Kementan Bidik Calon Lahan ”Food Estate” Baru di NTT
Setelah dinilai sukses membangun lahan lumbung pangan nasional atau ”food estate” di Kabupaten Sumba Tengah, Kementerian Pertanian membidik calon lahan ”food estate” pada tiga kabupaten lain di NTT.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Setelah dinilai sukses membangun lahan lumbung pangan nasional atau food estate di Kabupaten Sumba Tengah, tim verifikasi dan identifikasi Kementerian Pertanian membidik calon lahan food estate pada tiga kabupaten lain di Nusa Tenggara Timur (NTT). Jika semua kabupaten di NTT menjalankan program pertanian terintegrasi ini, NTT bakal keluar dari persoalan gagal panen dan rawan pangan berkepanjangan.
Tim verifikasi dan identifikasi Kementan yang dipimpin Ichsan membahas hal itu saat bertemu Gubernur NTT Viktor Laiskodat di Kupang, Rabu (28/4/2021) sore. Pada kesempatan itu ditentukan tiga kabupaten yang akan diverifikasi, yakni Belu, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Sumba Barat Daya (SBD). Setelah dilakukan verifikasi, tim menentukan kabupaten mana yang akan dibangun food estate.
Laiskodat pada kesempatan itu mengatakan, lahan food estate dengan konsep pertanian terintegrasi atau terpadu sangat cocok di NTT. Sistem ini baru dikenal petani NTT, yang selama ini bergulat dengan sistem pertanian lahan kering. Dua komoditas yang difokuskan adalah padi dan jagung.
”Mewujudkan pembangunan pertanian terpadu ini dibutuhkan dukungan 45 persen anggaran dari Kementerian Pertanian dan 55 persen dari pemprov dan pemkab. Persoalan NTT saat ini adalah alat mesin pertanian pratanam dan pascapanen, dan infrastruktur pendukung, yakni irigasi atau air. Untuk ini dibutuhkan dukungan Kementan dan Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Kebutuhan bibit, lahan, dan pupuk bisa diupayakan pemprov dan pemkab,” kata Laiskodat.
Ia pun mendorong agar sistem yang sedang dikembangkan di Sumba Tengah ini bisa diadopsi untuk seluruh kabupaten di NTT. Gubernur akan mendorong para bupati agar hadir bersama tim di Sumba Tengah untuk melakukan semacam studi banding, yakni menyaksikan sistem pertanian terintegrasi yang sedang dikembangkan di sana.
Jika sistem pertanian seperti itu bisa dikembangkan di kabupaten potensial lain, NTT tidak kesulitan pangan lagi. Apabila pangan, terutama padi dan jagung, berkecukupan, kasus-kasus seperti gizi buruk dan tengkes bisa diatasi. ”Kita utamakan padi dan jagung. Pangan pengganti lain, seperti ubi dan kacang-kacangan, akan diikutkan di dalamnya,” kata Laiskodat.
Menurut dia, apabila 15 kabupaten saja dari 22 kabupaten/kota menjalankan pertanian terintegrasi itu, NTT bisa keluar dari kondisi gagal panen yang berdampak pada masalah rawan pangan yang berkepanjangan. Pemkab juga tidak perlu menunggu program food estate dari Kementan, mereka bisa menjalankan sistem itu sendiri.
Laiskodat mengatakan, para ahli pertanian, termasuk pertanian lahan kering, bisa melakukan itu. Tetapi, paling penting, alat sistem pertanian prapanen dan pascapanen, pengairan, bibit, pupuk, dan tenaga penyuluh tersedia. Pemkab bisa berkoordinasi langsung dengan Kementan jika ingin membangun sistem pertanian terintegrasi.
Ia menyebutkan, dari pengalaman food estate di Sumba Tengah, bupati sangat proaktif dengan dukungan alat dan mesin pertanian, pengairan, pupuk, bibit, dan tenaga penyuluh yang bekerja keras di lapangan mendampingi petani. Jika sebagian besar kabupaten di NTT menduplikasi program ini, tiga tahun ke depan NTT bakal surplus padi dan jagung.
Ketua Tim Verifikasi dan Identifikasi Lahan Food Estate Kementan Ichsan mengatakan, survei penentuan lokasi food estate masuk proses perencanaan. ”Komoditas yang akan dikembangkan pada calon lahan food estate ialah padi dan jagung. Kegiatan ini masuk dalam rencana kerja pemerintah tahun anggaran 2022,” kata Ichsan.
Dengan memilih lokasi di TTS atau Belu, Bendungan Rotiklot di Belu dan Bendungan Temef di TTS secara efektif dan efisien bisa digunakan.
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan Kementan Damianus Adar mengatakan, untuk menghemat biaya, sebaiknya survei lahan lumbung pangan ini dilakukan di sekitar bendungan yang telah dibangun. Di Kabupaten Belu, misalnya, ada Bendungan Rotiklot dan Bendungan Temef di TTS.
Selain itu, mengingat program lumbung pangan sudah berjalan di Sumba Tengah, lokasi selanjutnya dibidik di daratan Timor. Kasus rawan pangan dan gizi buruk di daratan Timor pun sangat tinggi, antara lain, disebabkan gagal panen yang berlangsung setiap tahun. Kehadiran lumbung pangan di Belu atau TTS juga bisa menjadi proyek percontohan bagi empat kabupaten lain di daratan Timor.
”Dengan memilih lokasi di TTS atau Belu, Bendungan Rotiklot di Belu dan Bendungan Temef di TTS secara efektif dan efisien bisa digunakan. Proyek bendungan dengan nilai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah itu bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sesegera mungkin,” kata Damianus, yang juga menjabat Dekan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumba Umbu Manurara mengatakan, persoalan hama belalang kembara menjadi momok bagi petani di lahan food estate di Sumba Tengah. Tenaga penyuluh lapangan, petani, dan masyarakat setempat terus menjaga lahan itu agar tidak diserang hama itu.
”Belalang sudah sangat dekat dengan lahan pertanian lumbung pangan nasional. Koloni belalang ini makan daun bambu di hutan-hutan sekitar lahan lumbung pangan di Desa Bilur Pangodhu. Daun bambu sudah habis dilahap dan mereka sedang bergerak ke Kecamatan Umbu Ratunggay,” kata Manurara.
Ia mengatakan, pemda setempat sudah maksimal mengatasi hama belalang ini. Namun, langkah yang diambil itu dinilainya terlambat. Semestinya, sejak belalang itu belum berkembang menjadi dewasa atau belum memiliki sayap, langsung disemprot pestisida sehingga tidak berkembang biak.
Saat ini, kondisi padi di lima titik lokasi lahan food estate siap dipanen. Satu titik lahan sudah dipanen Gubernur Laiskodat pekan lalu. ”Jika padi yang ada terlambat dipanen, belalang bisa merusaknya. Karena itu, harus terus dikawal agar belalang tidak masuk lahan pertanian,” katanya.