Merawat Semangat Kemanusiaan Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya
Laksamana Muhammad Cheng Hoo, bahariwan terbesar China, juga mewariskan misi kemanusiaan Islami dalam penjelajahan masa silam sehingga komunitas Muslim Tionghoa Surabaya, Jawa Timur, mengabadikannya sebagai nama masjid.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
”Silakan diterima, Pak,” kata seorang pengurus Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya, Jawa Timur, pada suatu senja di akhir April 2021. Saat itu, 30 menit dari jadwal buka puasa.
Lelaki muda itu menyerahkan tiga butir kurma dalam plastik dan segelas air minum serta sedotan. Semua orang yang datang ke kompleks masjid di pertemuan Jalan Gading dan Jalang Mayang, Ketabang, Genteng, Surabaya, itu diberi takjil yang sama untuk buka puasa.
”Maaf, saya tidak berpuasa, saya bukan Muslim, dan saya ke sini untuk memotret jika diperkenankan,” kata penulis membalas.
”Lho, tidak apa-apa, Pak, diterima saja. Silakan dinikmati dan juga selamat memotret,” kata pengurus itu dengan amat ramah.
Bulan Ramadhan telah berlangsung hampir tiga pekan. Selama bulan suci dalam masa pandemi Covid-19, tidak sekali penulis datang ke tempat ibadah yang diresmikan pada 13 Oktober 2002 itu. Setiap kali datang, penulis selalu diberi takjil. Padahal, panitia buka puasa dan shalat Maghrib tahu kalau yang datang adalah jurnalis dan tidak seiman.
Namun, Ramadhan adalah bulan suci, penuh berkah. Di banyak tempat di Surabaya, selalu ada masyarakat yang membagikan takjil kepada orang lain. Mereka tidak peduli apakah yang menerima sedang berpuasa atau tidak. Takjil, makanan dan minuman sederhana untuk berbuka puasa, adalah berkah bagi siapa saja yang menerima dan menikmatinya.
Di Masjid Muhammad Cheng Hoo, ketika terdengar adzan tanda buka puasa, penulis dan lebih dari 100 orang yang datang ke sana segera menikmati kurma dan segelas air minum itu. Umat kemudian bersiap untuk shalat, sedangkan penulis bersiap memotret. Seusai shalat, umat menerima nasi kotak dan pulang. Di masjid yang tersisa hanya pengurus dan panitia serta segelintir umat yang kemudian menyantap hidangan berbuka puasa. Tarawih diadakan dengan peserta yang amat terbatas untuk memastikan penerapan protokol kesehatan demi menekan potensi penularan Covid-19.
Situasi itu sedikit lebih hidup dibandingkan dengan Ramadhan tahun lalu ketika serangan pandemi Covid-19 sedang ganas-ganasnya. Selama Ramadhan 2020, kegiatan buka puasa dan shalat berjamaah ditiadakan. Namun, umat tetap menerima makanan dan minuman untuk buka puasa, tetapi diminta menikmatinya di rumah. Tahun lalu, shalat Idul Fitri terpaksa ditiadakan untuk mendukung penanganan Covid-19 agar melandai.
Lestari
Dari namanya, kompleks masjid seluas 3.070 meter per segi ini jelas menandakan asalnya, yakni China atau Tiongkok. Masjid dinamai dari sosok laksamana dan bahariwan terbesar China klasik, yakni Cheng Hoo (Zheng He), yang menurut catatan prasasti di tempat ibadah tersebut hidup dalam kurun 1371-1435. Surabaya atau Jatim saat itu berada dalam penguasaan Majapahit.
Prasasti menyebutkan, Cheng Hoo keturunan dari suku Hui dari daratan Xinjiang yang turun-temurun menganut Islam. Dalam perjalanan hidup, Cheng Hoo dikenal sebagai juru damai yang ulung serta Muslim yang saleh dan taat sehingga menjadi kepercayaan kerajaan. Pada 1405, Kaisar Dinasti Ming memerintahkan Cheng Hoo memimpin ekspedisi bahari dari China sampai pantai timur Afrika dengan kekuatan 100 kapal dan 27.800 orang.
Perjalanan itu lebih dahulu 87 tahun dari ekspedisi Christopher Columbus yang berujung penemuan Benua Amerika. Juga lebih dahulu 92 tahun dari ekspedisi Vasco da Gama untuk menemukan jalur pelayaran Eropa-Afrika-India. Ekspedisi Cheng Hoo menempuh 296.000 kilometer selama 7 tahun, mengunjungi lebih dari 50 negara saat itu dan mampu membuka 41 jalur pelayaran internasional yang beberapa di antaranya mencakup Nusantara (Indonesia).
Berbagai catatan sejarah juga membuktikan bahwa ekspedisi Cheng Hoo sampai di Nusantara dan berkontak dengan komunitas Muslim asal China yang telah bermukim di Nusantara pada abad ke-15. Perkembangan Islam di Nusantara termasuk semenanjang Melayu juga dipengaruhi oleh keberhasilan ekspedisi Cheng Hoo menggapai dunia Barat dari China. ”Jasa besar almarhum menginspirasi komunitas Muslim Tionghoa di sini untuk membangun masjid yang mengabadikan namanya,” ujar Ketua Pelaksana Harian Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia (YHMCHI) Hasan Basri.
Untuk itu, arsitekturnya tidak seperti masjid Timur Tengah, tetapi seperti kelenteng atau pagoda yang mencerminkan tempat ibadah di China. Masjid MCH terinspirasi dari Masjid Niujie di Beijing, China, yang merupakan pusat kegiatan Muslim di ibu kota negara itu sejak 996. Cheng Hoo diyakini pernah membantu pembangun kembali Masjid Niujie yang sempat hancur. Ini menandakan Cheng Hoo sebagai Muslim yang taat dan saleh.
Inspirasi
Bangunan utama adalah masjid yang memiliki kubah bertingkat seperti pagoda. Kubahnya tingkat tiga berbentuk segi delapan. Ukuran bangunan 11 meter x 9 meter. Angka 11 bermakna ukuran ka’bah saat dibangun pertama kali oleh Ibrahim 11 meter x 11 meter. Angka 9 bermakna Wali Sanga atau sembilan ulama utama dalam syiar Islam di Jawa masa klasik.
Masjid didominasi empat warna, yakni merah, hijau, kuning, dan biru. Keempat warna adalah simbol kebahagiaan, kemakmuran, kemasyuran, dan harapan. Di pelataran sisi selatan masjid, ada dinding berisi deretan prasasti dari marmer hitam dan tinta emas tentang perjalanan hidup Cheng Hoo, prasasti peresmian, dan syair-syair Tiongkok bernuansa Islami. Di pelataran sisi utara, ada relief wajah Cheng Hoo dan perjalanan atau ekspedisi sang laksamana itu.
Dalam kompleks juga terdapat gedung serbaguna Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), lapangan olahraga, ruang-ruang kursus bahasa Mandarin dan mengaji, serta kelas untuk pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar.
Sebelum serangan pandemi pada Maret 2020, aktivitas selama Ramadhan di masjid itu amat banyak dan selalu bernuansa sosial. Misalnya, cukur rambut cuma-cuma, buka puasa bersama dengan anak yatim piatu, tunawisma, dan warga miskin, pengajian bersama, serta kursus bahasa Arab dan Mandarin. Pentas seni juga diadakan secara rutin.
”Masjid bukan sekadar sebagai tempat ibadah, melainkan juga ruang sosial untuk peningkatan kualitas hidup umat,” kata Hasan.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, Masjid Muhammad Cheng Hoo bukan sekadar tempat ibadah, melainkan ruang sosial yang memancarkan nilai-nilai kemanusiaan. Di sini, wajah Islam dinyatakan dengan pengaruh kultur yang berbeda, tetapi universal. Bertahun-tahun lalu, mungkin publik mengetahui Cheng Hoo sekadar laksamana besar China, tetapi belum banyak diketahui bahwa sosok ini juga pemuka agama Islam terkemuka dan berpengaruh.
Menurut Eri, Cheng Hoo mewarisi semangat ajaran kemanusiaan, yakni keteduhan, kedamaian, ketataan, dan kecintaan terhadap manusia. ”Toleransi dan gotong royong terus dipupuk agar selalu hidup, bergema, dan menyentuh kehidupan masyarakat khususnya di Surabaya,” ujarnya.