Platform Digital Bisa Selamatkan Aksara Batak dari Kepunahan
Aksara Batak terancam punah karena tidak digunakan dalam keseharian. Nasib ratusan naskah juga terancam karena perawatan yang minim. Pegiat menggagas digitalisasi aksara Batak agar bisa digunakan dalam platform digital.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Aksara Batak terancam punah karena hampir tidak digunakan dalam aktivitas keseharian apa pun. Nasib ratusan naskah aksara Nusantara di dalam negeri juga terancam karena perawatan yang minim sementara sebagian besar naskah berada di luar negeri. Sejumlah pegiat kini menggagas digitalisasi aksara Batak agar bisa digunakan dalam platform digital.
”Platform digital adalah harapan baru untuk menyelamatkan aksara Nusantara yang hampir semuanya terancam punah, termasuk aksara Batak. Sebenarnya, percakapan dengan aksara daerah dalam platform digital sangat menarik untuk anak muda,” kata Wakil Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) Heru Nugroho dalam sebuah diskusi di Medan, Sumatera Utara, Senin (26/4/2021).
Heru mengatakan, peluang digitalisasi aksara Batak sangat besar sehingga akan dengan mudah digunakan dalam platform percakapan digital di media sosial. Hal itu karena aksara Batak sudah didaftarkan ke Unicode, sebuah konsorsium yang menghimpun semua aksara di dunia.
Unicode juga merancang teks dan simbol dari sistem tulisan untuk digunakan dalam sistem komputer. Aksara Batak didaftarkan ke Unicode antara lain oleh Uli Kozok, peneliti Sastra Batak yang berasal dari Jerman.
”Namun, status aksara Batak di Unicode adalah aksara tidur karena memang tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari,” kata Heru.
Oleh Uli Kozok dan kawan-kawan, kata Heru, aksara Batak sebenarnya sudah bisa diinstalasi untuk bisa digunakan dalam aplikasi Microsoft Word. Namun, aksara itu belum bisa digunakan dalam percakapan di platform digital media sosial.
Heru mengatakan, langkah yang harus dilakukan saat ini adalah mendorong Pemerintah Provinsi Sumut untuk mengeluarkan regulasi tentang pengakuan dan perlindungan aksara Batak dan menjadi dasar untuk mendaftarkannya ke Badan Standardisasi Nasional (BSN).
”BSN akan mengeluarkan sebuah standar font ISO yang menjadi dasar untuk mendaftarkan ke UNESCO. Melalui badan PBB ini nanti bisa diwajibkan produsen telepon seluler menyediakan platform keyboard aksara Batak,” kata Heru.
Digitalisasi aksara Batak sangat mendesak dilakukan karena berkejaran dengan semakin banyaknya naskah kuno yang rusak dan tidak bisa dibaca lagi. (Mehamat br Karo Sekali)
Ketua Program Studi Sastra Batak Universitas Sumatera Utara (USU) Warisman Sinaga mengatakan, berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyelamatkan aksara Batak. Di kampus, dalam 15 tahun terakhir semua mahasiswa Sastra Batak diwajibkan menuliskan pengantar skripsinya dalam aksara Batak. ”Mereka berusaha untuk memahami aksara Batak karena itu merupakan kewajiban,” kata Warisman.
Namun, upaya itu tidak membuat mahasiswa menggunakan aksara Batak dalam keseharian karena tidak ada medianya. Digitalisasi aksara Batak pun diyakini bisa menghidupkan kembali aksara Batak dalam percakapan sehari-hari. Apalagi, percakapan melalui media tulisan saat ini justru mendominasi karena adanya media sosial.
Penerjemah naskah kuno Batak di Museum Negeri Sumatera Utara, Mehamat br Karo Sekali, mengatakan, digitalisasi aksara Batak sangat mendesak dilakukan karena berkejaran dengan semakin banyaknya naskah kuno yang rusak dan tidak bisa dibaca lagi. ”Jika terus dibiarkan, aksara Batak akan benar-benar punah karena saat ini aksara Batak hanya ada dalam naskah,” kata Mehamat.
Mehamat mengatakan, Museum Negeri Sumut saat ini menyimpan 250 naskah kuno, sekitar 158 di antaranya merupakan naskah Batak dan sisanya naskah Melayu. Sebagian sudah tidak bisa dibaca karena rusak dimakan rayap dan kurang pemeliharaan. Contoh kecil, naskah itu seharusnya disimpan di ruang berpenyejuk udara (AC), tetapi di museum itu harus dimatikan dari sore hingga pagi dan saat hari libur untuk menghemat biaya.
Ketua Lembaga Penelitian USU Robert Sibarani mengatakan, salah satu persoalan digitalisasi aksara Batak adalah adanya lima varian dari setiap subetnik. Saat mendaftarkan ke Unicode, kata Robert, Uli Kozok mengusulkan lima varian itu. Namun, Unicode hanya menerima satu saja dan disebut Unicode sebagai aksara Batak dengan menyertakan variannya sebagai keterangan.
”Ini seharusnya tidak menjadi persoalan lagi karena perbedaannya tidak ada yang prinsip. Aksara Batak yang didaftarkan oleh Uli Kozok sudah mendekati apa yang sebenarnya. Seharusnya ini bisa langsung digunakan untuk platform digital,” kata Robert.
Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen Manguji Nababan mengatakan, aksara Batak yang didaftarkan ke Unicode sudah sangat mewakili apa yang ada di naskah-naskah yang menggunakan aksara Batak. Karena itu, aksara Batak itu pun seharusnya bisa langsung ditransformasi dalam platform digital.