Bobby Nasution dan Problem Komunikasi
Wali Kota Medan Bobby Nasution sebenarnya sama saja dengan kepala daerah lain. Hanya, sebagai menantu Presiden, ia menjadi media darling, probadi yang disorot media.
Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution sebenarnya sama saja dengan kepala daerah lainnya. Hanya, sebagai menantu Presiden Joko Widodo dan menjadi wali kota di kota terbesar ke-3 di Indonesia, ia menjadi kepala daerah yang masuk dalam media darling, pribadi yang disorot media.
Namun, tidak seperti mertuanya yang biasa mendengarkan dan berdialog dengan media, pengamanan berlapis yang berlebihan dan buruknya komunikasi publik justru merenggangkan hubungan wartawan dengan sang wali kota sepekan terakhir.
Suasana itu tergambar di ruangan Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Medan di Medan, Sumatera Utara, sangat sepi, Selasa (20/4/2021) siang. Tidak ada jurnalis di ruang wartawan di kantor itu. Hanya ada beberapa pegawai yang mengambil surat kabar dan membagikannya ke sejumlah ruangan di Kantor Wali Kota Medan.
Hubungan wali kota dan jurnalis merenggang setelah dua wartawan diusir oleh petugas pengamanan dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), kepolisian, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemko Medan saat hendak melakukan wawancara doorstop, Rabu (14/4/2021).
Sebagai menantu presiden, Paspampres memang melekat dalam diri Bobby. Setelah ia menjadi wali kota, pengamanan ketat pun diterapkan di Kantor Wali Kota Medan dua bulan terakhir.
Baca juga: Dilantik Jadi Wali Kota Medan, Tugas Bobby Tangani Covid-19
Pintu masuk utama kini hanya untuk Wali Kota, Wakil Wali Kota, pejabat utama, dan tamu khusus wali kota. Petugas melakukan penjagaan ketat secara berlapis di pintu utama. Dua petugas Satpol PP berjaga di gerbang. Penjagaan lapis kedua pun dilakukan di pintu lobi oleh Satpol PP.
Setelah masuk melalui pintu itu, di dalam ada dua anggota kepolisian yang berjaga. Hari itu, Bobby sedang di luar kota. Jika sedang di kantor, Paspampres juga ikut berjaga di sana. Pada periode wali kota sebelumnya, terlihat hanya ada dua anggota Satpol PP berjaga di lobi kantor wali kota.
Kesulitan mewawancarai wali kota sejatinya sudah terjadi saat pelantikan Bobby menjadi Wali Kota Medan. Puluhan wartawan berfokus ingin mewawancarai Bobby dan cenderung mengabaikan kepala daerah lain yang dilantik bersamanya di Aula Tengku Rizal Nurdin di kompleks Rumah Dinas Gubernur Sumut, 26 Februari.
Media daring sudah bolak-balik memberitakan pelantikan Bobby sejak pagi. Sejumlah televisi pun sudah bersiap-siap melakukan siaran langsung menunggu Bobby keluar dari ruangan pelantikan.
Namun, ketika puluhan wartawan sudah bersiap-siap melakukan wawancara, tiba-tiba saja anggota Paspampres menemui wartawan yang sudah berkumpul. ”Tidak ada doorstop, ya. Tolong dikasih jalan,” kata anggota Paspampres ketika itu.
Baca juga: Organisasi Pers Kecam Pengusiran Wartawan oleh Pengamanan Bobby Nasution
Penghalangan wawancara itu sebenarnya sangat tidak masuk akal di benak wartawan. Seorang wali kota di ibu kota provinsi yang baru saja dilantik sudah selayaknya memberikan pernyataan publik pada hari pertamanya menjabat.
Tidak bisa mengelak
Namun, wartawan tidak menghiraukan ucapan petugas itu dan tetap saja menunggu di depan pintu ruangan pelantikan. Ketika Bobby keluar ruangan, puluhan wartawan langsung menodongnya. Wali kota tidak bisa mengelak dari wawancara itu dan akhirnya memberikan pernyataan publik.
Kasus lain yang sering dirasakan wartawan adalah penghalangan atau pembatasan doorstop. Setiap ada wawancara doorstop, ada anggota tim wali kota yang langsung memotong wawancara meskipun wartawan sedang mengajukan pertanyaan. Bahkan, beberapa kali tim komunikasi memotong wawancara saat Bobby sedang menjawab pertanyaan wartawan. Hal itu pun terjadi berulang-ulang.
Puncak penghalangan tugas jurnalistik itu terjadi ketika dua wartawan diusir saat hendak mewawancarai Bobby. Wartawan Tribun Medan, Rechtin Hani Ritonga, dan wartawan Suara Pakar, Ilham Pradilla, menunggu Bobby keluar dari pintu utama Kantor Wali Kota Medan untuk wawancara doorstop.
Mereka berencana mewawancarai Bobby tentang macetnya pembayaran tambahan penghasilan pegawai (TPP) untuk seratusan anggota staf tata usaha di sejumlah SMP negeri di Medan.
”Kami awalnya didatangi petugas Satpol PP. Petugas itu menyatakan tidak boleh mewawancarai wali kota kecuali telah memiliki izin,” kata Hani.
Baca juga: Kemenangan Bobby Nasution dan Tangan Tak Terlihat
Hani dan Ilham tetap bertahan menunggu di dekat mobil dinas wali kota yang diparkir di dekat pintu utama. Namun, wartawan itu langsung diusir dan dilarang menunggu oleh Satpol PP dan petugas Paspampres. ”Petugas pengamanan menyebut tidak boleh wawancara karena mengganggu ketenangan, tidak ada izin, dan tidak jam kerja lagi,” kata Hani.
Pengusiran wartawan itu pun diprotes sejumlah organisasi pers, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut. Forum Jurnalis Medan pun berunjuk rasa beberapa kali ke Kantor Wali Kota Medan menyatakan darurat kebebasan pers di lingkungan Pemerintah Kota Medan.
Forum Jurnalis Medan pun berunjuk rasa beberapa kali ke Kantor Wali Kota Medan menyatakan darurat kebebasan pers di lingkungan Pemerintah Kota Medan.
Bobby sempat mengundang wartawan berbuka puasa bersama di Rumah Tjong A Fie, Sabtu (17/4). Pertemuan itu dihadiri sebagian wartawan yang sehari-hari bertugas di Pemko Medan. Namun, jurnalis yang melakukan protes dan berunjuk rasa sepakat tidak memenuhi undangan itu. Mereka hanya ingin ditemui wali kota saat unjuk rasa berlangsung, bukan dalam buka puasa.
Ingin perbaiki hubungan
Dalam pertemuan itu, Bobby menyebut ia ingin memperbaiki hubungan dengan wartawan. ”Yang penting pesan dari wartawan disampaikan, pesan Pemerintah Kota Medan disampaikan. Pesan dari wartawan didengarkan, pesan dari Pemkot Medan juga didengarkan,” katanya.
Bobby pun menyebut dirinya tidak pernah meminta petugas pengamanan menghalangi wawancara dengan wartawan. ”Begitu saya dengar ada diusir, saya bilang ayo kasih tempatnya. Tetapi nanti kalau masuk adalah tanda pengenalnya untuk menjaga keamanan kita semua,” kata Bobby.
Ketua AJI Medan Liston Damanik mengatakan, pengamanan Bobby dinilai berlebihan karena sampai mengganggu kerja-kerja jurnalistik. ”Pengusiran wartawan saat melakukan kerja jurnalistik merupakan tindakan menghalang-halangi kerja jurnalistik dan melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” kata Liston.
Liston mengatakan, Bobby harus menyadari bahwa dia adalah seorang wali kota yang memiliki tanggung jawab keterbukaan informasi kepada publik. Selama menjabat, Bobby dinilai tidak menyediakan saluran komunikasi yang memadai kepada wartawan.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara Lusiana Andriani Lubis mengatakan ada problem komunikasi publik yang dialami pemerintahan baru di Kota Medan yang warganya heterogen ini. Ia menduga ada kejutan budaya (culture shock) yang dialami pemimpin daerah karena sosoknya yang masih baru di dunia pemerintahan.
Dalam kasus pengusiran wartawan, Lusiana melihat ada distorsi pesan yang terjadi. Wartawan mau membantu Pemerintah Kota Medan atas kerja-kerja yang dilakukan, tetapi justru kecewa dengan respons pemerintah kota.
Sebagai seorang milenial, Bobby diharapkan open minded, tidak berlebihan, dan bisa merangkul semua golongan dari milenial dan warga senior. Kepemimpinan bukan lagi berdasar one man one show, tetapi berdasarkan pada sistem.
Sistem kerja wartawan cepat dan ingin berdialog dengan narasumber langsung tidak bisa hanya dijawab sekadar dikirimi pers release. Oleh karena itu, dialog harus dikedepankan, meskipun Lusiana juga meminta wartawan untuk bersabar dengan pemimpin kota yang baru itu.
Ketua Badan Pengurus Cabang Perhimpunan Hubungan Masyarakat (Perhumas) Kota Medan Saurma Siahaan melihat komunikasi publik yang tidak baik itu akan berdampak buruk dan menjadi bumerang ke depan.
Komunikasi publik berbeda dengan komunikasi politik. Bobby dengan segala keunggulannya sebagai menantu presiden bisa jadi beres membangun komunikasi politik. Namun, dalam komunikasi publik ia harus merangkul semua golongan masyarakat tak terkecuali.
”Problemnya bukan di personalnya, melainkan di institusi,” kata Saurma. Bagaimana institusi membangun komunikasi yang terpusat pada masyarakat menjadi kunci komunikasi efektif, selain adanya suara yang sama atau satu suara di pemerintahan, penjelasan program kerja yang terstruktur, dialog dan keterlibatan, berbasis hasil dan tim komunikasi yang efektif.
”Kami melihat wali kota sudah terlihat gercep (gerak cepat) dalam bekerja, sayang jika kemudian terjadi komunikasi yang terganggu. Hal ini selain menimbulkan suasana yang tidak enak juga menghabiskan waktu. Seharusnya waktu bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif,” kata Saurma.
Baca juga: Edy Rahmayadi Tegur Bobby soal Pelanggaran Prokes di Kesawan City Walk