”Food Estate” di Sumsel Dimulai Mei 2021 di Tiga Kabupaten
Pemerintah Sumatera Selatan akan mulai mencanangkan program ”food estate” (lumbung pangan) di Sumsel, Mei 2021. Di tahap awal, total lahan yang disiapkan mencapai 25.629 hektar yang tersebar di tiga kabupaten.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah Sumatera Selatan akan mulai mencanangkan food estate (lumbung pangan) pada Mei 2021. Di tahap awal, total lahan yang disiapkan mencapai 25.629 hektar, tersebar di tiga kabupaten. Sejumlah komoditas tanaman pangan disiapkan, utamanya padi.
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumatera Selatan Bambang Pramono, Kamis (29/4/2021), di Palembang, mengatakan, penerapan food estate di Sumatera Selatan mengusung konsep pengembangan sentra produksi pangan dengan mengedepankan korporasi pertanian. Dengan begitu, hasil produksi petani bisa mendapatkan kepastian, baik dari sisi tingkat penyerapan maupun harga gabah di pasar.
Pada tahap awal akan ada tiga kabupaten yang akan mulai melaksanakan intensifikasi lahan untuk persiapan food estate dengan luas lahan garapan sekitar 25.629 hektar. Ketiga kabupaten itu meliputi Ogan Komering Ulu Timur (20.629 hektar), Ogan Komering Ulu Selatan (3.000 hektar), dan Ogan Ilir (2.000 hektar). Intensifikasi lahan ini mengucurkan dana sekitar Rp 152,7 miliar yang digunakan untuk biaya olah lahan Rp 23,06 miliar, bantuan benih padi Rp 12,81 miliar, dan bantuan sarana produk padi Rp 116,8 miliar.
Skema pelaksanaan food estate di Sumsel, menurut Bambang, akan lebih mengarah pada peningkatan infrastruktur, peningkatan produksi, diversifikasi produksi (multikomoditas), hilirisasi produk pertanian, teknologi modern, dan korporasi petani. ”Harapannya konsep ini dapat bermuara pada penguatan lumbung pangan nasional dan kesejahteraan petani,” ucapnya.
Saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang akan berpartisipasi dalam program food estate di Sumsel sebagai penyerap hasil pertanian. ”Nantinya sejumlah kawasan sentra produksi pangan ini akan terhubung dengan perusahaan ini sehingga ada kepastian bahwa hasil petani bisa diserap sesuai dengan harga pokok penjualan (HPP),” ucapnya.
Bambang mengakui, dalam beberapa bulan terakhir, harga gabah di Sumsel sangat rendah. Hal ini membuat petani kurang bersemangat menjual gabah. Belum lagi, tidak ada kepastian apakah gabah yang mereka produksi bisa langsung terserap. ”Dengan program food estate, kekhawatiran itu tidak akan terulang lagi,” ucap Bambang.
Pengembangan food estate akan terus berlanjut ke dua daerah sentra produksi padi lainnya, yakni Banyuasin (118.8732 hektar) dan Ogan Komering Ilir (59.751 hektar). Secara keseluruhan, ujar Bambang, food estate di Sumsel yang akan diterapkan di atas lahan seluas 278.483 hektar di sembilan daerah di Sumsel dan ditargetkan selesai pada 2022. Tidak hanya padi dan jagung, pengembangan food estate di Sumsel juga akan mengarah pada produk hortikultura, seperti bawang putih, pisang, nanas, duku, bawang merah, cabe, alpukat, jahe, dan salak.
Direktur Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Anang Noegroho Setyo Moeljono menuturkan, pelaksanaan food estate harus melalui sejumlah kajian dengan mempersiapkan dokumen perencanaan tata ruang (masterplan) dan uji kelayakan. ”Ini dimaksudkan agar penetapan kawasan food estate bisa lebih tepat,” ucapnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan kawasan food estate adalah kesiapan pelaku produksi dalam hal ini petani, budidaya, kesiapan infrastruktur, dan juga pemasaran. Untuk itu, perlu koordinasi antar-instansi agar program ini dapat berjalan dengan baik. ”Evaluasi terus dilakukan secara periodik untuk mengatasi permasalahan atau kendala yang ditemukan di lapangan,” ujar Anang.
Gambut terancam
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hairul Sobri menilai, program food estate hanya akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia, utamanya gambut. Program ini merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi tanpa mementingkan petani.
Di sisi lain, penerapan food estate akan berdampak pada semakin rusaknya kawasan gambut karena alih fungsi lahan yang kian masif. Untuk diketahui, penerapan food estate sendiri juga akan diterapkan di atas gambut. Kini, ujar Hairul, ekosistem gambut di Sumatera Selatan sudah sangat memprihatinkan. Setidaknya 70 persen dari luasan lahan gambut di Sumsel, yaitu 1,2 juta hektar, telah menjadi kawasan konsesi.
Ketika ekosistem gambut rusak, kawasan ini akan kehilangan fungsi hidrologi dan ekologi yang penting bagi alam. ”Jika program ini dilaksanakan tanpa memperhatikan dampak lingkungan, Sumsel akan dikepung oleh beragam ancaman bencana ekologi,” ujarnya.