Kisah Kapuas: Dahulu Menghidupi Kini Dieksploitasi
Sungai Kapuas di masa lalu menjadi jalur utama perdagangan dan transportasi. Kini kondisinya kritis karena berbagai aktivitas eksploitasi, salah satunya pertambangan emas tanpa izin.
Sungai Kapuas, panggung kehidupan. Ia sandaran transportasi dan perdagangan, tatkala jalur darat belum menjangkau pedalaman. Sungai juga jalur yang membuka cakrawala pendidikan. Pentingnya sungai membuatnya menjadi sumber ekspresi budaya.
Namun, eksploitasi dan berbagai kepentingan ekonomi masa kini membuat jasa-jasanya di masa lalu seakan tak bernilai lagi. Kapuas dan sungai-sungai di Kalimantan Barat kini banyak yang dalam kondisi kritis.
Kapuas sangat memegang peranan penting setidaknya dekade 1940-an hingga 1970-an saat sungai menjadi jalur transportasi utama. Kala itu, anak-anak dari timur Kalbar, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, dan Sekadau, yang hendak melanjutkan pendidikan ke SMA harus ke kabupaten/kota lainnya.
Ada yang melanjutkan sekolah ke Kota Pontianak, sekitar 400 km dari Sintang ataupun ke Nyarumkop, Kota Singkawang, sekitar 900 km dari daerah paling ujung Kalbar, yakni Kapuas Hulu. Anak-anak pedalaman menumpang kapal menyusuri Kapuas sekitar 1.143 km.
Seperti yang dituturkan Marcellus (65), warga Kapuas Hulu, yang dahulu sekolah bergantung pada transportasi sungai, kapal yang ditumpangi mengangkut hasil alam, antara lain, kayu dan karet. Hasil alam dijual ke Pontianak, setelah itu ditukar dengan barang sembako untuk dijual di pedalaman.
Seorang tokoh masyarakat di Sintang, Leonardus Mitjang (87), pernah menuturkan, sekitar tahun 1941 saat ingin sekolah, ia menumpang kapal dari Sintang ke Pontianak berminggu-minggu. Dari Pontianak dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Nyarumkop.
Kapuas juga penting sebagai urat nadi perekonomian pada masanya. Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalbar, Any Rahmayani, Jumat (23/4/2021), mengatakan, geliat ekonomi di Kapuas setidaknya sejak abad ke-18, meskipun embrionya sudah jauh sebelum itu. Hal itu terutama saat munculnya kerajaan yang menguasai pesisir Kapuas dengan transaksi hasil alam dari pedalaman. Sungai saat itu sangat penting karena jalur darat belum ada.
Sekitar tahun 1823, kolonial Belanda dalam proses menaklukkan kongsi-kongsi pertambangan China menggunakan sungai di pedalaman pesisir hingga pertengahan abad ke-19. Namun, beberapa pejabat kolonial juga ada yang mulai melirik pentingnya DAS Kapuas dan pedalaman.
Strategisnya jalur sungai benar-benar diperhatikan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 ketika mereka mulai mengeruk Sungai Kapuas untuk kepentingan kapal-kapal mereka. Jalur tersebut juga untuk kapal uap yang kecil. Di akhir abad ke-19 liberalisasi ekonomi Belanda memunculkan perusahaan dagang.
”Pada saat itu produk karet rakyat sedang booming di dunia awal abad ke-20,” ujarnya.
Pada masa itu, Sintang wilayah pedalaman paling maju karena pertemuan Sungai Melawi dan Kapuas. Sintang salah satu kota terpenting kala itu bagi pemerintah kolonial Belanda.
Meskipun sebelum kolonial juga kerajaan-kerajaan sebetulnya sudah menjalankan aktivias-aktivitas ekonomi di sungai. Integrasi ekonomi melalui sungai sudah ada sebelum campur tangan kolonial Belanda.
Sumber ekspresi budaya
Sungai berperan penting bagi peradaban masyarakat di sekitarnya. Sungai dianggap memiliki kekuatan yang menjaga kehidupan. Oleh sebab itu, berbagai ekspresi budaya menghargai sungai pun muncul.
Di beberapa daerah memiliki tradisi memandikan anak ke sungai. Contohnya, di kampung Meripit, Kabupaten Sintang, hal itu dikenal dengan nama Ngemai Mani dalam bahasa Dayak Desa. Anak-anak yang dimandikan ke sungai berusia 3-9 bulan.
”Tradisi ini membersihkan anak dari hal jahat. Setiap sungai ada semacam roh yang membersihkan. Anak-anak diharapkan panjang umur sepanjang sungai dan dijauhkan dari sumpah serapah orang,” ujar Temenggung Kampung Meripit, Thomas Rayah (76).
Samat (62), temenggung di daerah kampung Pakak, masih di daerah Sintang, menuturkan, anak-anak dimandikan ke sungai agar siap bersentuhan dengan alam dan beradaptasi. Adat tersebut dijumpai di sub-sub suku Dayak di Kalbar. Hanya saja, sebutannya berbeda satu dengan lainnya.
Sungai juga penting dalam tradisi lainnya, yakni memanggil roh padi. Padi diyakini memiliki roh. Tradisi itu misalnya dilakukan di kampung Pakak, tiga atau lima tahun sekali dilaksanakan. Roh padi diyakini berada di tempat yang jauh sehingga dipanggil melintasi sungai karena sungai terhubung dengan berbagai wilayah.
Sungai juga menjadi media memutus suatu perkara untuk membuktikan siapa yang salah dan benar. Orang yang bertikai diminta tetua kampung menyelam. Siapa yang dahulu keluar dari sungai ialah yang bersalah.
Sungai juga menjadi jalur migrasi, seperti yang dituturkan tetua adat Desa Datah Diaan di Kabupaten Kapuas Hulu, Alel Sano (78). Berdasarkan cerita turun-temurun, orang Dayak Kayan awalnya berasal dari Apo Kayan di Kalimantan Utara.
Bereka tinggal di perbukitan dan hidup berladang gilir balik. Mereka kerap mencari tempat berladang yang baik. Akhirnya bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain menyusuri sungai dan sampailah ke Desa Datah Diaan, Kapuas Hulu, wilayah Kalbar.
Sungai juga memperkuat integrasi sosial masyarakat. Sungai mempertemukan mereka dengan berbagai latar belakang masyarakat, misalnya pedagang dan masyarakat dari kelompok lainnya di sepanjang sungai.
Baca juga: Lanting, Panggung Kehidupan di Kapuas
Pada masa masyarakat Dayak masih memenggal kepala atau mengayau, sungai berperan strategis dalam pertahanan. ”Jika ada sampah kayu hanyut dari hulu, patut dicurigai sebagai pertanda ada musuh sedang membuat perahu untuk menyerang,” ujarnya.
Maka, masyarakat di hilir akan membangun pertahanan dengan membendung sungai agar airnya meluap ke daratan. Daratan sebelumnya diisi ranjau. Saat daratan penuh air, ranjau tidak terlihat sehingga musuh terbunuh.
Tradisi mengayau sudah diakhiri melalui Perjanjian Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, yang dilaksanakan pada tahun 1894. Deklarasi tersebut dihadiri seluruh subsuku Dayak di Kalimantan.
Semakin banyak aktivitas menimbulkan kerusakan baik daerah aliran sungai (DAS) maupun sub-sub DAS yang semuanya bermuara di Kapuas.
Warisan kebudayaan sungai, selain memandikan anak ke sungai dan memanggil roh padi, juga masih bisa disaksikan melalui rumah lanting. Rumah lanting, yaitu rumah yang mengapung di atas sungai.
Rumah lanting masih bisa dijumpai misalnya di Nanga Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, sekitar 14 rumah jumlahnya. Ukurannya ada yang 7 meter x 17 meter. Di bawah rumah lanting terdapat kayu-kayu sepanjang 20 meter dengan diameter 1 meter-1,5 meter sebagai pelampung sehingga rumah mengapung.
Rumah lanting difungsikan untuk tempat berdagang dan juga tempat tinggal. Dahulu, rumah lanting juga menjadi etalase sosial mempertemukan berbagai latar belakang masyarakat saat bertransaksi berdagang.
Pengajar Antropologi Universitas Tanjungpura Pontianak yang pernah meneliti rumah lanting, Donatianus, menuturkan, rumah lanting pada mulanya dibangun warga Tionghoa pasca bubarnya kongsi-kongsi pertambangan China. Mereka awalnya tidak memiliki hak tinggal di daratan sehingga membangun rumah lanting di sungai.
Pada 1776-1884, kongsi-kongsi pertambangan China di Kalbar cukup besar. Pascakongsi-kongsi itu bubar, pengikut kongsi mencari penghidupan masing-masing. Mereka menyebar ke sejumlah wilayah termasuk sungai-sungai mencari daerah strategis untuk berdagang dengan membangun rumah lanting.
”Dalam perkembangannya, rumah lanting juga dihuni masyarakat dari berbagai latar belakang, baik Tionghoa, Dayak, Melayu, bahkan Jawa,” ungkapnya.
Menyisakan ironi
Kapuas hingga kini masih ada yang memanfaatkannya sebagai sarana transportasi angkutan barang dan orang. Hanya tidak seintensif dahulu karena sudah ada jalur darat. Beberapa wilayah pedalaman juga masih ada yang bergantung dengan jalur sungai.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Nikodemus Ale menuturkan, sungai di Kalbar khususnya Kapuas dahulu jalur utama transportasi karena infrastruktur darat tidak ada. Sungai menjadi jalur utama.
Seiring waktu, pembangunan infrastruktur darat mulai ada kemajuan. Akses antardaerah terhubung, perlahan fungsi Kapuas menjadi transportasi makin berkurang. Namun, distribusi barang melalui Kapuas masih dilakukan hingga kini.
Fungsinya bagi masyarakat untuk transportasi dan perdagangan semakin berkurang. Namun, justru dipakai kelompok investasi. ”Pada tahun 1950-1990 sungai jalur pengangkutan pembalakan liar,” ungkap Nikodemus.
Pada tahun 1970-1990-an, Kapuas diramaikan dengan pengangkutan pertambangan. Bahkan, sampai tahun 2000-an masih sebagai jasa angkutan industri. Termasuk juga sebagai jalur angkutan perkebunan di tepi Kapuas. Ada beberapa tongkang yang masuk.
Ditambah lagi aktivitas pertambangan emas tanpa izin (peti). Semakin banyak aktivitas menimbulkan kerusakan baik daerah aliran sungai (DAS) maupun sub-sub DAS yang semuanya bermuara di Kapuas. Pada akhirnya juga menurunkan tingkat kualitas air.
Pada tahun 2005/2006, Walhi bersama jaringannya pernah meneliti kandungan merkuri di Kapuas. Walhi dan jaringannya menemukan kadar merkuri di Kapuas saat itu sudah di ambang batas. Salah satu penyebab degradasi Kapuas adalah alih fungsi beberapa kawasan menjadi pengembangan perkebunan dan pertambangan.
”Aktivitas kerusakan hutan berkontribusi terhadap kualitas sungai. Kerusakan sungai indikatornya pendangkalan. Peti salah satu yang berkontribusi terhadap kerusakan sungai,” ujarnya.
Bencana ekologis di beberapa daerah yang pernah terjadi, misalnya banjir di Kabupaten Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu juga diduga dampak kerusakan sungai. Hal itu menunjukkan penataan DAS belum benar.
Baca juga: Kapuas, Eksotika yang Merana
Sebagian besar yang mengalami bencana ekologis banjir di bantaran-bantaran sungai. Sementara di hulu, kualitas hutan dan DAS rusak. Pengelolaan hutan dan sungai belum maksimal. Berdasarkan data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta hektar luas DAS di Kalbar, sekitar 1,01 juta hektar di antaranya dalam kondisi kritis, di antaranya DAS Kapuas.
Kompas pernah beberapa kali menyusuri Sungai Kapuas di beberapa lokasi. Di salah satu lokasi pada 2019 terlihat alat menambang emas secara ilegal diletakkan di tengah-tengah Kapuas. Bantaran Sungai Kapuas juga banyak longsor akibat pertambangan emas ilegal.
Semakin banyak aktivitas menimbulkan kerusakan baik daerah aliran sungai (DAS) maupun sub-sub DAS yang semuanya bermuara di Kapuas.
Bahkan, bantaran ada yang hilang 10-20 meter ke arah daratan. Kondisi itu ditemukan di sejumlah lokasi bantaran sungai sepanjang 20 km. Namun, lokasinya terpencar di banyak tempat. Alat penambang emas, selain berada di sungai, juga di bantaran.
Pohon di bantaran Kapuas banyak yang tumbang ke sungai. Sebab, pohon-pohon itu menjadi tempat mengikatkan tali rakit yang berisi alat menambang emas. Ada pula kayu yang tumbang akibat bantaran sungai yang longsor.
Wajah Kapuas kini berubah, persoalan kerusakan hulu dan peradaban baru membawa banyak dampak di sungai yang menjadi nadi wilayah ini sejak lama. Ketika tak dianggap lagi, Kapuas bisa jadi tak akan lagi menghidupi.