Perempuan dan Kisah yang Mencatatnya
Mata Hari, perempuan keturunan Jawa yang disebut-sebut mata-mata Jerman-Perancis itu, mati di depan regu tembak. Namun, kisahnya akan terus hidup sesuai bingkai rasa masing-masing.
Tubuh cepat letih, tetapi jiwa selalu bebas dan akan membantu kita lepas, suatu hari nanti, dari lingkaran neraka kesalahpahaman yang terus diulangi setiap generasi. (Paulo Coelho)
Baju putih menjadi alasnya berlutut di hadapan polisi, memohon agar tidak lagi menembaki demonstran. Tangannya terentang, seakan merelakan tubuhnya dicabik-cabik peluru dari senapan yang terhunus tangan pria-pria gagah di depannya. Perempuan itu menjelma pelindung bagi para demonstran di belakang.
Di depannya, dua polisi turut berlutut sambil tangannya dalam posisi menyembah di depan dada. Selama beberapa saat, ”atraksi kemanusiaan” itu menyentak nurani setiap orang.
Satu pihak polisi memohon agar Suster Ann Rose Nu Tawng yang berlutut di hadapan para polisi itu mau bergeser sehingga mereka bisa menjalankan tugas menghentikan perlawanan para demonstran terhadap kudeta militer di Myanmar. Di sisi lain, sosok biarawati dengan keberanian dan rasa belas kasihnya mencoba menghentikan tragedi kemanusiaan yang sudah merenggut nyawa banyak orang dan menyebabkan ”banjir darah” di Myanmar.
Baca juga: ”Tembak Saya Saja”
Kisah Suster Ann itu bukan sekali ini saja. Februari lalu, ia juga berlutut dengan cara yang sama, saat unjuk rasa serupa terjadi.
Memang, berlutut ala Suster Ann bukanlah solusi atas konflik Myanmar. Berharap bahwa setelah Suster Ann berlutut, lalu polisi menghentikan tembakan, rasanya hanya ada di film. Hingga kini, bentrokan demonstran dan polisi terus terjadi. Korban jiwa terus berjatuhan.
Namun, setidaknya atraksi kemanusiaan Suster Ann menggambarkan keberanian seorang perempuan memperjuangkan keyakinannya. Jika unjuk rasa tak membuahkan hasil, Suster Ann pun memohon dan berlutut dengan caranya. Mencoba membuka dialog yang memang tak lagi bisa dilakukan di sana.
Suster Ann adalah salah satu contoh perempuan yang baru-baru ini menyentak kesadaran semua orang bahwa di balik kelemahlembutan sosok perempuan ada kekuatan yang akan muncul pada saat yang tepat. Seketika, Suster Ann dielu-elukan dan menempati ruang khusus dalam bilik hati banyak orang.
Baca juga: Ibu Saya Kartini
Prasasti
Di dalam negeri, banyak sosok perempuan luar biasa yang berani memperjuangkan keyakinannya seperti Suster Ann. Ibu Kartini, Cut Nyak Dhien, Nyi Ageng Serang, dan deretan nama lain tentu sudah sangat lekat di pikiran. Mereka adalah perempuan dengan catatan kepahlawanan.
Kisah perempuan-perempuan luar biasa di negeri ini, bahkan sudah dituliskan sejak berabad sebelumnya. Pada era Jawa pra-Islam, sebagaimana ditulis oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3 (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), banyak kisah perempuan mengambil peran dalam kehidupan sosial dan kiprahnya terekam dalam teks-teks prasasti.
Salah satu prasasti menggambarkan peran perempuan adalah Prasasi Taji yang ditemukan di Ponorogo, Jawa Timur, 823 Saka/901 Masehi. Prasasti itu menggambarkan pembukaan kawasan tanah milik menjadi candi. Tanah itu di antaranya milik dua perempuan, yaitu Si Padas (ibu Ni Sumeng) dan Si Mendut (ibu Ni Mangas).
Prasasti Kinawe di Kediri (849 Saka/928 Masehi) juga menggambarkan kemampuan ekonomi seorang perempuan. Di sana diceritakan didirikannya sebuah kawasan di atas tanah milik bangsawan perempuan bernama Dyah Muatan yang merupakan raka (petinggi) di Gunungan.
Dari dua prasasti di atas, peran perempuan dalam bidang ekonomi cukup kentara. Peran perempuan bidang politik pun kelihatan di era Majapahit. Muncul beberapa tokoh penting perempuan seperti (Gayatri) Rajapatni (anak Kertanegara sekaligus istri Kertarajasa (Raden Wijaya)). Ia adalah penghubung antara Kerajaan Singosari dan Majapahit.
Rajapatni adalah ibu dari Ratu Tribuwana Tunggadewi—ratu yang memerintah kerajaan pada tahun 1329-1350. Ibu dan anak tersebut memegang peranan penting dalam sejarah Majapahit.
Baca juga: Perempuan dan Penanganan Bencana
Mata Hari
Demikian beberapa kisah perempuan dengan narasi menyenangkan. Ada juga kisah perempuan yang dikenal luas, bahkan hidupnya menjadi bahan tulisan dari banyak penulis, tetapi narasi kisahnya misterius dan cenderung miris. Perempuan itu adalah Mata Hari.
Perempuan dengan nama lahir Margaretha Geertruida Zelle tersebut, di satu sisi, dikenal sebagai penari erotis dan mata-mata Jerman-Perancis yang kemudian dihukum mati oleh pengadilan Perancis pada 15 Oktober 1917 karena aktivitas spionasenya. Selanjutnya, kisah kelam sebagai agen ganda dengan pekerjaan utama sebagai penari erotis dan memanfaatkan tubuhnya untuk berbagai kepentingan menjadi label hidup Mata Hari hingga sekarang.
Namun, di kemudian hari, di tangan para penulis prosa dan novel, perempuan kelahiran Belanda tahun 1876 tersebut dilukiskan sebagai korban kesewenang-wenangan dan perlakuan tidak menyenangkan dari sang suami.
Kisah anak pemilik toko topi dan pialang saham asal Friesland, Leeuwarden, Belanda, tersebut selama ini didominasi citra sebagai perempuan nakal yang menyebabkan ia bercerai dengan suaminya. Suami Mata Hari adalah Mayor Rudolph Macleod, seorang perwira KNIL yang pernah bertugas di beberapa kota di Indonesia, salah satunya di Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Dukut Imam Widodo dalam bukunya Malang Tempo Doeloe (2015) menggambarkan, selama ikut suaminya tinggal di Malang, Mata Hari belajar tarian Jawa. Belajar tarian Jawa tersebut menjadi modal bagi Mata Hari kelak, saat menjadi penari terkenal di Perancis. Ia menggabungkan tarian tradisional Jawa dengan tarian modern.
Saat pentas pun, Mata Hari mengenakan kostum modifikasi rancangannya. Ia mengombinasikan berbagai aksesori, seperti mengenakan sumping di telinga, klat bahu di lengan, dan sampur (selendang) yang sering dikenakan penari Jawa.
Setelah bercerai dengan suaminya, Dukut menulis, Mata Hari kabur kembali ke Belanda melalui Surabaya pada tahun 1902. Ia pergi dari Indonesia karena disebut-sebut hendak ditangkap oleh petinggi Belanda yang patah hati menuduhnya telah bersekongkol dengan pemberontak pribumi. Dari Belanda, ibu dua anak itu kemudian pindah ke Paris dan memulai karier menarinya di klub dan tur-tur pementasan.
Selama itu, koran menulis hidupnya penuh dengan intrik, sensasi, dan gosip. Sebagai perayu pria dan pengobral cinta.
Kisah gemerlap kehidupan Mata Hari terjeda saat pecah Perang Dunia I. Tahun itu, Mata Hari berada di Berlin karena akan mengadakan pentas di Metropole Theatre. Karena situasi perang makin genting, penyelenggara pentas memutuskan menunda pentas tari dan membatalkan kontrak.
Lambat laun, Mata Hari mulai kehabisan uang. Bahkan, depositonya di bank pun, tulis Dukut, raib secara misterius. Saat itulah, seorang perempuan bernama Clara Bennedix menawarinya menjadi mata-mata Jerman. Mata Hari menerima pembayaran langsung sebesar 20.000 guilders. Ia diberi nama H-21.
Hingga akhirnya, hidup Mata Hari berhenti di depan regu tembak Perancis di Kastil Vincennes di sebuah pinggiran kota Paris. Tepat pukul 06.15 waktu setempat, Mata Hari yang memilih tanpa mengenakan penutup mata, akhirnya tersungkur setelah peluru regu tembak menghunjam tubuhnya. Berakhirlah kisah petualangan Mata Hari sang mata-mata.
Sastra
Namun, terlepas dari pro-kontra, dalam karya sastra, Mata Hari justru dilukiskan sebagai sosok humanis. Ia adalah istri tersia-sia nan menderita sebelum akhirnya bercerai dan pindah ke Paris menjadi penari. Museum Friesland Belanda (yang memiliki pojok khusus tentang kisah hidup Mata Hari), melalui website-nya menyebutkan bahwa Mata Hari mengenal suaminya, Rudolph Macleod, saat berusia 18 tahun. Kala itu, suaminya berusia 20 tahun lebih tua darinya.
Beberapa penulis yang pernah menulis kisah Mata Hari di antaranya Paulo Coelho (The Spy/Mata Hari), Remy Sylado (judul: Namaku Mata Hari), dan Adrian Wenzel (Babad Toempang).
Paulo Coelho, penulis asal Brasil, pada epilog bukunya menulis bahwa pada tahun 1947, jaksa yang berperan besar menghukum mati Mata Hari saat itu secara diam-diam mengaku kepada wartawan bahwa seluruh persidangan Mata Hari didasarkan pada deduksi, ekstrapolasi, dan asumsi. Kesimpulannya, ”Jangan beri tahu siapa-siapa, tetapi bukti yang kami miliki begitu lemah sehingga tidak mungkin cukup untuk menghukum seekor kucing sekalipun.”
Kontroversi seputar Mata Hari terus bergulir dan masuk ke dalam ranah diskusi dan pendidikan. Meski jasadnya tak ada lagi, Mata Hari tetap menjadi bahan perbincangan, menyeruak hingga ke bangku-bangku pendidikan tinggi di tanah air. Kisahnya dibahas dengan berbagai sudut pandang kajian.
Mata Hari tetap misterius, sebagaimana misteri kebenaran dugaan bahwa ia hanya dijadikan kambing hitam kekalahan Perancis pada Perang Dunia. Bahwa sebenarnya, Mata Hari bukanlah penyebab tewasnya banyak prajurit Perancis dalam Perang Dunia I yang membuatnya tewas di hadapan satu regu tembak.
”Kejahatan Mata Hari adalah menjadi perempuan mandiri,” demikian tulis Coelho.
Lihat juga: Peringatan Seabad Berakhirnya Perang Dunia 1
Dua penulis kita, yaitu Remy Sylado dan Adrian Wenzel, lebih banyak mengulas kondisi Mata Hari selama hidup bersama suaminya di Indonesia. Bagi mereka, Mata Hari adalah korban.
Remy Sylado dalam tulisannya menggambarkan bagaimana sosok Ruud—panggilan suami Mata Hari—adalah sosok yang suka melecehkan perempuan. Saat Mata Hari hamil, Ruud dengan teganya mengatakan ingin memanfaatkan masa tidak bisa berhubungan badan dengan Mata Hari dengan cara menyetubuhi Nyai Kidhal, si pembantu keluarga.
Kejahatan Mata Hari adalah menjadi perempuan mandiri.
Bahkan, saat Mata Hari sedih, sang suami mengabaikannya dengan cara yang menyakitkan. ”Kalau manusia tidak sedih, manusia tidak tinggal di bumi, tapi di surga…,” kata Ruud kepada Mata Hari suatu ketika.
Senada dengan Remy Sylado, penulis asal Malang, Adrian Wenzel, pun menggambarkan Mata Hari dari sisi humanis nasionalis. Bagaimana Ruud dengan teganya memerkosa Ibu Misti, guru penari sekaligus sahabat Mata Hari di Tumpang. Hal itu menyebabkan Ibu Misti memendam rasa tak menentu terhadap Mata Hari sekaligus kepada Lodra, suaminya.
”Aku adalah sahabatmu Misti. Jangan takut kepadaku. Sekalipun Belanda, tetapi aku ’Jawa’. Darahku serupa darahmu, hidupku dengan rasa seperti kau ajarkan,” kata Mata Hari menenangkan Ibu Misti, yang menangis saat ditanya soal Ruud memerkosanya.
Baca juga: Pasuruan Persimpangan Strategis Kerajaan Majapahit
Adrian menggambarkan, bagaimana Mata Hari adalah sosok berperasaan halus. Bagaimana ia tak menyalahkan Ibu Misti, tetapi justru menyadari bahwa suaminyalah yang kurang ajar. Mata Hari pun meminta maaf kepada Ibu Misti. ”Dasar kumpeni,” ungkap Mata Hari dalam kekesalan demi kekesalannya kepada Ruud.
Tampak, Adrian Wenzel, atau yang lebih dikenal sebagai Bambang AW, mencoba melukiskan Mata Hari dengan berpijak dari nilai-nilai kejawaan seorang perempuan blasteran keturunan Jawa Tengah itu.
”Saya mencoba melukiskan Mata Hari dari sisi nasionalisme saya. Dari sisi kecintaan saya pada budaya Jawa. Inilah Mata Hari versi saya,” kata Bambang AW. Digambarkan, bagaimana Mata Hari sangat mencintai tari-tarian Jawa, mengagumi desa dengan bangunan candi, dan seterusnya.
Mata Hari memang telah mati. Namun, kisahnya akan terus hidup dan berkembang sesuai dengan catatan dan bingkai rasa masing-masing. Bisa sinis, humanis, atau nasionalis.
Baca juga: Perempuan Jurnalis Bisa Apa?