Belasan hektar tanaman pertanian di NTT rusak diterjang banjir akibat siklon tropis Seroja. Krisis pangan yang kini hadir di depan mata memerlukan penanganan serius.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
BETUN, KOMPAS — Belasan ribu hektar tanaman pertanian di Nusa Tenggara Timur rusak dan sebagian di antaranya gagal panen akibat banjir yang dipicu siklon tropis Seroja. Warga kini kehilangan sumber pangan dan terancam mengalami krisis pangan dalam waktu dekat. Pemerintah perlu menyiapkan langkah untuk mengantisipasi hal tersebut jika perlu menetapkan kondisi itu sebagai bencana nasional.
Menurut pantauan Kompas di Desa Fahiluka, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, pada Rabu (21/4/2021), berhektar-hektar tanaman jagung tadah hujan rata dengan tanah diterjang banjir pada 5 April lalu. Padahal, tanaman itu menurut rencana akan dipanen pekan ini.
”Jagung ini tidak bisa dimakan lagi,” ujar Eviana Nahak (34), petani, sambil menunjukkan satu bulir jagung yang sebagian bijinya sudah hancur. Eviana mempunyai lebih kurang 3 hektar tanaman jagung yang menjadi makanan pokok mereka sepanjang tahun. Mereka memang membeli beras, tetapi untuk makanan anak mereka. Para orang tua memakan jagung.
Ia menuturkan, jagung yang dipanen dari kebun itu menjadi makanan mereka sepanjang tahun. Dalam satu hari, mereka mengonsumsi paling sedikit 2 kilogram biji jagung, yang di tingkat pasar harganya Rp 5.000 per kilogram. ”Jagung sudah habis diterjang banjir, jadi ke depan nanti kami bingung mau makan apa,” katanya.
Selain jagung, Eviana juga kehilangan 17 ekor ayam betina bersama puluhan ekor anak ayam. Mereka biasanya menjual ayam untuk kebutuhan sehari-hari, serta biaya pendidikan anak. Satu ekor ayam paling murah Rp 35.000. Kondisi yang dialami Eviana juga dialami warga lainnya di Malaka yang terdampak bencana akibat siklon tropis Seroja.
Jagung sudah habis diterjang banjir, jadi ke depan nanti kami bingung mau makan apa. (Eviana Nahak)
Menurut data yang dihimpun dari Pemerintah Kabupaten Malaka, banjir yang menerjang daerah itu menyebabkan 11 orang meninggal, 428 unit rumah rusak berat, dan 3.848 rusak ringan. Tak hanya itu, 2.014 hektar tanaman pertanian rusak. Juga 4.326 ekor hewan peliaraan hanyut dan mati, di antaranya 207 ekor sapi, 1.086 ekor babi, dan 244 ekor kambing.
Selain itu, saluran Bendungan Benanain yang menjadi sumber pengairan di Malaka juga ambruk. Padahal, bendungan itu yang selama ini mengairi sekitar 6.000 hektar lahan pertanian di daerah itu. Malaka merupakan salah satu lumbung pangan di Pulau Timor, yang menyuplai kebutuhan untuk beberapa kebupaten tetangga, bahkan hingga ke negara tetangga Timor Leste.
Pada Rabu siang, Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat John Wempi Wetipo meninjau bendungan yang rusak tersebut. Menurut dia, untuk memperbaiki bendungan itu dibutuhkan waktu maksimal 18 bulan. Proses perbaikan sudah dimulai. Beberapa ekskavator sudah didatangkan ke lokasi tersebut.
Sumber daya
Penjabat Bupati Malaka Viktor Manek mengatakan, perlu sumber daya lebih besar, lewat pelibatan berbagai kementerian dan lembaga di tingkat pusat untuk menangani bencana di Malaka dan NTT pada umumnya. ”Sejak awal bencana, saya sudah meminta agar kondisi ini ditetapkan sebagai bencana nasional,” katanya.
Selain di Malaka, keluhan mengenai ancaman kekurangan pangan juga disampaikan Chesia Saubaki, pelayan Gereja Kristen Protestan di Dusun Tamalabang, Desa Kaleb Kecamatan Pantar Timur, Kabupaten Alor. Banjir bandang tak hanya menerjang perkampungan mereka, tetapi juga menghanyutkan tanaman pertanian mereka.
”Setelah tanggap darurat, masyarakat cari makan sendiri, sementara tanaman di kebun sudah habis. Air bersih juga susah. Bisa dibayangkan seperti apa ke depan,” katanya.
Selama masa tanggap darurat, satu kepala keluarga mendapat tiga sampai 4 kilogram beras dan 10 bungkus mi instan. Jumlah bantuan seperti ini hanya bertahan untuk tiga sampai empat hari saja.
Sementara itu, di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, tak hanya areal pertanian yang rusak, banyak tanaman komoditas milik warga juga hancur. Selama ini warga bersandar pada hasil komoditas. Kini, warga kehilangan pendapatan sehingga bakal kesulitan untuk membeli makanan pada beberapa waktu mendatang.
”Kami tidak tahu lagi ke depan ini seperti apa. Sebelum bencana ini datang, kami sudah menderita. Tanaman pertanian kami gagal panen, ternak babi kami juga mati gara-gara flu babi. Ini tahun terburuk yang pernah kami alami,” kata Emanuel Masan (40), warga Desa Pandai, Adonara.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, bencana banjir dan longsor di NTT akibat siklon tropis Seroja menyebabkan 179 orang meninggal dan 45 orang masih dalam pencarian. Kejadian itu terjadi di 18 daerah dari total 23 kabupaten/kota di NTT. Selain itu, 15.500 hektar areal pertanian juga rusak.