Kian Meresahkan, Ratusan Sumur Minyak Ilegal di Musi Banyuasin Ditutup
Kepolisian Resor Musi Banyuasin menutup sekitar 290 sumur minyak ilegal di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Aktivitas itu telah membuat pemda merugi sekitar Rp 3 triliun per tahun.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
BAYUNG LENCIR, KOMPAS — Kepolisian Resor Musi Banyuasin menutup sekitar 290 sumur minyak ilegal di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Penertiban ini dilakukan karena aktivitas tambang ilegal di Bayung Lencir sudah mengkhawatirkan. Pemkab mengalkulasi kerugian akibat aktivitas ini mencapai Rp 3 triliun per tahun.
Penertiban dilakukan di beberapa tempat, yakni di Desa Pangkalan Bayat, Desa Sako Besar, Desa Lubuk Kumpo, dan beberapa desa lain. Penertiban ini rencananya akan berlangsung sampai Kamis (29/4/2021).
Pantauan Kompas, Selasa (27/4/2021), puluhan aparat kepolisian menertibkan salah satu titik tambang minyak ilegal di Desa Pangkalan Bayat. Banyak petambang yang masih melakukan aktivitas ilegal itu di sana.
Ketika polisi datang, para petambang langsung menghentikan aktivitasnya dan berkumpul di bawah pondok beratap daun nipah. Di sana polisi melakukan sosialisasi dan kemudian menutup sumur minyak ilegal secara permanen dengan menimbunnya dengan tanah, serta merusak pipa penyalur minyak sepanjang 1,5 kilometer dan mesin penyedot minyak.
”Dengan begitu, kami berharap mereka (petambang) tidak lagi melakukan aktivitas serupa,” ujar Kepala Kepolisian Resor Musi Banyuasin Ajun Komisaris Besar Erlin Tangjaya, Selasa (27/4/2021).
Erlin menuturkan, kegiatan penambangan minyak ilegal di Kecamatan Bayung Lencir ini sudah sangat meresahkan karena setiap tahun jumlahnya terus bertambah. ”Penambahan itu kian masif dalam dua tahun terakhir,” ucapnya.
Erlin menduga, ada pemodal besar yang bermain untuk mengeruk minyak di Musi Banyuasin secara ilegal. Ada juga petambang yang mendapatkan modal secara urunan untuk menggali sumur ilegal yang memang membutuhkan modal besar.
Tambang minyak ilegal bukan lagi soal perut, melainkan sudah urusan bisnis para pemain besar. (Ajun Komisaris Besar Erlin Tangjaya)
Hal itu terkuak ketika terjadi ledakan tempat penyulingan minyak ilegal di Desa Sukajaya, Kecamatan Bayung Lencir, Selasa (20/4/2021). Dari peristiwa itu, polisi menangkap RA (47), warga Bogor, Jawa Barat, yang merupakan pemilik modal dari usaha penyulingan minyak ilegal tersebut. Sementara pemilik lahan melarikan diri ke wilayah Jambi.
Dari temuan ini, ujar Erlin, dapat disimpulkan bahwa aktivitas tambang minyak ilegal di Musi Banyuasin sudah sangat masif dan sistematis. ”Tambang minyak ilegal bukan lagi soal perut, melainkan sudah urusan bisnis para pemain besar,” ujar Erlin.
Dicky (32), salah satu petambang, mengaku aktivitas ini terpaksa mereka lakukan untuk mencari makan. ”Banyak yang bergantung dari aktivitas ini, apalagi di masa pandemi seperti ini,” ucapnya. Dalam satu titik saja setidaknya ada ratusan orang yang bekerja di sini.
Dalam satu titik penambangan terdapat sedikitnya 20 sumur. Satu sumur dioperasikan oleh 20 orang. Sumur banyak digali lantaran kelompoknya harus memperkirakan di mana potensi minyak itu berada.
Jika pemerintah mau menutup aktivitas ini, lanjut Dicky, seharusnya para petambang diberikan pekerjaan yang laik. ”Kalau tambang ini tutup, kami mau makan apa?” ujarnya. Kalaupun ingin menindak seharusnya sudah dilakukan sebelum aktivitas ini merebak. ”Kami sudah beroperasi sejak 2005, kenapa baru sekarang ditertibkan,” katanya.
Kegusaran itu muncul karena untuk menggali satu sumur dirinya harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Penggalian satu sumur harus menggelontorkan uang sekitar Rp 80 juta untuk kedalaman sumur 200 meter bahkan lebih berikut biaya operasional lainnya. ”Kalau lagi beruntung, kami akan mendapatkan minyak. Namun, kalau lagi sial, kami terkadang tidak dapat apa-apa,” kata Dicky.
Merugikan daerah
Sekretaris Daerah Musi Banyuasin Apriyadi mengatakan, beragam upaya terus dilakukan pemerintah daerah dan jajaran untuk memberantas aktivitas ini. Namun, tetap saja petambang kembali menjamur. ”Kami sudah bekerja mati-matian menghentikan tambang tapi banyak oknum yang bermain,” katanya.
Dari aktivitas ilegal ini, ujar Apriyadi, pemerintah daerah tidak mendapatkan apa-apa kecuali warga yang menjadi korban dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Sebagian besar hasil penyulingan minyak ilegal ini juga tidak digunakan di Musi Banyuasin, melainkan disalurkan ke industri di wilayah luar Sumsel, seperti Bangka Belitung, Lampung, dan Tangerang. ”Selama masih ada permintaan, kegiatan ini masih akan terus berlangsung,” ujar Apriyadi.
Banyak warga yang tertarik untuk menggarap bisnis ilegal ini lantaran keuntungannya yang tinggi. ”Mereka meninggalkan pekerjaannya sebagai pekebun atau petani dan beralih menjadi petambang lantaran keuntungan yang didapat,” ungkap Apriyadi.
Sebenarnya beragam solusi sudah ditawarkan salah satunya dengan mengelola hasil minyak tambang rakyat melalui badan usaha milik daerah (BUMD). Namun, konsep itu tidak berjalan optimal lantaran kurangnya dukungan.
Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab Musi Banyuasin Yudi Herzandi menambahkan, pemerintah sudah geram karena aktivitas ini karena tak kunjung tuntas. ”Masih ada oknum petugas yang bermain,” ucapnya.
Akibat aktivitas ini, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin harus merugi sekitar Rp 3 triliun per tahun. Menurut dia, perlu peran atau kekuatan yang lebih besar untuk memberantas praktik ini. ”Kekuatan itu tidak lain peran dari pemerintah pusat,” ujarnya.