Sukaimut, Bukan Desa Amit-amit
Desa Sukaimut di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dulu tak punya daya tarik. Desa ini ditinggal warganya merantau. Namun, kini semua berubah. Desa ini punya wisata air dan bukit.
Beberapa tahun lalu, Desa Sukaimut, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, nyaris tak punya daya tarik. Sebagian besar warganya merantau, sedangkan sampah menumpuk di depan desa. Namun, kini semuanya berubah.
Tulisan Sukaimut berwarna merah menyapa siapa saja saat memasuki desa yang berjarak 12 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Kuningan itu. Teduh pepohonan dan suara air bertemu bebatuan seakan mengundang untuk menyusuri desa lebih dalam.
Benar saja, tepat di atas Sungai Cisanggarung tampak papan bertuliskan ”Wisata Air Moncongos”. Di samping loket terdapat ruangan berisi sekitar 20 baju pelampung, helm, dayung, sepatu, pelindung lutut, dan ban dalam raksasa. Semuanya milik Badan Usaha Milik Desa Sukaimut.
Baca juga: Suburkan Saling Mengikat, Bukan Saling Menghambat
Di sekitarnya menempel mural ajakan membuang sampah pada tempatnya dan tidak merokok. Ada pula mural bertuliskan ”Lindungi hutan dari pembalakan liar” lengkap dengan gambar sisa tebangan batang pohon raksasa yang berusaha memeluk bibit tanaman. Mungkin karena banyak penebangan pohon, monyet-monyet di sekitar turun ke kebun warga.
Beginilah suasana wisata air di Sukaimut. Pengunjung bisa merasakan arung jeram dan river tubing (menyusuri sungai dengan ban) sepanjang 1 kilometer. Waktu tempuhnya pun cukup lama, sekitar 45 menit hingga sejam.
”Ini wisata air terpanjang di Kuningan. Kami lagi persiapan launching. Mungkin habis Lebaran,” kata Kuwu (Kepala Desa) Sukaimut Uka, Kamis (22/4/2021). Tarifnya, rencananya Rp 30.000-Rp 50.000 per orang.
Selain mengurus asuransi bagi pengunjung, pihaknya juga masih berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menjadikan Moncongos sebagai destinasi wisata baru di Kuningan. Meski demikian, sudah banyak warga yang datang mencoba sensasi sepenggal arus Sungai Cisanggarung.
Informasi arung jeram di Sukaimut mulai menyebar di media sosial. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa arena wisata itu dulunya ”tempat sampah”, tepat di pinggir sungai. ”Dulu, orang masuk desa langsung bau sampah. Pemandangannya enggak enak,” kenang Uka.
Uka yang menjabat kuwu sejak 2009 lalu punya ide mengubah area itu jadi wisata air pada 2013. Beberapa kali diskusi dengan Pemkab Kuningan, belum ada titik temu. Seiring masuknya dana desa pada 2015, "tempat sampah" itu diubah jadi taman.
Ada tanaman kecil dan tempat duduk. Adapun pengelolaan sampah masih dilakukan dengan membakar dan mengangkut ke luar desa.
Mulai 2019, pemdes membeli peralatan wisata air. Sedikitnya Rp 150 juta habis untuk menyiapkan wisata itu. Aparat desa dan BUMDes juga pergi ke Kota Banjar untuk melihat langsung wisata arung jeram. Selain infrastruktur, warga juga rutin membersihkan desa setiap Jumat.
Perubahan Sukaimut pun mengundang warganya di perantauan kembali. Dari sekitar 860 warganya, setidaknya 300 orang di antaranya menggantungkan hidup di Jakarta. Sebagian besar bekerja sebagai pedagang BRI (bubur, rokok, indomie).
Bangga di desa
“Sekarang mah ada kebanggaan di desa. Banyak yang dari Jakarta kalau libur panjang pulang ke desa untuk cobain wisata air,” kata Adi Hardiansyah (24), Ketua BUMdes Bintang Muda Sukaimut. Adi sendiri merupakan mahasiswa Unikom Bandung. Ia pulang kampung mengurus skripsi saat pandemi dan ‘tercebur’ dalam pengembangan wisata desa.
“Kami ingin anak muda bisa hidup di desa, tidak mesti merantau lagi,” ucap Adi yang berencana tetap di desa setelah sarjana. Saat ini, ada dua guide wisata dan tujuh anggota BUMDes yang diberdayakan. Para anak muda itu juga sudah belajar tata cara keselamatan wisata air.
Memang, pandemi Covid-19 dan larangan mudik kali ini menjadi tantangan Sukaimut dikunjungi wisatawan. “Kami lagi mencoba menarik pengunjung dari desa lain melalui medsos,” ucapnya.
Kami ingin anak muda bisa hidup di desa, tidak mesti merantau lagi
Sukaimut tidak hanya mengubah area sampah menjadi tempat wisata, tetapi juga menciptakan pandangan “membelakangi sungai”. Selama ini, sungai dianggap halaman belakang yang tidak perlu dijaga. Cisanggarung pun kerap dituding sebagai penyebab banjir di daerah hilir, Cirebon dan Brebes (Jawa Tengah). Di Sukaimut, sungai jadi daya tarik.
Apalagi, pemerintah desa berupaya memadukan sungai dan bukit. Bagi pengunjung yang lebih senang mendaki bisa mencoba Bukit Moncongos. Saat ini masih dalam penataan. Selain menanam 400 pohon kelapa, warga juga menyiapkan saung untuk bersantai dan toilet. Pengunjung harus berjalan kaki sekitar 30 menit untuk sampai ke puncak.
Dari sana tampak landscape wilayah timur Kuningan. Uniknya, menurut Uka, pada Agustus dan September, sekitar lima pohon akan memekarkan bunga layaknya sakura. ”Warga menyebutnya bunga dangdeur,” ujarnya sambil menunjukkan poto bunga berwarna merah jambu itu.
Selain menyuguhkan wisata sungai dan bukit, Sukaimut mulai membangun produk unggulannya: sayuran dalam polybag. Sayuran itu tersebar di lima blok. Ada cabai, tomat, sawi, kangkung, dan selada bokor. Ada juga tanaman obat keluarga atau toga, seperti lidah buaya, jahe, dan kencur. Setiap blok memiliki 400-800 polybag. Dalam 25 hari, warga panen dengan hasil bervariasi.
Miniatul Muzdalifah (30), warga setempat, memetik sayuran dari sekitar 800 polybag milik kelompok. Ia tak perlu lagi mengeluarkan uang Rp 25.000 untuk belanja sayuran setiap tiga hari. Uangnya dialokasikan untuk hal lain, seperti membeli kuota internet sekolah daring anak pertamanya.
Miniatul bersama 11 ibu lainnya juga membuat produk olahan dari sayuran, seperti citrek, keripik khas setempat. Bahannya tepung beras, aci, serta irisan sawi dan bawang daun. Tujuh warung di desa rutin memesan masing-masing 30 bungkus kecil per minggu.
Dengan harga Rp 800 per bungkus, Miniatul dan teman-temannya bisa meraup sekitar Rp 168.000 per minggu. ”Sebelum pakai irisan sayuran yang ditanam di polybag, cuma empat warung yang minta. Kalau di Bukit Moncongos, nanti dibuat kemasan Rp 5.000,” katanya.
Perubahan di Sukaimut menjadi potret bagaimana mengganti masalah dengan berkah. Salah satu caranya, menurut Uka, seperti pohon, kita tidak boleh lepas dari akar. ”Mengapa kami pilih wisata Moncongos bukan Sukaimut? Karena Moncongos itu dulu nama desa ini. Orang-orang dulu bilang itu artinya tegas, berani, dan punya semangat gotong royong. Itu yang coba kami kembalikan,” ujarnya.
[video width="568" height="320" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/04/Video_20210422205314124_by_videomaker_s01.mp4"][/video]