Sebagian Lahan Food Estate di Kalteng Dikerjakan Perusahaan Pertanian
Program lumbung pangan nasional di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, bekerja sama dengan perusahaan pertanian penghasil bibit unggul. Tak hanya menyediakan bibit, perusahaan itu juga mengolah lahan sawah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
KUALA KAPUAS, KOMPAS — Lahan sawah yang sempat terendam banjir di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, mulai ditanami. Lahan itu merupakan bagian dari proyek Food Estate yang dicanangkan pemerintah.
Program lumbung pangan nasional merupakan program strategis nasional pemerintah pusat di beberapa wilayah di Indonesia, Kalimantan Tengah merupakan salah satunya.
Dari catatan Kompas, di Kalteng luas wilayah program ini dalam tahap pertama mencapai 30.160 hektar. Rinciannya, seluas 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau lalu 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas. Jumlah total luasan itu hampir sama dengan setengah luas Provinsi DKI Jakarta.
Pada Rabu (21/4/2021) siang, Kompas mengunjungi salah satu desa di Kabupaten Kapuas yang menjadi wilayah Food Estate di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Di lokasi itu, dari pantauan Kompas, terdapat 20 petani sedang menanam padi di lahan yang sebelumnya terendam banjir.
Walakin, para petani itu adalah pekerja borongan asal Kalimantan Selatan yang diupah untuk menanam di lokasi tersebut. Mereka tidak tahu persis lembaga yang mempekerjakan mereka, tetapi mereka yakin direkrut pemerintah.
Tinem (68), salah satu pekerja, mengungkapkan, dirinya diupah lebih kurang Rp 2,6 juta per hektar lahan yang berhasil ditanam. Ia mengaku sudah bekerja dua hari di lokasi itu dan berhasil menanam di lahan seluas dua hektar. ”Ini bibit unggul dari pemerintah, tapi enggak tahu jenisnya apa, katanya Impari,” ujarnya.
Bibit yang ditanam, lanjut Tinem, sudah disemai sebelumnya. Ia dan 19 pekerja lainnya hanya tinggal menanamnya sejumput demi sejumput. ”Waktu datang pertama ke sini belum bisa ditanam lahannya karena banjir, terendam semua. Sekarang sudah mulai kering karena airnya dipompa lalu dialirkan ke kanal,” kata Tinem.
Tepat di sebelah mereka bekerja merupakan saluran kanal primer yang sampai saat ini masih direhabilitasi oleh Kementerian PUPR. Kanal itu disinyalir sebagai salah satu penyebab banjir lantaran tidak pernah diperbaiki sejak dibuat pada tahun 1995 saat program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) era Soeharto.
Taufik (28), warga Desa Bentuk Jaya, mengungkapkan, dirinya memiliki lahan seluas 4 hektar. Ia sempat mendapatkan berbagai bantuan, mulai dari kapur, bibit atau benih unggul, sampai pupuk. Namun, semua bantuan itu dikembalikan lagi karena pengelola lahan itu bukan dirinya, melainkan perusahaan pertanian bernama M-Tani yang digagas Kepala Staf Presiden Moeldoko.
”Bantuan itu, kan, dikembalikan lagi dipakai sama yang kelola, saya udah enggak garap lahan itu karena memang selama ini kebanjiran, jadi saya dapat nilai bantuan itu lebih kurang Rp 2,6 juta,” ungkap Taufik.
Taufik mengaku, dirinya selama ini tidak bisa menanam padi lantaran saat musim hujan kebanjiran, lalu saat musim kemarau kekurangan air. Dirinya berharap program ini bisa sukses mengembalikan fungsi sawahnya seperti sawah normal lainnya.
”Di desa ini banyak yang punya lahan, tapi dibiarkan. Mereka sebagian pulang ke kampungnya masing-masing, ada juga yang bertahan seperti saya,” ungkap Taufik, yang merupakan generasi ketiga dari kelompok transmigran tahun 1985.
Di desa ini banyak yang punya lahan, tapi dibiarkan. Mereka sebagian pulang ke kampungnya masing-masing, ada juga yang bertahan seperti saya.
Melihat kondisi itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng Sunarti menjelaskan, lahan milik warga yang terbengkalai tersebut bukan disewakan, tetapi pemerintah bekerja sama dengan Kantor Staf Presiden (KSP) dalam hal ini M-Tani untuk mengelolanya. Adapun pemilik lahan mendapatkan bagi hasil.
”Tidak semua pekerja itu dari Kalsel, ada juga dari daerah setempat (Kecamatan Dadahup), dari M-Tani juga ada, sawah ini bukan disewakan, tetapi kerja sama pengelolaan dengan M-Tani,” ungkap Sunarti.
Sunarti mengungkapkan, petani yang lahannya dikerjakan oleh M-Tani mendapatkan bagi hasil dari panen juga upah atau gaji bagi yang ikut bekerja atau mengelola. ”Sawahnya digunakan kalau tidak salah selama dua tahun, pada saatnya nanti ketika lahan sudah stabil dan normal diharapkan petani sudah mampu menggarap sendiri,” kata Sunarti.