Konflik Pertambangan, 13 Warga Konawe Utara Jadi Tersangka
Sebanyak 13 warga di Kecamatan Landawe, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, ditangkap aparat kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka setelah aksi menuntut tanggung jawab perusahaan pertambangan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Sebanyak 13 warga di Kecamatan Landawe, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, ditangkap aparat kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka setelah aksi menuntut tanggung jawab perusahaan pertambangan. Dalam aksi itu, warga membakar jembatan karena pihak perusahaaan tidak kunjung menepati janji.
Penangkapan terhadap 13 warga Landawe terjadi pada Jumat (23/4/2021) sekitar pukul 16.00 Wita. Warga melakukan aksi menuntut tanggung jawab perusahaan tambang nikel itu terhadap lahan dan dampak aktivitas pertambangan.
“Kami aksi sejak Kamis menuntut PT Tiran Indonesia menunaikan janji dan tanggung jawab perusahaan ke masyarakat. Ini khususnya terkait lahan yang mereka olah dan masuk dalam wilayah adat Landawe, apalagi mereka telah berjanji untuk menunaikan kewajiban,” kata Mustaman, koordinator aksi sekaligus satu dari 13 orang yang ditangkap, Sabtu (24/4).
Aksi ini, tutur Mustaman, diikuti ratusan warga dari tiga desa di Landawe, yaitu Desa Tambakua, Landawe Utama, dan Landawe. Warga melakukan aksi di jalan pertambangan yang menghubungkan desa dengan kawasan pertambangan. Setelah melakukan aksi seharian penuh, massa menuntut agar pihak perusahaan hadir dan memberi jawaban atas tuntutan yang diajukan.
Akan tetapi, tutur Mustaman, hingga waktu yang telah ditentukan, perwakilan perusahaan yang bisa memberikan keputusan tidak juga datang. Massa merasa tidak didengarkan oleh perusahaan sehingga mereka membakar jembatan yang berada di dekat lokasi aksi.
“13 orang ditangkap dan diborgol meski telah tiba di kantor Polres Konut. Ada juga dua orang teman yang diintimidasi hingga ditendang aparat padahal sudah di kantor polisi. Dari 13 orang, dua di antaranya ibu-ibu,” kata Mustaman.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Konut Inspektur Satu Rahmat Zamzam menyampaikan, 13 orang itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ditetapkan tersangka pembakaran dengan pasal 187 KUHP, dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara. Beberapa orang lainnya ditetapkan tersangka dengan Undang-undang darurat terkait membawa senjata tajam.
Hanya, warga kurang sabar, tidak mau menunggu perwakilan perusahaan yang datang dari Makassar. Begitu mereka membakar, ya, kami tindak.
Rahmat menjelaskan, penangkapan dilakukan sebab massa telah bertindak anarkistis dengan melakukan pembakaran jembatan. Tidak hanya di bagian atas, tetapi rangka jembatan yang terbuat dari kayu juga dibakar.
“Sejak dua hari kami menjaga, kami lakukan tindakan persuasif saja. Kami imbau untuk tidak anarkistis, apalagi Pak Kapolres sudah fasilitasi dengan pihak perusahaan PT Tiran untuk menemui masyarakat. Hanya, warga kurang sabar, tidak mau menunggu perwakilan perusahaan yang datang dari Makassar. Begitu mereka membakar, ya, kami tindak,” ucap Rahmat.
Sejak awal, tutur Rahmat, pembakaran jembatan seolah telah disiapkan oleh massa. Sebab, jembatan telah disiram dengan bensin dan sela-sela kayu pondasi jembatan diselipkan kain yang mudah terbakar. Sebagian tersangka juga berbagi peran, seperti membawa bahan bakar dan melakukan pembakaran.
“Makanya, ketika ada pembakaran, langsung kami tindak karena itu membahayakan. Kalau dibilang kami memborgol warga, memang membawa orang pelaku anarkistis kami borgol dulu. Tapi, kalau dibilang ada pemukulan, itu tidak ada,” tambah Rahmat.
Herman, anggota DPRD Konut daerah pemilihan Landawe dan Langgikima menuturkan, pada pertengahan Februari lalu, pihaknya telah memfasilitasi masyarakat bertemu dengan pihak perusahaan. Saat itu, masyarakat menuntut sejumlah hal, yaitu pembebasan lahan adat yang telah dibuka oleh perusahaan, program pemberdayaan masyarakat, dan terkait dampak aktivitas perusahaan.
“Saat itu, perusahaan menampung tuntutan warga dan berjanji akan meneruskan ke pihak yang bisa mengambil keputusan,” kata Herman.
Humas PT Tiran, La Pili, saat dihubungi Kompas, tidak menjawab panggilan. Pertanyaan yang dikirimkan lewat pesan pendek juga tidak dijawab. Perusahaan yang merupakan bagian dari PT Tiran Group milik mantan Menteri Pertanian Amran Sulaiman ini tidak memiliki portal website dan nomor telepon perusahaan.
Permasalahan warga Landawe hingga Langgikima terkait pertambangan telah berlangsung bertahun-tahun. Selain PT Tiran, hal itu juga terjadi dengan sejumlah perusahaan pertambangan nikel lain yang beroperasi di sekitar wilayah tersebut.
Landawe dan Langgikima merupakan daerah lembah dan cekungan yang dilintasi Sungai Lasolo, sungai utama di wilayah ini. Perusahaan tambang di dua kecamatan ini sebagian besar beroperasi di bagian hulu dan bukit. Hulu sungai rusak tertimbun sedimentasi dan membuat banjir lumpur rutin terjadi.
Pada 2019 lalu, banjir bandang di Konawe Utara membuat ribuan hektar sawah rusak, 20.000 warga terdampak, dan sedikitnya 370 rumah hanyut. Penelusuran Kompas di wilayah hulu sejumlah sungai di Langgikima hingga muara Sungai Lasolo di Molawe menemukan masifnya pembukaan kawasan hutan. Pertambangan terus mengupas bukit curam, perkebunan sawit luas di bukit dan sempadan sungai, juga pembalakan hutan.
Di Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima, pada ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan laut, lubang penggalian raksasa terlihat di lokasi penambangan nikel. Lubang ini berdiameter sekitar 100 meter dengan kedalaman lebih dari 30 meter. Di salah satu sudut terdapat saluran air buatan yang alirannya langsung menuju Sungai Laundolia di bawahnya.
Konawe Utara merupakan kabupaten dengan konsesi pertambangan terbanyak di Sultra. Berdasarkan data Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi, ada 101 izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi dan produksi nikel yang pernah diterbitkan di Konawe Utara. Sebagian IUP ini ada yang kedaluwarsa, tapi sebagian besar masih memiliki jangka waktu yang panjang, bahkan hingga 2034. Luas lahan setiap IUP tersebut bervariasi, dari ratusan, ribuan, hingga puluhan ribu hektar.
Sementara itu, data Pemkab Konut, terdapat 68 jumlah IUP yang aktif dan berstatus clean and clear di wilayah ini. Sebanyak 20 izin di antaranya telah melakukan produksi di sejumlah lokasi di wilayah tersebut.
Pengajar Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo Nur Arafah menjabarkan, alam mempunyai daya dukung yang terbatas. Pembukaan permukiman, jalan, hingga aktivitas ekonomi harus memiliki ukuran yang seimbang dengan daya dukung tersebut. Saat lingkungan tidak menjadi perhatian, bencana pasti melanda.
Tidak hanya itu, tambah Arafah, konflik dengan masyarakat juga tiada habisnya karena hal ini menyangkut persoalan hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki kearifan untuk mengatur, mengelola, dan menjaga sumber daya yang ada untuk kemaslahatan bersama.