Juru Bicara Wapres RI Masduki Baidlowi memastikan tak akan ada pemekaran wilayah di Indonesia, kecuali di Papua. Namun, kajian tim atas pemekaran Papua pun belum ada sehingga hingga kini tetap moratorium.
Oleh
NINA SUSILO / NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin akan tetap menjaga moratorium pemekaran daerah kecuali di Papua. Meski demikian, belum ada hasil kajian mengenai pemekaran wilayah Papua. Selain itu, daerah otonomi yang sudah ada terus didorong untuk semakin mandiri dalam memenuhi kebutuhan belanja daerahnya.
Juru Bicara Wakil Presiden Masduki Baidlowi, Selasa (27/4/20201), di Jakarta memastikan bahwa tidak akan ada pemekaran wilayah lagi di Indonesia, kecuali untuk Papua. Karena itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin akan mengawal kebijakan ini kendati desakan untuk memekarkan wilayah terus berdatangan baik melalui pemerintah maupun usulan melalui DPR.
Kemungkinan pemekaran wilayah Papua pun masih dikaji. Menurut Masduki, banyak dimensi yang dipertimbangkan dan masih dibahas. Namun, tim yang mengkaji hal ini belum menghasilkan rekomendasi apa pun. Oleh karena itu, belum ada pembahasan mengenai hal ini.
Adapun otonomi daerah secara umum, Wapres Ma’ruf meminta supaya ada evaluasi terutama pada pencapaian tujuan otonomi, seperti pendapatan asli daerah. Saat ini, kebanyakan daerah masih bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).
”Wapres ingin ada kreativitas yang signifikan dari pimpinan daerah supaya pemerintah daerah bisa betul-betul mandiri secara fiskal,” kata Masduki.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi seluruh Indonesia tahun anggaran 2021, terdapat sejumlah daerah yang pendapatan asli daerahnya di bawah 30 persen.
Wapres ingin ada kreativitas yang signifikan dari pimpinan daerah supaya pemerintah daerah bisa betul-betul mandiri secara fiskal.
Misalnya, Papua Barat (6,15 persen), Papua (11,96 persen), Maluku (16,03 persen), Aceh (16,93 persen), Sulawesi Barat (18,87 persen), Maluku Utara (19,79 persen), Gorontalo (21,16 persen), Sulawesi Tengah (26,59 persen), Sulawesi Tenggara (27,82 persen), dan Bangka Belitung (29,18 persen).
Penegakan sanksi
Selain itu, Masduki mengingatkan pemerintah daerah agar tetap menaati aturan perundangan yang berlaku, termasuk dalam penganggaran. Semua itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan yang telah ditentukan.
”Wapres selama ini meminta ada penegakan sanksi secara benar,” kata Masduki.
Kendati sudah dimungkinkan untuk menggabungkan kembali daerah pemekaran dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemekaran Daerah, Wapres belum mengarah pada hal ini. Konsentrasi saat ini, menurut Masduki, masih pada pembenahan kinerja pemerintahan daerah supaya mandiri secara fiskal.
Adapun berdasarkan data terakhir di Kemendagri, terdapat 327 daerah yang mengajukan pembentukan daerah otonom baru (DOB) kepada pemerintah.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, pembentukan DOB sebenarnya ada baiknya, yakni untuk mempercepat pembangunan, mempermudah pelayanan publik, serta memotong birokrasi.
Namun, di sisi lain, terkadang ada daerah yang latah untuk membuat DOB. Padahal, pembentukan DOB ini akan memerlukan biaya yang sangat tinggi sehingga pemda harus memperhitungkan kemandirian fiskal mereka. Pembentukan DOB, misalnya, pasti akan memerlukan biaya untuk membentuk pemerintahan baru, membentuk infrastruktur, serta melakukan perekrutan sumber daya manusia.
”Ini semua perlu diperhitungkan,” ujarnya.
Atas segala persoalan itu, Tito mengungkapkan, desain besar otonomi daerah perlu dipikirkan. Ia menyebut Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri kini tengah menyusun Desain Besar Penataan Daerah (Desartada).
”Ini agar pembangunan daerah otonom baru tidak latah, tetapi betul-betul karena kepentingan dan keperluan yang betul-betul sangat rasional,” ujarnya.
Dievaluasi
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman berpandangan, sebelum memutuskan pemekaran daerah, pemerintah seharusnya mengevaluasi terlebih dahulu seluruh daerah otonom. Sebab, ia melihat masih banyak daerah yang telah dimekarkan belum bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat, meningkatkan daya saing, serta membangun sistem pemerintahan yang baik.
”Kemandirian fiskal daerah sangat rendah. Padahal, keberhasilan otonom adalah bagaimana daerah itu bisa otonom. Ini baru bicara soal mandiri fiskal, belum lagi bicara masalah lain, seperti malaadministrasi, akuntabilitas, korupsi, dan sistem anggaran,” ujar Herman.
Jangan menimbulkan beban baru terutama beban fiskal untuk pusat. Pusat harus berani menggabungkan daerah-daerah yang dinilai gagal. Jangan terpenjara kepentingan politik sejumlah elite, baik di pusat maupun daerah. Sebab, kalau kita melihat fenomena pemekaran ini, kan, sebenarnya bukan murni aspirasi masyarakat, melainkan karena kepentingan elite politik daerah ataupun elite pusat.
Karena itu, menurut Herman, perlu dipikirkan dan dipertimbangkan lagi soal memberikan keleluasaan bagi daerah untuk melakukan pemekaran. Apalagi, pada 2021 dan setelahnya anggaran akan fokus untuk menangani Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Belum lagi kondisi APBN sepanjang kuartal I-2021 mengalami defisit sebesar Rp 144,2 triliun.
”Jangan menimbulkan beban baru terutama beban fiskal untuk pusat. Pusat harus berani menggabungkan daerah-daerah yang dinilai gagal. Jangan terpenjara kepentingan politik sejumlah elite, baik di pusat maupun daerah. Sebab, kalau kita melihat fenomena pemekaran ini, kan, sebenarnya bukan murni aspirasi masyarakat, melainkan karena kepentingan elite politik daerah ataupun elite pusat,” tuturnya.
”Dalam situasi normal saja, kita melihat pemekaran saja bukan jalan menuju kesejahteraan, apalagi di dalam situasi pandemi di mana kita harus berhemat. Pemekaran, kan, butuh anggaran, dan butuh kekuatan dana yang besar. Di situasi normal saja, pemekaran harus dipertimbangkan, apalagi di situasi keuangan negara seperti sekarang,” tutur Herman, melanjutkan.
Lebih masuk akal, menurut Herman, pemerintah harus berani menggabungkan daerah, bukan malah memekarkan daerah. Jika daerah itu dinilai tidak berhasil mencapai tujuan otonomi daerah, pemerintah pusat harus tegas untuk menggabungkan lagi daerah-daerah otonom ke induknya.
Suatu daerah dikatakan gagal di sini, misalnya, jika daerah tersebut tak memiliki kemandirian serta bermasalah dari sisi pelayanan publik.