Kebebasan Pers di Kalsel Masih dalam Ancaman Oligarki
Kemerdekaan pers di Kalimantan Selatan tetap perlu diperjuangkan meskipun kategorinya sudah baik. Jurnalis di Kalsel masih terancam dikriminalisasi jika sudah berbenturan dengan kepentingan kelompok oligarki.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Indeks Kemerdekaan Pers di Kalimantan Selatan dalam tiga tahun terakhir masuk kategori baik. Meskipun demikian, kebebasan pers di Kalsel tetap perlu diperjuangkan. Jurnalis di Kalsel masih terancam dikriminalisasi jika sudah berbenturan dengan kepentingan kelompok oligarki.
Adanya ancaman oligarki terhadap kebebasan pers di Kalsel mengemuka dalam acara bertajuk Refleksi Kemerdekaan Pers Kalsel dengan tema ”Sudah Merdekakah Pers Kalsel?” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) saat Deklarasi AJI Balikpapan Biro Banjarmasin di Banjarmasin, Selasa (4/5/2021).
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Fahrianoor, mengatakan, pers di Kalsel relatif berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Namun, indeks kemerdekaan pers dari kondisi lingkungan hukum kurang begitu menggembirakan pada 2020. Nilainya paling kecil jika dibandingkan dengan nilai lingkungan fisik dan politik serta ekonomi.
Tahun itu bertepatan dengan adanya kasus yang menjerat Diananta Putera Sumedi, eks Pemimpin Redaksi Banjarhits.id di Kalsel. Diananta divonis bersalah atas pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru menjatuhkan hukuman penjara selama 3 bulan 15 hari.
”Kemerdekaan pers di Kalsel masih sering kali berbenturan dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama dengan kelompok oligarki. Benturan itu bisa mendatangkan kekerasan terhadap pers dan membuat pers terancam,” katanya.
Menurut Fahrianoor, kasus yang terjadi kepada Diananta adalah bentuk kekerasan sipil terhadap pers. Aktor utama di balik kekerasan itu adalah konglomerat. Ia memiliki pundi-pundi sehingga bisa mengerahkan aparat penegak hukum. Mereka lalu memainkan hukum sebagai alat pukul untuk membungkam kebebasan pers.
Bentuk kekerasan terhadap pers di zaman reformasi lebih banyak dan beragam aktornya, mulai dari partai politik, pemilik modal, hingga masyarakat sipil. Bentuknya tak lagi pemberedelan seperti zaman Orde Lama dan Orde Baru, tetapi berupa kekerasan fisik, teror, perusakan alat kerja jurnalis, pemutusan hubungan kerja, ataupun jerat UU ITE.
”Kalau pers sering dihadapkan pada masalah hukum, masyarakat tidak akan mendapatkan informasi yang benar. Ini membuat pers sebagai pilar keempat demokrasi tidak bisa berdiri tegak,” ujarnya.
Fahrianoor berpendapat, perlu ada komitmen bersama tentang kemerdekaan pers. Fungsi dan peranan pers sebagai kontrol sosial harus disosialisasikan agar dipahami juga oleh pemerintah daerah dan kalangan pengusaha. ”Banyak masyarakat tidak paham dengan peranan pers. Padahal, pers yang sehat akan menumbuhkan masyarakat yang sehat,” katanya.
Ketua AJI Balikpapan Teddy Rumengan menuturkan, kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia meningkat selama periode Mei 2020 sampai Mei 2021. Jumlahnya mencapai 90 kasus atau meningkat jauh dari tahun sebelumnya, 57 kasus. Mayoritas pelaku kekerasan itu adalah aparat kepolisian.
”Di samping memperjuangkan kesejahteraan pers, kami dari AJI juga memperjuangkan kebebasan pers. Kami tidak ingin kasus Diananta terulang lagi. Jangan sampai ada Diananta kedua dan ketiga di Kalsel,” katanya.
Kalau pers sering dihadapkan pada masalah hukum, masyarakat tidak akan mendapatkan informasi yang benar.
Menurut Koordinator AJI Wilayah Kalimantan Novi Abdi, ada gambaran suram di dunia pers saat ini dengan adanya UU ITE yang mengancam kebebasan pers dan demokrasi. ”Pers yang tertindas tidak bisa menyampaikan kebenaran sehingga para penguasa cenderung korup karena tidak ada yang mengontrol,” ujarnya.
Efek jera
Diananta sebagai penyintas kekerasan jurnalis menuturkan, pemidanaan terhadap jurnalis itu berhasil memberikan efek jera. Namun, efek jera itu akhirnya membuat pers di Kalsel tidak bisa menjalankan kontrol sosial. ”Sekarang, saya berpikir dua kali untuk menulis tentang perusahaan yang telah memidanakan saya,” ucapnya.
Karena itu, Diananta berharap aparat penegak hukum di Kalsel, terutama kepolisian, bisa lebih berkomitmen dengan kemerdekaan pers. ”Kemerdekaan pers sangat penting karena masih banyak persoalan di Kalsel yang belum terungkap. Jangan sampai kontrol sosial hilang,” katanya.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalsel Zainal Helmi mengatakan, kasus Diananta menunjukkan bagaimana wartawan berhadapan dengan pemodal besar. Aparat penegak hukum juga tidak berdaya karena dalam tekanan besar ketika menyelesaikan kasus itu.
”Kasus Diananta jadi pelajaran bagi pers di Kalsel. Di sini, konflik yang dihadapi bukan soal kode etik, melainkan soal kepentingan. Jangan sampai, karena kasus itu, tidak ada lagi kemerdekaan pers di Kalsel,” katanya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalsel Komisaris Besar Mochamad Rifa’i tidak mau lagi membahas kasus Diananta karena dianggap sudah selesai. Menurut dia, pers dan Polri tetap saling membutuhkan. Untuk itu, jangan sampai dibenturkan. ”Mari saling mendukung dan memberikan informasi yang mendidik dengan tetap taat pada hukum dan kode etik,” katanya.