Provinsi Sulteng menutup perbatasan dengan provinsi lain untuk penegakan larangan mudik. Namun, mudik lokal di dalam wilayah aglomerasi tetap dibolehkan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Penjagaan atau penyekatan untuk menegakkan larangan mudik di Sulawesi Tengah difokuskan di perbatasan dengan provinsi lain. Titik-titik perbatasan ditutup untuk mobilitas orang.
”Kami fokuskan (penyekatan) di perbatasan dengan provinsi lain. Ini yang dikunci mati. Masyarakat dari sana tidak bisa masuk ke Sulteng, begitu pula masyarakat Sulteng tak bisa ke sana. Hal ini sudah disepakati bersama,” kata Gubernur Sulteng Longki Djanggola seusai memimpin apel pasukan gabungan Operasi Ketupat Tinombala dalam rangka penjagaan Idul Fitri di Palu, Sulteng, Rabu (5/5/2021).
Perbatasan yang menjadi fokus tersebut adalah perbatasan dengan Gorontalo di Kabupaten Parigi Moutong, dengan Sulawesi Selatan di Poso, dengan Sulawesi Tenggara di Morowali, serta dengan Sulawesi Barat di Donggala. Empat perbatasan tersebut ditutup untuk mobilitas orang pada masa larangan mudik, 6-17 Mei 2021.
Di empat pos itu, petugas gabungan Polri, TNI, dinas perhubungan, dan satpol PP berjaga. Namun, kendaraan yang mengangkut kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak diizinkan untuk melintas, baik dari Sulteng maupun masuk ke Sulteng.
Longki menegaskan, larangan mudik murni bertujuan mengendalikan penularan Covid-19. Langkah itu bentuk kewaspadaan agar kasus-kasus penularan Covid-19 bisa ditekan.
Kasus Covid-19 di Sulteng masih cukup tinggi. Tambahan kasus baru secara harian 20-50 kasus dengan penularan terbanyak di Kota Palu, Buol, dan Parigi Moutong. Sulteng pun berstatus zona oranye yang berarti risiko penularan Covid-19 berkategori sedang. Sulteng diwajibkan menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro.
Meski keempat titik perbatasan dengan provinsi lain dikunci, Sulteng masih membolehkan mudik lokal dalam cakupan aglomerasi (sejumlah daerah bertetangga yang saling terkait secara ekonomi dan sosial). Pos penyekatan mudik tak perlu dibangun di perbatasan daerah aglomerasi tersebut. Namun, pergerakan orang di daerah aglomerasi tersebut tetap perlu dipantau.
Sulteng memiliki empat daerah aglomerasi, yakni Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong; Poso dan Tojo Una-Una; Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut; serta Tolitoli dan Buol.
Longki menyebutkan, mudik lokal di daerah aglomerasi tersebut sudah dipertimbangkan dengan baik. Orang-orang yang mudik lokal tersebut diklaim gampang dipantau dan dievaluasi perkembangan kesehatannya karena mereka berada di lingkungan keluarga dekat.
Namun, mudik di luar aglomerasi tetap tak diperbolehkan. Pos penyekatan juga dibangun di daerah-daerah yang tak masuk kategori aglomerasi untuk menegakkan larangan mudik.
Pada kesempatan sama, Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Abdul Rakhman Baso menyampaikan, pihaknya mendirikan 50 pos terpadu. Di pos-pos tersebut, aparat gabungan Polri, TNI, dan lintas instansi mengecek warga yang bepergian. Total personel gabungan di pos-pos tersebut sebanyak 3.367 orang.
”Kalau warga mudik di luar daerah aglomerasi, ya, kami harus tegas. Mereka harus balik ke tempat tinggalnya,” kata Rakhman.
Dipertanyakan
Rakhman mengharapkan agar warga paham terkait dengan larangan mudik yang sudah disosialisasikan pemerintah selama ini. Partisipasi tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda sangat diharapkan untuk menyampaikan larangan tersebut. Tujuannya agar penularan Covid-19 terkendali.
Namun, mudik lokal di wilayah aglomerasi dipertanyakan warga. Rahman Ody (38), warga Kabupaten Sigi, menyatakan, kebijakan itu membingungkan dalam konteks pengendalian Covid-19. Dia menyatakan, seharusnya pemerintah tegas dengan melarang mudik di semua level tanpa ada pengecualian.
”Siapa yang menjamin mobilitas orang di daerah aglomerasi bebas dari penularan Covid-19? Memangnya Covid-19 pilih-pilih daerah untuk menyebar. Ini penyakit menyebar seturut dengan pergerakan orang. Jadi, pergerakan orang itu yang dilarang, bukan pilih-pilih daerah,” katanya.