 juta.
Demikian juga Hamidah (55) yang menjadi perajin topi caping sejak usia belasan tahun. Ia belajar dari ibunya. Dalam dua hari caping yang dihasilkan sekitar 1 kodi atau setara dengan 20 topi caping.
Menjalankan program-program tersebut tidaklah mudah karena diperlukan pengorbanan waktu bahkan biaya. Untuk menghimpun dana, Akademi Ide Kalimantan membuka donasi yang disebut ”Bos Baik”, yaitu sumbangan Rp 10.000 per bulan bagi yang ingin berdonasi.
Dana yang terkumpul untuk pengembangan sektor ekonomi kreatif. Dari dana itu juga untuk mempercantik kampung dan juga membantu masyarakat, misalnya ada yang kehilangan mesin perahu, diganti dengan uang tersebut.
”Pemerintah juga membantu, misalnya material membangun jalan dan cat memperindah kampung dan fasilitas-fasilitas perlengkapan pariwisata, musik dan buku-buku,” kata Beny.
Tantangan lainnya, mengubah pola pikir masyarakat dan ikut berpartisipasi dalam membangun kampung. Masyarakat tidak semuanya langsung menerima maka perlu pendekatan dari berbagai sisi.
Peran serta sukarelawan (volunteer) juga diperlukan. Akademi Ide Kalimantan memberdayakan volunteer program, yakni sebagai fasilitator, pemikir, dan pendamping. Ada juga volunteer supporter bergabung secara terbuka yang memiliki keahlian tertentu, misalnya desain, fotografi, dan tari.
Kemudian, volunteer leader, yaitu organisasi-organisasi yang ada di masyarakat, sebagai contoh ketua bank sampah dan ketua sanggar seni. Lalu, volunteer follower yang tergabung dalam komunitas bidang, antara lain ekonomi, pariwisata, lingkungan dan kemanusiaan.
Ada juga mitra fokus, yaitu pihak di luar Kampung Mendawai yang membantu pengembangan Kampung Mendawai. Contohnya, untuk pengembangan seni ada dari Program Studi Seni Universitas Tanjungpura Pontianak. Ada juga yang mengajarkan kelas bahasa Inggris. Kemudian, ada pihak yang menyumbang internet gratis saat siswa belajar daring.
”Dalam bidang kesiapsiagaan bencana juga ada. Mereka suka rela,” ujar Beny.
Perjuangan Akademi Ide Kalimantan masih panjang. Beny memiliki mimpi wisata di tepian Sungai Kapuas terintegrasi. Wisatawan yang biasanya naik kapal bandong dari Alun-alun Kapuas diharapkan singgah di kampung tepian Kapuas melihat potensi ekonomi kreatif masing-masing lokasi. Keberadaan sanggar seni juga diharapkan menumbuhkan keahlian baru sehingga bisa menjadi keahlian untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman menuturkan, pemerintah hendaknya bekerja sama dengan inisiatif-inisiatif masyarakat seperti itu. Pembangunan tidak selalu dari pemerintah (top down), bisa juga dari masyarakat.
Oleh karena itu, jika ada kelompok-kelompok masyarakat menginisiasi program-program pemberdayaan ataupun peningkatan kapasitas masyarakat, pemerintah pantas berterima kasih. Pemerintah juga hendaknya mendengarkan serta berkolaborasi dengan kegiatan seperti itu.
[video width="1920" height="1080" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/04/Untitled-45-1920x1080-851Mbps-2021-04-15-12-44-27.mp4"][/video]
Dengan demikian, capaian program inisiatif tersebut berkesinambungan. Dukungan dari pemerintah yang bisa dilakukan, misalnya memadukan perencanaan pemerintah dan yang dilakukan kelompok masyarakat. Dengan demikian, inisiatif masyarakat disamping bermanfaat bagi peningkatan kapasitas masyarakat, juga bisa sejalan dengan perencanaan pembangunan pemerintah daerah.
”Namun, pemerintah jangan mengambil alih program mereka, malah tidak bagus karena inisiatif dari kelompok seperti itu biasanya sudah mempelajari masalah riil di lapangan. Inisiatif dari bawah cenderung lebih berhasil daripada dari atas,” ujar Eddy.
Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menuturkan, inisiatif-inisiatif dari perkumpulan/komunitas ini sangat diharapkan. Jika banyak muncul inisiatif seperti itu, akan mempercepat pembangunan Pontianak menjadi kota pariwisata yang arif dengan kekhasannya.
”Masyarakat harus aktif dengan berbagai bentuknya, wisata, seni, dan budaya,” ujar Edi.
Pemerintah Kota Pontianak melihat inisiatif tersebut pihaknya langsung ”menangkap” animo tersebut. Ia telah mengarahkan organisasi perangkat daerah terkait untuk berkolaborasi. Dengan adanya kolaborasi, program-program penting juga bisa terwujud. Seperti di Kampung Caping, masyarakatnya sudah sadar wisata dan perlu terus ditingkatkan. Arah kebijakan Pemkot Pontianak dalam membangun tepian sungai Kapuas sejak enam tahun lalu membangun konsep kota baru.
”Wajah depan Kota Pontianak adalah sungai. Maka, sudah dibangun lintasan untuk pejalan kaki di tepian sungai (waterfront) di beberapa lokasi. Hal itu dilakukan berkelanjutan. Infrastuktur dibangun sebagai pemacau aktivitas, salah satunya pariwisata,” ujar Edi.