Ancaman narkotika semakin mengerikan. Nyaris setiap lapisan warga tersandung kasus narkoba, mulai dari pegawai negeri, politisi, oknum penegak hukum, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Penyelundupan dan peredaran gelap narkotika jenis sabu di Provinsi Aceh semakin masif. Petugas menangkap pelaku, mulai dari nelayan, oknum polisi, ibu rumah tangga, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Aceh ibarat dihantam tsunami narkoba.
Pada Selasa (20/4/20210) warga Aceh dikejutkan dengan penangkapan US, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bireuen, oleh petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) RI. US ditangkap bersama dua rekannya di kawasan Idi, Kabupaten Aceh Timur.
US anggota dewan periode 2019-2022 dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Jabatan terakhir dia adalah Ketua PKB Kabupaten Bireuen. Dia dipecat dari posisi ketua setelah ditetapkan sebagai buronan.
Dari tangan US, petugas menyita sabu seberat 25 kilogram. ”Selain sebagai pemilik, US juga pengendali jaringan narkoba. Sabu tersebut akan diedarkan ke Jambi,” kata Deputi Pemberantasan dan Penindakan BNN RI Arman Depari dihubungi, Kamis (22/4/2021).
Dia juga mencoreng Aceh sebagai daerah syariat Islam. (Herman Fitra)
Pada Sabtu, (17/4/2021), Bea Cukai Aceh dan BNN juga menangkap empat tersangka penyelundup dan menyita 80 kilogram sabu. Pelaku ditangkap di tengah laut dan satu orang di darat. Sabu diangkut dengan kapal kayu mesin tempel. Mereka menyaru sebagai nelayan. Sabu yang sempat dibuang ke laut ditemukan.
Di Langsa, pada Selasa (20/4/2021) polisi menangkap tiga orang jaringan pengedar. Sabu seberat 1 kilogram disita polisi, sedangkan di Lhokseumawe, Sabtu, (17/4/2021) anggota Polres Lhokseumawe menangkap dua pengedar dan menyita sabu 232,67 gram.
Sabu diselundupkan ke Aceh melalui perairan Selat Malaka. Para bandar narkotika di Malaysia, Thailand, dan Myanmar dengan mudah mengirim barang haram itu ke Aceh. Mereka memanfaatkan panjang garis pantai yang terbentang dari Banda Aceh hingga Aceh Tamiang.
Petugas paling sering menangkap penyelundup di kawasan utara timur Aceh, seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Timur. Sebab kawasan itu berhadapan langsung dengan Selat Malaka.
Pada tahun 2020, Kepolisian Daerah Aceh menangani 1.025 kasus kriminal penyalahgunaan narkotika. Dari kasus itu, 2.144 orang ditetapkan sebagai tersangka serta 141 kilogram sabu dan 100.000 butir ekstasi disita.
Pada 2019 jumlah kasus 1.521 dengan jumlah tersangka 1.714 orang. Adapun barang bukti yang disita 121 kilogram sabu dan 4.348 butir ekstasi.
Sejak Januari-Maret 2021, Kepolisian Daerah Aceh telah memusnahkan sabu 404 kilogram. Jauh lebih besar dibandingkan tangkapan akumulasi dua tahun. Barang bukti ini belum termasuk tangkapan yang dilakukan oleh BNN.
Berbagai kalangan
Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Wahyu Widada mengatakan, sebagian besar tersangka penyelundup, pengedar, dan pengguna berada dalam masa usia produktif, yaitu 35-44 tahun. Beberapa pengguna usia 17-19 tahun. Wahyu khawatir masa depan generasi muda Aceh terancam.
”Polisi meningkatkan pengawasan, tidak ada kata menyerah memberantas narkoba,” kata Wahyu.
Dalam kasus-kasus yang ditangani Polda Aceh dan BNN tersangka berasal dari berbagai latar belakang, seperti petani, nelayan, mahasiswa, ibu rumah tangga, politisi, aparatur desa, dan oknum polisi.
Di Pidie pada 21 Oktober 2019, polisi menahan pasangan suami istri karena diduga mengedarkan sabu. Sementara di Aceh Besar satu keluarga terdiri dari ibu, anak perempuan, dan menantu diduga terlibat dalam jaringan narkoba internasional. Dua orang, yakni ibu dan menantu, ditangkap, sedangkan anak perempuan kini menjadi buronan polisi.
Narkoba telah menyerang berbagai lapisan kehidupan warga Aceh. Data dari BNN Provinsi Aceh pengguna narkoba di Aceh mencapai 82.140 jiwa. Pada 2020, Aceh berada pada peringkat enam provinsi pengguna narkoba. Naik dari peringkat ke-12 pada tahun 2017.
Kepala BNN Provinsi Aceh Heru Pranoto mengatakan, tantangan memerangi penyalahgunaan narkoba sangat berat. Jaringan pengedar terkoneksi antarnegara hingga ke desa. ”Bandar-bandar menjadi sasaran penindakan,” kata Heru.
Heru mengatakan upaya pencegahan dengan penindakan harus sama kuat. Sebab, pencegahan adalah usaha menghentikan di hulu, sedangkan penindakan di hilir. BNN Aceh banyak melakukan kampanye antinarkoba bersama komunitas milenial, pelajar, perguruan tinggi, pemerintah desa, swasta, dan pemerintah.
Sosialisasi dilakukan ke sekolah, warung kopi, dan ke desa-desa. BNN juga membentuk desa Bersinar (bersih dari narkoba) dan program Grand Design of Alternative Development (GDAD), peningkatan ekonomi daerah yang rentan terpapar narkoba.
”Sekarang bukan hanya kami, melainkan semua masyarakat yang harus menyuarakan untuk melawan narkoba,” kata Heru.
Rektor Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Herman Fitra mengatakan sangat kaget dan kecewa terhadap anggota DPRK yang menjadi pengedar sabu. Pelaku mengkhinati sumpah jabatan dan mengkhianati seluruh pemilih. ”Dia juga mencoreng Aceh sebagai daerah syariat Islam,” kata Herman.
Herman menilai ancaman narkotika semakin mengerikan. Nyaris setiap lapisan warga tersandung kasus narkoba, mulai dari pegawai negeri, politisi, oknum penegak hukum, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga. Herman memandang persoalan ini sangat akut dan perlu segera dicari solusi.
”Kampanye antinarkoba harus lebih masif. Khutbah-khutbah di masjid perlu lebih banyak kampanye melawan narkoba,” kata Herman.
Herman menambahkan, materi antinarkoba perlu dimasukkan dalam pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Razia dan pengawasan di jalur pantai perlu ditingkatkan untuk mempersempit ruang gerak penyelundupan.
”Hukuman bagi pelaku harus maksimal. Bandarnya harus ditangkap, bukan hanya kurir,” kata Herman.
Ketua Inspirasi Keluarga Anti Narkoba (IKAN) Aceh Syahrul Maulidi mengatakan, saat ini yang terlihat serius dan totalitas memerangi narkoba adalah aparat penegak hukum, tetapi pemerintah daerah tidak memperlihatkan dukungan penuh.
Meski demikian, kata Syahrul, benteng terakhir dalam melawan narkotika ada keluarga. Anggota keluarga harus saling menjaga dan mengawasi agar tidak ada yang terjerumus ke lubang gelap narkoba. Jika benteng keluarga telah rapuh, siap-siap gelombang narkoba akan makin kuat menghantam semua warga Aceh.