Penanganan Tambang Liar di Jambi Butuh Komitmen Kuat Pemerintah Daerah
Bertahun-tahun tambang minyak ilegal berlangsung masif di Jambi. Komitmen tegas pemerintah daerah sangat minim. Penegakan hukum yang berjalan tidak diiringi dengan solusi penopang ekonomi masyarakat.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Berlarutnya penanganan tambang-tambang liar di Jambi akibat lemahnya komitmen para pemangku kepentingan. Komitmen kuat pemerintah daerah untuk menangani praktik tambang minyak ilegal sangat dibutuhkan agar ada langkah tegas untuk menyelesaikannya.
”Kalau kemauan politik kita mau serius, pasti selesai. Harus ada komitmen bersama,” ujar Ketua DPRD Provinsi Jambi Edi Purwanto saat menyaksikan kondisi kerusakan lingkungan akibat tambang minyak ilegal di Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin, Kabupaten Batanghari, Jambi, Rabu (28/4/2021).
Rabu siang, Edi dan Sudirman melihat lokasi tambang minyak ilegal di Tahura bersama Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji, Kepala Polda Jambi Inspektur Jenderal Albertus Rachmad Wibowo, Komandan Resor Militer 042/Garuda Putih Brigadir Jenderal Zulkifli, dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jambi Bachyuni Deliansyah.
Menurut Edi, masifnya tambang liar di sana karena banyak pemodal sekaligus pembeking yang bermain. Kuatnya tarik-menarik kepentingan itulah yang membuat penanganannya berlarut-larut.
Tidak itu saja, setelah ada upaya penegakan hukum, masalah baru muncul karena tidak berlanjut dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah untuk menopang ekonomi masyarakat setempat. Ketiadaan alternatif ekonomi membuat rakyat kecil pekerja tambang menyambut iming-iming pemodal dan pembeking.
”Yang diuntungkan di sini adalah para pemodal dan pembeking,” ucapnya.
Ia pun mendesak satuan-satuan kerja pemerintah daerah segera merencanakan pembangunan solutif bagi masyarakat di sekitar tambang ilegal. Tahun ini, sudah diusulkan agar satuan-satuan kerja mengalokasikannya dalam APBD perubahan, baik di sektor pertanian, perikanan, peternakan, ataupun sektor lain yang strategis. Keterbatasan dana daerah jangan jadi penghalang. Pemda dapat melibatkan korporasi untuk menyediakan dana tanggung jawab perusahaan (CSR) bagi masyarakat eks pekerja tambang.
”Jangan sampai Jambi dicap sebagai tukang maling minyak,” ujarnya menambahkan.
Sekretaris Daerah Provinsi Jambi Sudirman mengaku selama ini belum mengecek apakah sudah ada alokasi anggaran untuk program-program mengantar masyarakat eks tambang liar dapat berdaya secara ekonomi.
”Memang harapannya (rakyat) diberdayakan. Namun, saya tidak tahu apakah sudah ada program,” katanya.
Butuh Rp 10 triliun
Sejauh ini, pihaknya menyampaikan kebutuhan besar merehabilitasi lahan jika tambang liar setempat ditutup total. ”Untuk pembenahan lingkungan, diusulkan Rp 10 triliun dari dana APBD. Ini akan ditindaklanjuti dengan studi,” ujarnya.
Meski praktik tambang minyak ilegal itu telah berlangsung sejak 2017, Sudirman mengakui baru kali ini menengok langsung ke lokasi. Setelah menyaksikan langsung parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi, Sudirman sepakat bahwa praktik tambang liar harus dihentikan dan kawasan itu segera dipulihkan.
Dalam kesempatan itu, Tutuka juga mendapati masih banyaknya pekerja tambang liar berkeliaran di sekitar lokasi. Tutuka sempat mengobrol sejumlah pekerja. Mereka mengaku memperoleh upah berkisar Rp 50.000 hingga Rp 250.000 per hari.
”Kalau sehari bisa mengumpulkan 5 jeriken, upahnya Rp 250.000,” katanya.