Tak Proburuh, Aksi Mahasiswa Palangkaraya Minta RUU Cipta Kerja Dicabut
Mahasiswa Palangkaraya kembali melakukan aksi untuk meminta pemerintah membatalkan UU Cipta Kerja. Kebijakan itu dinilai memperburuk nasib buruh.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Puluhan mahasiswa di Palangkaraya beraksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya. Mereka menyayangkan tindakan pemerintah yang tidak prorakyat, khususnya buruh.
Puluhan mahasiswa tersebut menurut rencana melakukan aksi di depan Gedung DPRD Kalteng di Kota Palangkaraya. Namun, rencana itu dibatalkan aparat keamanan dengan alasan mahasiswa tidak memiliki izin aksi.
Para mahasiswa tetap berdemonstrasi, tetapi di lokasi yang berbeda, sekitar 700 meter dari Gedung DPRD Kalteng. Mereka berorasi dengan membawa atribut aksi di tempat tersebut.
Para mahasiswa yang ikut aksi itu tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kota Palangkaraya. Mereka terdiri dari beberapa organisasi, seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Palangkaraya Santo Dionisius, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Palangkaraya, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Palangka Raya (UPR).
Nesa Cristia, salah satu peserta aksi, saat berorasi mengatakan, aksi yang dilaksanakan pada Senin (3/5/2021) siang itu menjadi bagian dari peringatan Hari Buruh Internasional. Menurut dia, sampai saat ini kehidupan buruh di Indonesia masih jauh dari sejahtera.
”Adanya Cipta Kerja justru memperburuk nasib buruh. Pemerintah pun tak bisa memastikan perusahaan melaksanakan kewajibannya, khususnya soal tunjangan hari raya (THR),” kata Nesa.
Hal serupa juga diungkapkan Ketua PMKRI Cabang Palangkaraya Santo Dionisius, Obi Seprianto. Obi menjelaskan, terdapat tiga tuntutan mahasiswa pada aksi siang itu, yakni meminta DPRD Kalteng menyatakan sikap menolak UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, lalu mencabutnya.
Tuntutan terakhir, mahasiswa meminta Gubernur Kalteng segera menerbitkan kebijakan agar perusahaan segera memberikan hak buruh, khususnya THR tepat waktu sesuai dengan aturan yang berlaku.
”Cipta Kerja mengekspolitasi buruh karena memperpanjang perjanjian kerja dan waktu. Apalagi saat ini dengan alasan efisiensi perusahaan boleh melakukan PHK sesukanya, ditambah dihapusnya upah minimum sektoral,” teriak Obi dalam orasinya.
Aksi tersebut merupakan aksi ketiga mahasiswa Palangkaraya sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan. Sebelumnya, beberapa kali mahasiswa sudah menjalankan aksi di depan Gedung DPRD Provinsi Kalteng.
Siang itu, para mahasiswa ditemui Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalteng Syahril Tarigan. Syahril menjelaskan, pihaknya juga sudah meminta perusahaan swasta yang ada di Kalteng membayarkan THR sesuai ketentuan yang berlaku.
Syahril menambahkan, pada tahun 2020 karena pandemi perusahaan diberi kelonggaran untuk memberikan THR dengan cara dicicil. Kelonggaran itu tidak berlaku lagi untuk tahun ini.
”Sementara untuk kebijakan atau aturan dalam UU Cipta Kerja yang dirasa merugikan buruh saat ini sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh ratusan perwakilan buruh di Indonesia. Kami pun menunggu keputusan itu,” ungkap Syahril.
Syahril menjelaskan, Pemerintah Provinsi Kalteng, seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu membuka pos pengaduan yang terbuka untuk umum terkait pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan. Pos pengaduan itu juga dibuat agar buruh yang tidak mendapatkan haknya, seperti THR, bisa melakukan aduan.
”Jika ada aduan, akan kami tindak langsung sesuai aturan yang berlaku. Jika ada unsur kesengajaan, kami bisa berikan sanksi kalau memang terbukti melanggar,” kata Syahril.
Dalam aksi itu, mahasiswa sempat berdebat dengan aparat kepolisian karena tidak boleh berdemonstrasi di depan gedung DPRD Provinsi Kalteng. Apalagi mendengar alasan polisi yang mengatakan mereka tidak memiliki izin, padahal menurut mahasiswa, polisi hanya perlu diberitahu bukan meminta izin.
Kepala Kepolisian Resor Kota Palangkaraya Komisaris Besar Dwi Tunggal Jaladri menjelaskan, sebenarnya ia bisa langsung membubarkan aksi mahasiswa karena tidak memiliki izin. Namun, karena ingin melakukan pendekatan persuasif, dirinya memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berorasi.
”Surat izin pemberitahuan itu baru datang sehari sebelum aksi, harusnya itu kan tiga hari sebelum aksi sudah dikirim suratnya,” ungkap Jaladri.
Ratusan aparat keamanan pun membuat barisan untuk menghadang mahasiswa, bahkan mobil penyemprot pun disiapkan di lokasi. Namun, sampai aksi selesai tak ada bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan.
Selain aparat keamanan, Tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kota Palangkaraya juga hadir di lokasi dan meminta peserta aksi menjaga jarak dan mengenakan masker.