Jatim Perketat Posko Kampung Tangguh dan Karantina 5 Hari Biaya Sendiri bagi Pemudik Nekat
Mudik merupakan puncak pergerakan orang (”ultra peak season”) yang bisa berdampak pada peningkatan kasus Covid-19. Maka, Jawa Timur akan mendeteksi mereka yang nekat melalui kampung tangguh dan PPKM mikro.
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperketat posko kampung tangguh atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berskala (PPKM) mikro guna mendeteksi masyarakat yang tetap bersikukuh untuk mudik. Jika mereka mudik sebelum 6-17 Mei, akan ada karantina selama lima hari dengan biaya sendiri.
Hal itu dikatakan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak di sela-sela menghadiri kegiatan Festival Talenta Millenial 2021 di Malang, Jawa Timur, Jumat (23/4/2021) sore. Pihaknya pun meminta pengertian semua masyarakat tentang risiko yang bisa terjadi akibat mudik.
”Yang mudik sebelum 6-17 Mei, maka sebelum tanggal 6 Mei akan ada karantina dengan biaya sendiri selama lima hari yang dibebankan kepada siapa pun yang bahasanya nekat mencoba untuk kembali ke kampung halaman,” katanya.
Menurut Emil, larangan mudik sudah jelas. Kementerian Perubungan menyampaikan larangan mudik 6-17 Mei. Saat itu, moda transportasi tidak boleh beroperasi, kecuali untuk kepentingan yang sudah disampaikan secara spesifik.
Di luar negeri, sejumlah negara juga mulai menyampaikan lonjakan kasus Covid-19 di wilayah masing-masing. Indonesia tentu tidak ingin angka Covid-19 melonjak lagi dua-tiga kali lipat dan rumah sakit penuh. Pasalnya, kenaikan angka Covid-19 selalu beriringan dengan peristiwa perjalanan yang melibatkan banyak orang di masa liburan.
Yang mudik sebelum 6-17 Mei, maka sebelum tanggal 6 Mei akan ada karantina dengan biaya sendiri selama lima hari.
”Ini adalah super ultra peak, ultra padat kalau dilepas. Dan sekarang pun ada risiko, dibatasi tanggal 6 Mei ternyata orang mudik lebih awal. Maka, Satgas mengeluarkan lagi aturan tambahan bahwa mereka sudah memiliki hasil tes beberapa lapis sebelum bisa melakukan perjalanan dan melanjutkan perjalanan di stasiun atau terminal destinasi,” katanya.
Larangan mudik ini dilakukan semata-mata agar pandemi cepat selesai. Ini merupakan jalan untuk melindungi saudara-saudara mereka yang lain, bukan mempersulit mereka yang ingin pulang kampung.
Disinggung soal santri yang akan pulang kampung, Emil mengatakan hal itu berbeda. Para santri terdata dan mobilitasnya terpantau. ”Jadi, ini bukan kita sebut mudik. Ini dibedakan karena ada satu siklus kegiatan di pondok pesantren yang mana akan lebih aman bagi santri apabila terfasilitasi, bukan menyebar secara sporadis untuk kembali pulang,” ucapnya.
Pemerintah, kata Emil, bukannya hendak mendiskrimasi mudik dan berwisata. Wisata diperkenankan karena terukur, bukan di saat-saat puncak. Itu pun, Emil mencontohkan, tempat wisata juga tidak beroperasi saat peak season seperti libur pergantian tahun 2000-2021 lalu.
Sebelumnya, terkait pariwisata, beberapa pelaku wisata di Kota Batu menilai jumlah kunjungan akan menurun drastis pada masa Lebaran tahun ini akibat adanya larangan mudik dan pembatasan wisata hanya dalam satu kawasan. Meski berat, mereka menyadari kebijakan ini sebagai langkah untuk menekan pandemi.
”Kita menyadari situasi ini berat bagi para wisatawan. Namun, kita sadari ini langkah terbaik dari pemerintah agar pandemi bisa teratasi. Makin cepat tertangani makin cepat pariwisata pulih. Sebab, hotel dan pariwisata sangat tergantung dengan pergerakan manusia,” ujar Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Kota Batu Sujud Pribadi.