Masyarakat Kecil Diperalat Pemodal Tambang Minyak Ilegal
Bertahun-tahun masyarakat ekonomi lemah diperalat para pemodal tambang liar. Eksploitasi ilegal berlarut di wilayah kontrak pertambangan dan hutan negara telah menimbulkan besarnya kerugian negara dan ancaman bencana.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Para pemodal tambang minyak ilegal di Jambi bertahun-tahun memperalat masyarakat ekonomi lemah untuk meraup untung dari tambang minyak liar dalam hutan negara. Usulan wilayah pertambangan rakyat takkan mengakhiri praktik liar itu jika tak seiring penegakan hukum dan penguatan ekonomi berkelanjutan, menyeluruh, dan terpadu.
Government and Public Relation Assistant Manager PT Pertamina EP Asset 1 Fikri Fardhian mengatakan, pengelolaan migas di Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin masuk dalam wilayah kerja sama pertambangan (WKP) yang berada di Bajubang, Batanghari, Jambi. WKP itu merupakan kontrak kerja sama khusus pemerintah dan PT Pertamina EP hingga tahun 2035.
Praktik tambang minyak ilegal yang telah berlangsung sejak 2017 itu membutuhkan penegakan hukum penuh agar tak semakin bertambah besar potensi pendapatan negara yang hilang.
Selama ini, masifnya tambang liar di sana sangat mengganggu operasional sekaligus mengancam keselamatan warga sekitar. Ia juga menyebut para pelaku di balik masifnya tambang selalu memperalat warga berekonomi lemah turut serta dalam praktik liar itu. Mereka dimanfaatkan sebagai pekerja untuk mencuri minyak.
Upaya yang ditawarkan pihaknya, salah satunya dengan menjalankan program tanggung jawab perusahaan (CSR) bagi masyarakat sekitar, tak mendapatkan respons positif. ”Sebab, bagi para pemodal, program CSR ini tak bernilai sebanding dengan besarnya hasil yang bisa mereka raup dengan cepat dari bisnis ilegal minyak,” katanya.
Pihaknya juga kerap mengalami kesulitan mengakses jalur tambang karena di sekitar jalur telah digerogoti sumur-sumur minyak ilegal.
Catatan Kompas, sepanjang tahun 2019 hingga 2020, aktivitas tambang minyak ilegal sangat masif khususnya dalam Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin di Kabupaten Batanghari dan sekitarnya. Akibat aktivitas ilegal itu, diperkirakan potensi 4.000 barel hilang setiap hari. Dengan harga minyak 55-60 dollar AS per barel, kala itu, pendapatan hilang minimal Rp 2,5 miliar hingga Rp 3 miliar per hari.
Menindaklanjuti persoalan itu, Kepolisian Daerah Jambi dan jajarannya telah menggelar Operasi Tambang Minyak Ilegal Siginjai 2021. Selama April ini sudah ditutup 612 sumur dan 119 bak penampungan minyak ilegal. Sebelas pelaku turut ditangkap dalam operasi.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jambi Komisaris Besar Sigit Dany mengatakan, operasi berlangsung selama 20 hari di Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin, Kecamatan Bajubang, Batanghari. ”Minyak hasil tambang liar yang kami sita sebagai barang bukti sebanyak 78.000 liter,” katanya, Selasa (27/4/2021).
Minyak hasil tambang liar yang kami sita sebagai barang bukti sebanyak 78.000 liter. (Kombes Sigit Dani)
Dalam rangkaian operasi, pihaknya juga mendapati areal dengan sebaran 121 sumur yang sebagian dimodali oleh seorang mantan kepala desa setempat. Sejak 23 April lalu, mantan kades berinisial I (50) tersebut telah masuk dalam daftar pencarian orang. Ada pula seorang pemodal lainnya diketahui menguasai 4 hektar dengan jumlah 23 sumur sumur dalam areal wilayah kerja pertambangan (WKP) PT Pertamina.
Jika ditotal sepanjang tahun ini, tambah Sigit, penegakan hukum tambang minyak ilegal telah masif. Sejak Januari hingga April, sudah 682 sumur liar ditutup tim gabungan. Perkara yang ditangani 79 kasus melibatkan 95 tersangka, sebagian di antaranya merupakan pemodal. Salah satu pemodal besarnya, F, yang sekaligus mengendalikan ratusan sumur serta jalur pipa sepanjang 10 kilometer untuk mendistribusikan hasil tambang minyak ilegal dari Kabupaten Sarolangun, masih buron hingga kini.
Sigit melanjutkan, selama berlangsungnya operasi, satu pekerja di lokasi sumur kedapatan pula tengah mengonsumsi sabu. Menurut dia, konsumsi narkotika memang kerap didapati marak pada lokasi-lokasi tambang liar. Hal itu disebabkan beratnya aktivitas tambang di lokasi. Temuan lainnya, distribusi hasil minyak ilegal itu mengalir hingga Provinsi Riau.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf menyebut kehancuran hutan semakin parah akibat berbagai aktivitas ilegal tersebut. Selain tambang minyak, aktivitas ilegal juga pada tambang emas hingga pembalakan liar.
Kondisi itu menggerogoti luas hutan di Jambi. Tutupan hutan yang masih seluas 2,7 juta hektar di tahun 1990, tersisa hanya 882.272 hektar pada 2020. Penyusutan drastis masih bakal terus berlanjut apabila tidak mendapatkan tindakan tegas dari negara.
Kepala Seksi Tata Ruang Dinas Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi Jambi Dian Martiyosa mengatakan, persoalan tambang liar telah berlarut-larut. Saat ini pihaknya mendorong agar segera masuk usulan wilayah pertambangan rakyat. Usulan akan disampaikan pemerintah kabupaten di wilayah terkait pada pekan depan.
Meski demikian, prosesnya masih akan membutuhkan waktu. Sebagai contoh, untuk usulan WPR emas, lokasi yang diusulkan itu akan dicocokkan dengan data potensi kandungan serta analisis dampak lingkungannya.
Menurut Rudi, praktik tambang ilegal berkala besar dan masif yang berjalan di Jambi tidak sesuai dengan aturan mengenai pertambangan rakyat. ”Wilayah pertambangan rakyat ditujukan bagi aktivitas tambang tradisional dan berskala kecil. Jika ini dapat diterapkan secara tegas oleh pemerintah, tidak menjadi soal. Namun, kenyataan hari ini, praktik tambang liar di Jambi berskala masif,” katanya. Praktiknya melibatkan alat-alat berat yang eksploitatif sehingga belum tentu dapat menjadi solusi dengan persoalan yang terjadi saat ini.
Apalagi, tambahnya, para petambang mengejar keuntungan cepat dan besar tanpa menyetor pemasukan kepada negara. Karena itu, yang perlu diutamakan penegakan hukum agar berjalan seiring penguatan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat kecil. Jika ekonomi berkelanjutan berkembang, masyarakat takkan tergiur oleh iming-iming dari praktik liar.