Risiko penularan Covid-19 masih tinggi. Sembari menunggu kesiapannya, ketimpangan antarsiswa dalam menguasai pelajaran harus dipangkas dengan kerja ekstra melalui beragam cara inovatif.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Lebih dari setahun berjalan, pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 melahirkan beragam persoalan. Sejumlah siswa kewalahan mengikuti pelajaran sehingga kemampuannya tertinggal dibanding dengan teman-teman sekelasnya. Menyambut rencana sekolah tatap muka, para guru bekerja ekstra untuk mengatasi ketertinggalan siswa itu.
Suasana SD Negeri Harapan 1 Kota Cimahi, Jawa Barat, terasa sunyi, Senin (3/5/2021) siang. Hampir semua ruangan kelasnya kosong karena sedang menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Di salah satu ruangan, Voni Susilastuti (32), guru kelas II, duduk sambil membalikkan lembar demi lembar buku pelajaran membaca. Di beberapa halaman tertulis nama siswa-siswanya sebagai penanda penguasaan materi pembelajaran.
”Tujuannya memudahkan memantau perkembangan siswa menguasai pelajaran. Jadi, saya punya pegangan tentang kemampuan mereka,” ujarnya.
Meskipun sedang PJJ, Voni tetap datang ke sekolah. Sebab, 12 dari 35 siswanya belum bisa membaca. Ia pun memberikan tambahan jam pelajaran. Jadwalnya digilir setiap dua siswa per hari dari Senin hingga Sabtu.
Voni tak merasa terbebani dengan beban kerja esktra itu. Ia pun berkonsultasi dengan rekannya yang menjadi guru siswa tersebut di kelas I. Tujuannya, memetakan kemampuan siswa.
”Saya percaya tidak ada anak yang bodoh. Kemampuan setiap siswa tidak sama. Pendekatannya pun mesti berbeda,” ujarnya.
Saat mengikuti pelajaran tambahan, siswa diwajibkan menggunakan masker dan menjaga jarak. Mereka juga harus mencuci tangan sebelum masuk kelas. Durasi belajar hanya 1-2 jam. Ketentuan ini untuk mencegah penularan Covid-19.
Tak cukup memberikan tambahan jam pelajaran di sekolah, Voni juga memantau perkembangan siswa melalui komunikasi intens dengan orangtua lewat aplikasi pesan Whatsapp. Biasanya, ia meminta orangtua merekam suara siswa saat melafalkan beberapa kalimat.
Ia menekankan kepada orangtua untuk tidak mendikte anaknya. Hal itu dilakukan Voni untuk mengetahui kemampuan siswa yang sebenarnya.
”Harus dua arah antara guru dan orangtua. Saya yakin mereka (siswa) bisa membaca jika terus dilatih,” ujarnya.
Voni berupaya agar ke-12 siswa itu bisa membaca sebelum ujian kenaikan kelas. Dengan begitu, mereka tidak semakin kewalahan saat naik ke kelas III.
”Kenaikan kelas sekitar Juli. Masih ada waktu. Beberapa anak sudah berkembang. Namun, masih ada empat anak yang terbata-bata mengeja,” ujarnya.
Yoga Adi Pratama (26), guru kelas IV, mengalami persoalan berbeda. Lima siswanya belum menguasai kemampuan perkalian dan pembagian dasar. Padahal, ini penting untuk menguasai materi pelajaran selanjutnya, seperti menghitung pecahan desimal dan akar kuadrat.
”Lima siswa masih bisa saya beri treatment khusus dengan kunjungan belajar secara berkelompok di salah satu rumah siswa. Untuk dua siswa lainnya agak sulit karena orangtua tidak mendukung,” jelasnya.
Akan tetapi, sejak 13 April atau 1 Ramadhan, kegiatan kunjungan siswa ditiadakan. Sebab, selama Ramadhan para siswa difokuskan mengikuti pelajaran budi pekerti dan pesantren kilat melalui siaran televisi lokal di Cimahi.
Untuk mengasah kemampuan anak didiknya, Yoga memberikan tugas yang dibagikan melalui grup Whatsapp setiap hari. Sementara perintah mengenai cara mengerjakan soal itu dijelaskan melalui rekaman suara.
Pernah buat materi pembelajaran di Youtube, tetapi sedikit yang menonton. Mungkina karena orangtua atau siswa perlu beberapa langkah lagi untuk mengaksesnya. Berbeda dengan lewat Whatsapp yang bisa langsung dibuka.
”Tantangan mengajar saat pandemi memang kompleks. Beragam cara harus dicoba. Kalau, misalnya, siswa lambat atau tidak merespons, saya telepon mereka satu-satu,” ucapnya.
Salah satu tantangannya adalah metode pembelajaran yang berubah-ubah mengikuti situasi pandemi. Saat masuk zona merah Covid-19, kunjungan belajar ditiadakan sehingga seluruhnya daring.
Hal ini menuntut guru berinovasi untuk membuat platform pengajaran yang sesuai meski tidak semuanya berhasil karena kurang diminati siswa.
”Pernah buat materi pembelajaran di Youtube, tetapi sedikit yang menonton. Mungkin karena orangtua atau siswa perlu beberapa langkah lagi untuk mengaksesnya. Berbeda dengan lewat Whatsapp yang bisa langsung dibuka,” jelasnya.
Pada Februari lalu, Dinas Pendidikan Kota Cimahi melalui sekolah membagikan kuesioner kepada orangtua siswa. Lewat kuesioner itu dihimpun data 14,98 persen dari 7.515 siswa kelas II SD di Kota Cimahi belum bisa membaca.
Untuk mengatasi hal itu, sejumlah guru muda di Cimahi didorong memberikan tambahan jam belajar guna meningkatkan kemampuan membaca siswa. ”Namun, sifatnya terbatas. Per sesi hanya 2-3 siswa. Bagaimanapun keselamatan siswa (agar tidak terpapar Covid-19) tetap yang utama,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi Harjono, Selasa (4/5/2021).
Harjono mengatakan, pihaknya sedang bersiap melakukan uji coba pembelajaran tatap muka (PTM). Menurut dia, sekitar 80 persen SMP, 60 persen SD, dan 50 persen taman kanak-kanak dan pendidikan anak usia dini telah menyatakan kesiapan menggelar PKM.
Sekitar 70 persen dari 4.600 guru juga sudah divaksin Covid-19. Jumlahnya akan bertambah karena 2.000-an guru yang sempat tertunda divaksin segera disuntik vaksin.
Akan tetapi, Harjono mengingatkan agar sekolah tidak memaksakan diri menyatakan kesiapan menggelar PKM. ”Kalau tidak siap, sampaikan apa adanya. Sebab, tetap ada kemungkinan sekolah menerapkan PJJ,” ujarnya.
Meskipun sudah lama ditunggu, rencana pembelajaran tatap muka mesti dipertimbangkan matang-matang. Sebab, risiko penularan Covid-19 masih tinggi. Sembari menunggu kesiapannya, ketimpangan antarsiswa dalam menguasai pelajaran harus dipangkas dengan kerja ekstra melalui beragam cara inovatif.