Mereguk Kebersahajaan di Masjid Saka Tunggal
Dibangun dengan satu tiang kolom penyangga atap, Masjid Saka Tunggal atau Masjid Baitussalam di Cikakak, Wangon, Banyumas, Jawa Tengah, memancarkan kebersahajaan. Masjid ini menjadi daya hidup warganya.
Desir angin perbukitan menggoyang ranting dan dedaunan yang rimbun di sepanjang jalan masuk menuju Masjid Saka Tunggal. Di jalanan itu, ratusan kera ekor panjang terlihat menyantap kacang kulit yang disebar oleh para pedagang warung di kompleks masjid tua itu.
Kesejukan merasuk ketika pertama kali memasuki kompleks masjid tersebut. Berdiri sejak 1522, masjid yang berukuran 17 meter x 15 meter di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, itu bagaikan oase penuntas dahaga rohani bagi warga dan juga peziarah.
Bagi penduduk sekitar, masjid yang berada di lingkungan perbukitan Cikakak itu bukan masjid biasa. Selain merupakan tempat ibadah umat Muslim, masjid itu juga menjadi tempat pertemuan dan kegiatan sosial warga setempat.
”Masjid ini jadi pusat beribadah warga dan juga untuk menjalin kerukunan serta gotong-royong,” kata Sulam, juru kunci Masjid Saka Tunggal di Cikakak, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (26/4/2021).
Berjarak sekitar 300 meter dari permukiman terdekat, masjid itu menjadi pusat kehidupan warga setempat. Dikelilingi kontur perbukitan, pepohonan rimbun, dan satwa liar, siapa nyana masjid ini menyimpan banyak cerita, sejarah, bahkan mitos terkait dengan kehidupan orang-orang yang menganut Islam Aboge.
Dalam Jurnal Kajian Islam dan Budaya, Ibda, yang diterbitkan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, Volume 14, Nomor 2, Juli-Desember 2016, dikupas mengenai tradisi Islam Aboge yang merupakan tradisi Islam lokal di Jawa. Jurnal itu menyebutkan, sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, komunitas Islam Aboge melaksanakan berbagai ritual keagamaan dengan dasar kepercayaan terhadap para leluhur. Beberapa kegiatan yang kental nuansa akulturasinya dengan budaya lokal, seperti selamatan, tahlilan (pembacaan tahlil), dan puji-pujian kepada Rasullulah SAW juga rutin mereka lakukan.
Meski demikian, satu hal yang menjadi ciri khas Islam Aboge ialah dalam hal penanggalan atau kalender. Menurut penanggalan Aboge, sebulan terdiri dari 30 hari dan 29 hari. Sebagaimana penghitungan tahun dalam masyarakat Jawa Kuno, kaum Aboge masih menggunakan dan menghitung tahun berbasis siklus. Satu siklus terdiri atas delapan tahun, yakni Alip, Ehe, Jim Awal, Jee, Dzal, Bee, Wawu, dan Jim akhir. Permulaan tahun dimulai dengan Tahun Alip yang memiliki 12 bulan dengan rumusan tertentu. Pada dasarnya, penanggalan Aboge mengikuti perputaran bulan atau hijriyah dan penanggalan Jawa Kuno.
Tidak hanya di Cikakak, komunitas Islam Aboge juga tersebar di banyak daerah di Jawa. Bahkan, ada yang berkembang di luar Jawa. Namun, mereka yang pertama kali membawa ajaran itu ialah orang-orang keturunan Jawa yang masih memegang erat kepercayaan leluhur.
Baca juga: Jelang Ramadhan, Masjid Agung Baitussalam Purwokerto Disemprot Disinfektan
Hingga sekarang, masyarakat Islam Aboge yang hidup di Cikakak dan wilayah sekitar hidup berdampingan dengan rukun. Mereka terinspirasi ajaran yang disampaikan oleh Kiai Toleh atau Mbah Mustolih yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di tempat itu.
Sedikitnya ada 500 penduduk tinggal di sekitar masjid. Mereka dipercaya merupakan anak-cucu dari Mbah Mustolih. Demikian halnya dengan Sulam, juru kunci masjid, yang diperkirakan sebagai generasi ke-13 dari pendiri masjid.
Mbah Mustolih juga merupakan pendiri dari Masjid Saka Tunggal tersebut. Selaras dengan ajarannya yang masih terawat dengan baik, masjid yang didirikannya juga masih dalam kondisi baik. Warga sekitar menamai juga masjid itu dengan Baitussalam.
Sulam menuturkan, setiap kali shalat Idul Fitri ada sekitar 500 orang yang merupakan kerabat hadir di pelataran masjid ini. Pesan hidup rukun dan damai dengan sesama terus digaungkan kala hari raya tiba.
Pesan yang disampaikan untuk anak cucu adalah pesan agar selalu bersabar, bertawakal, menerima, dan menjaga bagaimana berkeyakinan agar kondisi, situasi sehat, serta selamat dunia akhirat.
Sekalipun diperkirakan dibangun sejak abad ke-15, masjid ini menampakkan pesona arsitektur yang unik. Salah satu keunikan masjid ini ialah adanya sebuah saka atau tiang penyangga berukuran 40 cm x 40 cm, dan tinggi 5 meter. Saka itu menopang langit-langit atau wuwungan masjid. Tiangnya yang hijau penuh ukiran bunga dan tanaman dilindungi oleh kaca.
Dinding masjid yang berwarna biru langit pada sisi luarnya menyiratkan keteduhan. Adapun sisi interiornya dihiasi anyaman bambu bermotif wajik.
Ketika udara dan angin lembut dari perbukitan menelusup melalui kisi-kisi jendela, siapa pun yang berada di dalam masjid dapat merasakan ketenteraman. Terlebih ketika cahaya matahari masuk dan berpendar menerangi ruangan, masjid sederhana itu menunjukkan pesonanya.
Awaliyah Mudhafarah dalam penelitian berjudul ”Refleksi Budaya Komunitas Islam Aboge Cikakak pada Masjid Saka Tunggal” pada Prosiding Seminar Heritage IPLBI (Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia) 2017 menuliskan, di Indonesia terdapat empat masjid dengan satu tiang kolom sebagai penyangga atapnya. Selain di masjid Saka Tunggal di Banyumas ini, ada pula masjid di Kebumen, Cirebon, dan Yogyakarta. Masjid-masjid itu dibangun antara abad ke-15 dan ke-19. Awaliyah juga menuliskan bahwa bentuk saka tunggal merupakan simbolisasi dari ajaran tauhid atau monoteisme.
Baca juga: Masjid Desa di Banyumas Diperbolehkan untuk Ibadah
Menurut Subagyo, mantan juru kunci Masjid Saka Tunggal, filosofi dari saka tunggal ialah bersatunya atau manunggalnya manusia dengan Sang Pencipta. Manusia menghormati Sang Pencipta dan Sang Pencipta menciptakan manusia untuk berbuat hal yang baik.
Di ujung bagian atas saka tunggal tersebut terdapat empat sayap kayu yang juga disebut 4 kiblat, 5 pancer, yaitu menunjuk 4 arah mata angin dan 1 pusat atau arah menunjuk ke atas. Hal itu bermakna bahwa manusia hidup harus punya kiblat atau pedoman, yaitu Allah (Kompas, 6/6/2017).
Menurut Subagyo, empat arah tersebut juga melambangkan manusia yang terdiri dari unsur air, udara atau angin, api, dan tanah beserta dengan nafsu yang menyertainya, antara lain, aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah.
Bumi itu dibuangi apa saja tetap diam. Kita belajar nrimo (menerima) atau mengendalikan sifat itu. Kendalikan juga sifat api (amarah). Angin yang menunjukkan kehalusan kita juga harus dikendalikan dan sifat air yang selalu mengalir ke tempat rendah artinya kita juga harus merendahkan hati.
Tradisi yang masih hidup dan dilestarikan hingga saat ini adalah tradisi penjarohan yang digelar setiap tanggal 26 Rajab. Penjarohan berasal dari kata jaroh, yaitu ziarah, dan tujuannya untuk menghormati leluhur. Dalam penjarohan tersebut, warga dan peziarah bergotong royong mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid dan juga makam Kiai Toleh. Menurut Subagyo, yang dimaksud Jaroh itu adalah agar dijaga antara njaba lan njero atau menjaga luar dan dalam. Artinya, manusia menjaga tali silahturahmi dengan sesama dan juga menjaga kepercayaan kepada Allah.
Dosen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Wijayakusuma Purwokerto, Wita Widyandini dan Yohana Nursruwening, yang pernah meneliti struktur bangunan Masjid Saka Tunggal itu menyampaikan, masjid tersebut tergolong masjid tua di Indonesia.
Menurut Wita, angka 1522 didapat dari hasil konversi angka 1288 yang ada di tiang atau saka tunggal masjid itu. Diduga angka 1288 itu merupakan tahun Hijriah dan jika dikonversi ke tahun Masehi menunjuk tahun 1522 (Kompas,6/6/2017).
Yohana menyampaikan, atap masjid berbentuk tajuk merupakan khas bangunan Jawa. Menurut dia, keunikan masjid tersebut ada pada sakanya yang tunggal. Meskipun ada beberapa tiang penyangga lainnya, masjid ini hanya memiliki satu tiang sebagai kolom struktur. Adapun tiang-tiang lainnya merupakan kolom praktis. Menurut Yohana, kesan yang ingin ditonjolkan dari masjid ini adalah bangunan sederhana, tetapi tidak mengabaikan nilai estetika.
Jendela yang memiliki banyak kisi dan ventilasi di bagian langit-langit membuat sirkulasi udara terus bergerak dan terasa sejuk di dalam masjid.
Karsini (43), warga sekitar masjid yang juga pedagang makanan, menyampaikan, masjid tersebut sering dipakai shalat berjamaah bagi warga baik shalat subuh serta magrib. Ketika shalat Idul Fitri tiba, warga berduyun-duyun merayakan hari raya sekaligus menggelar tasyakuran. ”Warga membawa makanan dari rumah untuk disantap bersama. Lauknya ada tempe, tahu, dan juga ayam kampung,” kata Karsini.
Hal lain yang unik dari masjid itu ialah keberadaan monyet-monyet ekor panjang yang diyakini oleh sejumlah warga merupakan penjelmaan dari santri-santri Kiai Mustolih yang nakal, atau tidak patuh dengan gurunya. Sekalipun itu dipandang sebagai sebatas mitos yang berkembang di antara warga, keberadaan monyet-monyet ekor panjang itu menjadi sarana refleksi bagi warga untuk hidup selaras dengan ajaran kiai yang mengajak pada kebaikan.
Bahkan, pemerintah setempat pernah mengadakan festival khusus yang dinamai Rewandha Bojana. Festival itu diadakan untuk memberikan makanan kepada monyet-monyet ekor panjang yang tinggal di sekitar masjid dan lingkungan perbukitan sekitar. Meski demikian, tidak semua pihak sependapat dengan diadakannya festival itu. Sejumlah ahli menilai festival itu justru menimbulkan pengaruh buruk bagi habitat monyet dan perilaku mereka. Lantaran kerap diberi makan, monyet-monyet itu dikhawatirkan kian tergantung kepada manusia. Bahkan, pada titik tertentu, monyet-monyet itu dapat saja mengganggu kehidupan warga dengan mencuri makanan di permukiman.
Di saat kondisi pandemi Covid-19, masjid tidak seramai dulu. Kegiatan saat puasa Ramadhan juga dilakukan dengan sejumlah pembatasan. Peziarah yang datang juga tidak banyak. Di hari-hari biasa, ketika kondisi normal, para pedagang ramai bertransaksi dengan para pembeli. Namun, karena suasana pandemi, banyak pedagang yang tidak meneruskan jualannya. Beberapa menutup lapaknya, dan menyisakan kacang-kacang kulit yang biasa mereka jual sebagai makanan monyet-monyet di sekitar masjid.
Sekalipun suasana lebih sepi, hal itu tidak mengurangi kerukunan dan kekhusyukan warga setempat mengikuti ajaran Kiai Mustolih. Kebersamaan warga disatukan oleh semangat Mbah Toleh dalam naungan ajaran Islam yang penuh kedamaian.
Bila membayangkan hal yang demikian itu, kedamaian itu hadir seperti halnya dirasakan ketika duduk bersimpuh di bawah atap masjid yang disangga oleh sakanya yang tunggal itu. Diri pun menikmati kesejukan dan keteduhan bersahaja yang terasa hingga relung jiwa.