Masjid Raya Baiturrahman, Jantung dan Hatinya Orang Aceh
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, telah melalui berbagai babak kehidupan orang Aceh. Mulai masa melawan pemerintah kolonial, kemerdekaan, konflik, tsunami, hingga perdamaian. Masjid raya pusat kehidupan orang Aceh.
Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Provinsi Aceh, telah melalui berbagai babak kehidupan orang Aceh. Mulai masa melawan kolonial, kemerdekaan, konflik, tsunami, hingga perdamaian. Masjid Raya Baiturrahman adalah pusat kehidupan warga Aceh.
Senin (26/4/2021) siang yang terik, Herman (60), seorang fotografer wisata di Aceh, berjalan pelan di lantai marmer halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ia berlindung dari teriknya mentari dan menghimpun kesejukan di dalam masjid. Sekitar satu jam lagi, azan Dzuhur akan berkumandang.
”Sejak pandemi Covid-19 sepi pengunjung. Lagian, orang-orang sekarang pakai kamera HP (telepon pintar),” kata Herman menceritakan situasi terkini di masjid itu.
Sebagai fotografer wisata yang sehari-harinya menawarkan jasa untuk memotret para wisatawan di masjid itu, Herman merasakan penurunan pendapatan selama pandemi Covid-19. Ia telah melakoni pekerjaan sebagai fotografer wisata sejak 1980. Selama ini, ia bergantung hidup dari jasa memotret pengunjung atau wisatawan di Baiturrahman. Boleh dibilang, Masjid Raya Baiturrahman memberinya kehidupan.
Herman bahagia bisa beraktivitas di masjid. Selain bisa mencari nafkah, dia selalu bisa melaksanakan shalat berjemaah.
Tidak semata-mata mencari penghidupan di masjid itu, Baiturrahman memiliki nilai lebih bagi dirinya. Peristiwa tsunami yang melanda Aceh, Minggu, 26 Desember 2004, menjadi salah satu hari yang akan dikenangnya seumur hidup. Pada saat itu, Herman berjuang untuk menyelamatkan dirinya dengan berlindung ke dalam Masjid Raya Baiturrahman. Kebetulan, pagi hari itu, ia sedang memotret calon jemaah haji. Lokasi pemotretan berjarak 8,4 kilometer dari masjid.
”Saat ada teriakan air naik, hati saya seperti terpanggil untuk menyelamatkan diri ke Masjid Raya Baiturrahman. Baru mau sampai pagar masjid, air sudah tinggi, saya naik ke pohon,” ucap Herman mengenang peristiwa itu.
Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, memang berada di pusat kota. Banyak moda transportasi umum yang melayani masyarakat untuk menuju ke sana. Pada saat ia mendengar informasi air laut pasang, sejalan dengan ribuan warga Aceh yang lain, Herman mencari keselamatan dengan menuju ke masjid tersebut.
Ajaibnya, masjid itu merupakan satu-satunya bangunan besar yang bertahan dari guncangan tsunami. Sementara Herman berhasil sampai di pagar masjid, ribuan orang lainnya dapat masuk dan berlindung ke dalam masjid. Gelombang air tsunami hanya menyentuh lantai masjid, dan tidak sampai merobohkan bangunan masjid. Sementara di halaman masjid, mayat, mobil, kayu, dan barang lain bertumpuk tindih-menindih. Herman termasuk yang beruntung karena selamat dari terjangan air tsunami.
Gempa berkekuatan magnitudo 9 yang mengguncang Aceh, yang dibarengi dengan tsunami itu, merenggut nyawa 176.000 orang lebih. Ribuan bangunan di Aceh hancur. Namun, masjid yang berdiri di tengah kota itu masih kokoh berdiri.
Setelah 16 tahun berlalu, warga Aceh mulai bangkit, dan Masjid Raya Baiturrahman pun bersolek. Wajahnya kian berseri setelah direnovasi dengan penambahan 12 payung elektrik, perluasan halaman dan area parkir bawah tanah, perluasan tempat bersuci, dan penataan tanam. Semua kegiatan renovasi itu membuat jemaah kian tenang menjalankan ibadah di masjid bersejarah itu.
Renovasi infrastruktur masjid diresmikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2017. Kini, masjid raya tampak lebih anggun dan indah. ”Kemegahan masjid akan lebih sempurna jika diikuti oleh semangat beribadah yang besar,” pesan Kalla saat itu.
Pascarenovasi, bangunan masjid memiliki luas 4.000 meter persegi dan mampu menampung 13.000 anggota jemaah.
Puncak kejayaan
Sekalipun telah tampil lebih anggun dan modern pascarenovasi, nilai historis masjid itu masih dipertahankan. Dari catatan beberapa sumber, Masjid Raya Baiturrahman didirikan oleh Sultan Alauddin Mahmud Syah I pada tahun 1292. Namun, dalam buku Kerajaan Aceh karya Denys Lombard disebutkan, pengembangan Masjid Raya Baiturrahman dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1614).
Awalnya, masjid itu berupa bangunan dari kayu dengan bentuk atap bertingkat empat. Lombard menyebutkan, setiap kali waktu shalat, jemaah selalu ramai memadati masjid. Masjid itu pun tergolong mewah pada eranya. Di bagian mimbar bahkan disematkan emas dan suasa, yaitu logam yang merupakan campuran emas dan tembaga.
Sebagai masjid kesultanan, lokasi masjid berada di dalam kawasan Keraton Darud Donya. Selain menjadi tempat ibadah dan pusat pengembangan Islam, masjid juga dijadikan tempat untuk mengatur siasat perang.
Pada masanya, Sultan Iskandar Muda yang memerintah Kesultanan Aceh pada 1607-1636 membawa Aceh pada puncak kejayaan. Aceh maju pesat di bidang ekonomi, militer, dan pengembangan Islam.
Pada masa kepemimpinannya, Banda Aceh atau disebut Kutaraja mengalami puncak kegemilangan. Kutaraja kala itu adalah kota metropolitan, pusat perdagangan, sangat plural. Pedagang dari berbagai penjuru, seperti saudagar dari China, Arab, Eropa, India, dan Turki, bertemu di Aceh.
Akulturasi budaya terjadi dengan alami dan penuh perdamaian. Tidak sedikit pendatang menikah dengan warga Aceh. Inilah yang menyebabkan bentuk fisik orang Aceh sangat beragam. Ada yang mirip orang Eropa, bermata biru, ada yang mirip orang Turki atau Timur Tengah, ada yang mirip India dan Melayu.
Para warga keturunan Tionghoa yang kini menetap di Banda Aceh rata-rata generasi keempat atau kelima. Nenek moyang mereka dulu datang ke Aceh untuk berniaga, namun menetap.
”Orang Aceh sangat terbuka, pluralis, dan toleran sejak masa kerajaan. Makanya, ada istilah adat geutanyoe pemulia jamee (tradisi kita memuliakan tamu),” kata pakar sejarah Aceh, Hamid Tarmizi.
Arsitektur unik
Dosen Arsitektur Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Izziah Hasan, yang diwawancarai beberapa waktu lalu mengatakan, awalnya masjid terbuat dari kayu dengan atap piramida bertingkat. Bentuk piramida bertingkat itu juga ditemui di sejumlah masjid lain di Aceh. Salah satunya yang masih terawat dengan baik ialah Masjid Tuha Indrapuri, Aceh Besar. Bangunan piramida bertingkat itu menyerupai rumah ibadah umat Hindu.
Dalam perjalanannya, masjid sempat dibakar oleh pasukan kolonial Belanda pada 14 April 1873. Mayor Jenderal Kohler mengerahkan pasukan sekitar 3.000 orang untuk menggempur Aceh. Meriam ditembakkan bertubi-tubi ke masjid itu, yang ketika itu menjadi tempat bertahan bagi para pejuang Aceh.
”Belanda membakar masjid untuk menaklukkan perlawanan rakyat Aceh. Justru sebaliknya, rakyat marah dan melawan,” kata Izziah yang melakukan penelitian arsitektur dalam kaitan sosial, budaya, dan politik.
Saat masjid terbakar, Belanda mengira Aceh sudah bisa dikuasai. Kohler bersama pasukan merangsek ke pekarangan masjid, namun sebuah peluru menghentikan langkahnya. Dia tertembak di dada. Jenderal Kohler tewas. Sebuah prasasti kematian Kohler akhirnya dibangun di sana.
Pembakaran masjid membuat warga Aceh marah besar pada Belanda. Peperangan terus terjadi. Belanda mengajak rakyat Aceh berdamai, namun tawaran itu disambut dengan hunusan pedang.
Akhirnya, pada tahun 1879, pemerintah kolonial Belanda di bawah Gubernur Jenderal Karel Van der Heyden membangun kembali masjid raya itu dan selesai pada 1881.
Dalam bentuknya yang lebih modern, bangunan kayu berbentuk piramida itu kini telah berubah menjadi bangunan yang terbuat dari beton, lantai keramik, dan kubah bulat seperti buah salak. Izziah menduga itu adalah masjid pertama di Aceh yang terbuat dari beton. ”Bangunan semetris, dinding tebal, dan terbuka sehingga bangunannya sangat kokoh. Sepertinya memang dirancang tahan gempa,” kata Izziah.
Soal arsitektur masjid, Tarmizi mengatakan, masjid ini dirancang oleh seorang arsitek berdarah Italia-Belanda bernama De Bruins. Gaya bangunan masjid ini memadukan gaya Eropa, India, dan Timur Tengah. Adapun kontraktor masjid raya adalah Lie Asie.
Bruins menggantikan kubah berbentuk piramida dengan kubah bulat ujung runcing seperti buah salak. Bentuk kubah seperti buah salak itu mudah dijumpai di banyak masjid di Aceh, terutama masjid yang dibangun tahun 1980-an.
”Bentuk ukiran, dinding, tiang, dan relief memadukan gaya Taj Mahal (India), masjid Cordoba (Spanyol), dan masjid di Persia (Timur Tengah),” ujar Tarmizi.
Menurut dia, Masjid Raya Baiturrahman mencermin keberagaman, mulai dari arsitektur hingga material yang digunakan untuk pembangunan. Sebagian besar material dibawa dari luar negeri. ”Batu dikirim dari Belanda, marmer dari China, kayu dari India, dan sebagian lagi dari Belgia,” ujarnya.
Pemerintah Belanda menghabiskan biaya sekitar 200.000 gulden untuk membangun masjid itu. Masjid Raya Baiturrahman mengalami beberapa kali renovasi dari satu kubah menjadi tujuh kubah. Namun, bangunan asli masih dipertahankan hingga sekarang.
Jantung rakyat Aceh
Seiring berjalannya waktu, kedudukan masjid ini bukan sebatas tempat ibadah, namun menjadi pusat kehidupan rakyat Aceh. Saat demonstrasi menuntut referendum, 1998, pusat kegiatan dilakukan di Masjid Raya Baiturrahman. Demikian halnya saat bencana tsunami 2004, ribuan warga berlindung di Masjid Raya Baiturrahman. Saat perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia di Finlandia, 2005, ribuan warga bersujud syukur di masjid itu.
”Masjid Raya Baiturrahman adalah jantung hatinya rakyat Aceh. Lebih dari sekadar ikon daerah,” ujar Tarmizi.
Ia menambahkan, ada keyakinan pada warga Aceh, Masjid Raya Baiturrahman memberikan keberkahan. Pada hari-hari biasa, masjid bukan hanya tempat shalat, melainkan juga menjadi tempat pernikahan, melepas nazar, turun tanah anak, hingga tempat berwisata.
Bahkan, kegiatan politik seperti uji baca Al Quran untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur digelar di masjid itu. Tahun 2016, Kementerian Pariwisata menetapkan Masjid Raya Baiturrahman sebagai destinasi daya tarik wisata halal terbaik.
Akan tetapi, sejak pandemi Covid-19, suasana bulan Ramadhan di Masjid Raya Baiturrahman tidak meriah. Kegiatan buka puasa bersama dan kegiatan yang mengumpulkan orang banyak ditiadakan.
Ketua Remaja Masjid Raya Baiturrahman Rahmad Maulizar mengatakan, banyak kegiatan tidak bisa digelar sebab pandemi Covid-19. Kegiatan yang paling semarak, yakni pawai takbir, pun ditiadakan. Shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri dilakukan dengan saf berjarak. ”Kajian kami buat dalam bentuk daring,” kata Rahmad.
Namun, tidak sedikit juga warga yang memilih masjid raya sebagai tempat ibadah selama Ramadhan. Hari itu, banyak warga terlihat larut dalam bacaan Al Quran. Meski di luar sangat panas, namun di dalam masjid terasa sejuk dan damai.
Salah satu yang kerap menghabiskan waktu di Baiturrahman ialah Yusran (33), warga Banda Aceh. Seusai buka puasa di sebuah warung, Selasa (27/4/2021), ia langsung menuju Masjid Raya Baiturrahman. Setiap ada kesempatan, dia selalu menyempatkan diri shalat di masjid itu. Banyak kenangan dia lalui di masjid raya.
Dulu, saat masih duduk di SMP di dekat masjid, dia sering menghabiskan waktu di masjid. Kadang kala ia bermain bola di halaman dan memetik buah kelapa yang tumbuh di kompleks masjid. Kadang pula, karena nakalnya, ia bolos sekolah dan tidur-tiduran di dalam masjid.
”Sekarang tidak terlalu sering ke sini, tetapi jika kebetulan lewat, menyempatkan diri singgah,” kata Yusran.
Bagi Yusran, Masjid Raya Baiturrahman merupakan bagian dari perjalanan hidupnya. ”Shalat di sini terasa lebih khusyuk. Suasana tenteram, dingin, dan bacaan ayat oleh imam merdu,” katanya.