Tantangan Berat Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia
Hilangnya kapal selam KRI Nanggala-402 di perairan utara Pulau Bali seharusnya dijadikan momentum bagi pemerintah memodernisasi alat utama sistem persenjataan. Selain soal modernisasi, juga jumlah alutsista di laut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejadian hilangnya kapal selam KRI Nanggala-402 di perairan utara Pulau Bali seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memodernisasi alat utama sistem persenjataan atau alutsista matra laut. Selain soal modernisasi alutsista, jumlah kapal yang jauh dari ideal juga perlu menjadi perhatian. Hal ini menjadi urgen jika Indonesia masih bermimpi menjadi poros maritim dunia.
Seperti diberitakan sebelumnya, KRI Nanggala hilang di perairan utara Pulau Bali, Rabu (21/4/2021) pagi. Kapal selam produksi Jerman tahun 1979 itu ditengarai mengalami mati listrik total atau black out saat proses penyelaman sehingga kapal tersebut diperkirakan jatuh di palung, di kedalaman sekitar 700 meter dari permukaan laut.
Dosen Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Wisnu Wardhana, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (22/4/2021), mengatakan, jika dilihat dari usianya, KRI Nanggala tergolong sudah uzur. Teknologi kapal pun diyakini sudah jauh ketinggalan.
”Mau dengan maintenance (pemeliharaan) sebaik apa pun, kalau peralatan-peralatan yang di dalam itu masih menggunakan peralatan produk tahun 1980-an, ya, itu masih ketinggalan, ya sonarnya, ya radarnya, ya permesinannya, semuanya itu,” ujar Wisnu.
”Mau dengan maintenance (pemeliharaan) sebaik apa pun, kalau peralatan-peralatan yang di dalam itu masih menggunakan peralatan produk tahun 1980-an, ya, itu masih ketinggalan, ya sonarnya, ya radarnya, ya permesinannya, semuanya itu.
Dari kejadian ini, menurut Wisnu, semua pihak harus memiliki kesepahaman bahwa modernisasi alutsista merupakan keharusan. Peremajaan kapal tidaklah cukup. Kapal selam, lanjutnya, harus mengikuti perkembangan teknologi terbaru.
Apalagi, Indonesia harus bersaing dengan alutsista negara tetangga. Malaysia, misalnya, memiliki kapal selam Scorpene buatan Perancis. Kapal selam tersebut berteknologi senyap yang tinggi sehingga membuatnya sulit diketahui lawan. Scorpene juga diklaim memiliki teknologi radar yang bisa mendeteksi lawan dari jarak jauh.
”Kalau sebatas maintenance (pemeliharaan), kan, bagaimana kita mengakali barang itu sebaik mungkin sehingga masih bisa jalan. Nah, kan, enggak bisa begitu. Harus kapal selam modern. Nah, kita sekarang ini agak terlambat dan baru tersadarkan melalui kejadian (KRI Nanggala) ini,” ucap Wisnu.
Poros maritim dunia
Wisnu menilai, kejadian KRI Nanggala ini harus menjadi refleksi bagi pemerintah di tengah mimpi Indonesia menjadi poros maritim dunia. Indonesia yang memiliki wilayah perairan sangat luas tidak bisa hanya mengandalkan kapal apung, tetapi juga kapal selam.
Selain soal modernisasi kapal, jumlah kapal selam yang dimiliki Indonesia juga perlu menjadi perhatian. Jika merujuk pada pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia seharusnya memiliki 12 kapal selam. Namun, menurut dia, jumlah itu belum cukup memadai jika harus menjaga seluruh perairan Nusantara.
”Mereka bisa melakukan apa saja kalau dia ada di bawah kita jauh. Nah, itulah yang saya khawatirkan, kita tidak bisa melindungi kedaulatan laut kita. Kita dibuat kucing-kucingan sama orang asing karena kita cuma bisa tenggelam 300 meter. Apa yang terjadi di kedalaman 1.000 meter, 1.500 meter, 2.000 meter, kita tidak bisa tahu. Jadi, kita diserang dari bawah pun, kita tidak bisa mendeteksi,” tutur Wisnu.
Dari sini, Wisnu melihat, tantangan Indonesia menuju poros maritim dunia sangat berat. Apalagi, semua negara kini terus berlomba-lomba memodernisasi alutsista mereka.
”Jangan sampai, Indonesia sebagai poros maritim dunia itu betul-betul hanya mimpi dan tak bisa tercapai. Dari kejadian (KRI Nanggala) ini, saya pikir bisa menjadi momentum bagi kita untuk melakukan refleksi bagaimana kita menjaga kedaulatan negara, secara khusus laut kita, lewat alutsista yang canggih supaya tidak tertembus sedikit pun oleh kekuatan asing,” katanya.
Identifikasi detail
Agar mencapai kesiapan yang tinggi, TNI AL harus senantiasa melakukan modernisasi alutsista seiring dengan tuntutan tugas dan perkembangan lingkungan strategi.
Sementara itu, melalui keterangan tertulis, Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan, TNI harus menganalisis secara lebih detail kejadian hilangnya kontak KRI Nanggala tersebut. Pasalnya, ini adalah kejadian pertama dan diharapkan tidak terulang kembali.
”Agar diidentifikasi penyebabnya, apakah faktor usia kapal atau sebab lainnya. Jika karena usia kapal selam yang sudah tua, alutsista TNI AL harus dimodernisasi,” ujar Puan.
Puan menjelaskan, TNI AL merupakan proyeksi kekuatan maritim di laut yang mengemban fungsi pertahanan di laut, penegakan hukum di laut, dan diplomasi. Selain itu, TNI AL juga merupakan elemen penting dalam strategi penangkalan (deterrence strategy) secara menyeluruh.
Atas dasar itu, kata Puan, TNI AL membina unsur-unsur dari sistem senjata armada terpadunya agar memiliki kesiapan tempur yang tinggi dalam rangka menjamin kedaulatan dan keamanan di perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Pasalnya, sebagai salah satu negara kepulauan terbesar dunia, Indonesia sudah sepatutnya memiliki kapal selam dan alutsista lain yang modern.
”Agar mencapai kesiapan yang tinggi, TNI AL harus senantiasa melakukan modernisasi alutsista seiring dengan tuntutan tugas dan perkembangan lingkungan strategi,” ucap Puan.