Petani Belum Terlibat Nyata di Proyek ”Food Estate”
Program ”food estate” atau lumbung pangan belum sepenuhnya melibatkan masyarakat. Hal itu berpengaruh pada anjloknya hasil panen dan menimbulkan banyak kekhawatiran soal penguasaan lahan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Lembaga lingkungan di Kalimantan Tengah menilai masyarakat, khususnya petani, tidak dilibatkan sepenuhnya dalam pelaksanaan program strategis nasional lumbung pangan atau yang kerap disebut food estate. Bahkan, mereka khawatir program ini bakal berakhir menjadi perkebunan.
Hal itu terungkap dalam jumpa media yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah dan Pantau Gambut dengan tema ”Stop Pengembangan Food Estate di Kalteng dan Serahkan Urusan Pangan pada Petani”. Kegiatan itu dilaksanakan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (22/4/2021).
Walhi Kalteng bersama Pantau Gambut melaksanakan kajian di lebih dari 20 desa di dua kabupaten, yakni Pulang Pisau dan Kapuas. Kajian itu berupa kajian lingkungan, hukum, dan sosial.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Seorang petani di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Jumat (29/1/2021), duduk di atas karung-karung gabah kering hasil panen di lokasi lumbung pangan. Hasil panen kali ini jauh dari harapan petani.
Dalam kajian tersebut, banyak temuan dan pelanggaran dari pelaksanaan program lumbung pangan nasional. Salah satu yang paling banyak dikritisi adalah minimnya partisipasi masyarakat.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Diman Novian Hartono menuturkan, pelaksanaan yang sudah berjalan setengah tahun lebih ini membuat petani sekitar lokasi menjadi buruh dan pekerja di lahannya sendiri. Menurut dia, dari hasil kajian itu belum ada kesepakatan yang jelas antara masyarakat dan pemerintah soal bagi hasil hingga upah.
”Sampai sekarang kami tidak menemukan berita acara ataupun tanda tangan kontrak untuk bagi hasil dan lain sebagainya, bahkan masih banyak yang belum paham apa, sih, food estate itu,” kata Dimas.
Dimas menambahkan, pelibatan masyarakat hanya sebatas partisipasi semu, bahkan manipulatif. Peran dan juga masukan masyarakat tidak didengar.
”Ketika terjadi gagal panen di lokasi food estate pada penanaman bulan Oktober lalu, itu terjadi karena intervensi pemerintah mengubah pola tanam petani, petani tidak didengar,” kata Dimas.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Tinem (68), salah satu pekerja upahan yang datang dari Kalimantan Selatan, menanam padi jenis Impari-42 di lahan sawah yang sudah disiapkan pemerintah di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4/2021).
Kegagalan tersebut, lanjut Dimas, terjadi lantaran kebiasaan petani dalam bertani diabaikan. Ia mencontohkan, musim tanam yang biasanya dua kali setahun kini dipaksa menjadi tiga kali.
”Di beberapa wilayah tidak sedikit masyarakat yang kemudian menolak mengikuti cara-cara pemerintah,” ungkap Dimas.
Oriz Putra, peneliti dari Pantau Gambut, mengatakan, food estate merupakan program yang tidak tepat dan didukung oleh kebijakan yang kontradiktif. Salah satunya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 yang membolehkan kawasan hutan lindung yang sudah tidak berfungsi lindung menjadi kawasan food estate atau program pangan lain.
Hal itu, menurut Oriz, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam kebijakan itu, kawasan hutan untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan hasil hutan bukan kayu.
”Harusnya pemanfaatan di kawasan hutan itu bukan untuk pangan. Kebijakan yang baru soal food estate itu juga membolehkan kayu atau pepohonan untuk ditebang dan dimanfaatkan,” katanya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Ladang masyarakat yang sudah ditanami jagung dan pisang di batas lokasi pembukaan hutan untuk program singkong dari Kementerian Pertahanan di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (28/11/2020). Di tempat ini setidaknya 50 hektar lebih lahan sudah dibuka.
Saat ini, dari pantauan Kompas, di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, sudah terjadi pembukaan hutan untuk komoditas singkong yang merupakan program cadangan logistik dalam mendukung food estate. Setidaknya sudah hampir 600 hektar kawasan hutan produksi dibuka dan ditanami singkong.
Koordinator Save Our Borneo (SOB) Safrudin mengatakan, program food estate mengulang program yang sama 25 tahun lalu, yakni megaproyek pengembangan lahan gambut (PLG). Pasalnya, lahan yang digunakan saat ini untuk food estate merupakan lahan bekas PLG yang didominasi gambut rusak.
”Kekhawatiran kami ini sama seperti dulu, ketika gagal lalu malah dikelola oleh swasta dan menjadi perkebunan sawit,” kata Safrudin.
Baca juga : Angan-angan Lumbung PanganMenurut sda, hal itu mungkin terjadi karena saat ini sekitar 400.000 hektar lahan bekas PLG menjadi perkebunan sawit yang sudah beroperasi, bahkan sebelum izin pelepasan kawasan ada. ”Kekhawatiran ini seharusnya bisa dijawab dengan menghentikan program ini karena kami juga khawatir ini akan mengulang bencana yang sama, yakni asap dari kebakaran hutan dan lahan,” ungkapnya.
Kekhawatiran kami ini sama seperti dulu, ketika gagal lalu malah dikelola oleh swasta dan menjadi perkebunan sawit.
Hingga kini setidaknya 96 persen lahan dari total luas lahan 30.160 hektar di Pulang Pisau dan Kapuas sudah ditanami padi. Pemerintah masih optimistis program ini bakal menjawab persoalan krisis pangan dan membawa kesejahteraan masyarakat.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Para pekerja sedang menyiapkan bibit singkong di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (6/3/2021). Ribuan batang singkong sudah ditanam di lokasi yang merupakan program cadangan logistik.
Dalam beberapa kesempatan, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Kalteng Sunarti mengatakan, tidak mudah mengajak petani mengubah cara berpikir dalam konsep pertanian. Namun, ia yakin program food estate bakal menambah produktivitas petani dengan upaya yang dijalankan pemerintah saat ini.
”Tidak semua pekerja itu dari luar Kalteng, ada juga dari daerah setempat, nanti juga akan bekerja sama dengan pihak lain. Harus optimistis ini bisa dilaksanakan dengan baik,” kata Sunarti.