Integrasikan Nilai-nilai Toleransi dalam Kurikulum Ajar
Intoleransi bersama perundungan dan kekerasan seksual merupakan tiga dosa besar di lingkungan pendidikan. Nilai-nilai toleransi mesti disampaikan sejak dini di setiap ruang, mulai dari keluarga hingga sekolah.
Oleh
GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Intoleransi menjadi tantangan terbesar dunia pendidikan saat ini. Proses pembelajaran siswa didik tak akan berhasil tanpa didukung iklim pendidikan yang toleran. Untuk itu, paradigma Merdeka Belajar mengintegrasikan pengajaran nilai-nilai toleransi dalam kurikulum pendidikan.
Hal itu disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dalam sambutan Jateng EduFest 2021: Urip Rukun, Jateng Gayeng yang diselenggarakan Wahid Foundation dan Mitra Sekolah Damai secara virtual, Rabu (21/2/2021). Acara digelar bersamaan dengan peringatan Hari Kartini yang merupakan tokoh nasional dari Jawa Tengah yang telah mempromosikan pendidikan.
Menurut Nadiem, intoleransi bersama perundungan dan kekerasan seksual merupakan tiga dosa besar di lingkungan pendidikan. ”Nilai-nilai toleransi perlu diajarkan sejak dini di lingkungan pendidikan,” ujarnya.
Nadiem mengapresiasi inisiatif Wahid Foundation yang mengembangkan Sekolah Damai di empat provinsi sejak 2017. Ia juga mengapresiasi Pemerintah Provinsi Jateng yang telah mendukung Deklarasi Sekolah Damai Pro Toleransi.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menceritakan pengalaman bertemu dengan seorang guru yang membuktikan bahwa pelajaran Matematika itu tidak sulit. Namun, mengajari siswa berkata baik, toleran, dan budaya antre itu justru lebih sulit.
”Dunia kini berubah cepat. Kita harus merespons dengan cepat. Yang salah bukan anak muda yang tidak mengerti Pancasila. Bukan anak muda yang tidak mengerti toleransi. Itu karena kesalahan orangtua yang tidak membimbing anak muda soal itu,” ujar Ganjar.
Dalam kesempatan yang sama dilakukan Deklarasi Sekolah Damai Pro Toleransi Rangkaian oleh sejumlah sekolah di Jateng secara virtual. Deklarasi itu menjadi bagian dari upaya sekolah mencegah intoleransi dan ekstremisme di lingkungan sekolah serta mengampanyekan perdamaian dan keberagaman.
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menyatakan, generasi muda kini menghadapi tiga isu besar, yakni disrupsi, ekologi, dan emosi. ”Kita mengalami disrupsi yang menantang, mulai dari disrupsi teknologi, pandemi, dan gaya hidup,” ujarnya.
Untuk menghadapi disrupsi teknologi, anak-anak muda harus ditumbuhkan sikap kritis sehingga bisa menyaring konten-konten radikalisme dan intoleransi. Anak-anak muda, lanjut Yenny, harus dibantu mengatasinya melalui seperangkat nilai penting berbasis akhlakul karimah. Dia mencontohkan munculnya fenomena teroris milenial. Hal itu terjadi karena banyak faktor, salah satunya mereka mudah diprovokasi dan dikooptasi ke jalan yang tidak benar.
Generasi muda kini menghadapi tiga isu besar, yakni disrupsi, ekologi, dan emosi.
Program Sekolah Damai, lanjut Yenny, menjadi pemantik agar bisa membantu mengatasi setiap permasalahan pendidikan generasi muda di era disrupsi ini dengan seperangkat nilai. Dia mencontohkan, anak-anak muda kini mudah terpancing emosi dan terprovokasi. Yenny mengamati, anak-anak muda mengalami kegelisahan, keputusasaan, resah dengan masa depannya, dan tidak percaya diri.
”Sehingga mereka sangat mudah diprovokasi dan dikooptasi oleh orang-orang yang berusaha membawa mereka ke jalan yang tidak baik,” katanya.
Yenny menjelaskan, Wahid Foundation berkolaborasi dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia sejak 2017 mengembangkan Program Sekolah Damai untuk mendukung pendidikan karakter dan mempromosikan toleransi serta perdamaiaan di lingkungan pendidikan, khususnya sekolah menengah atas di empat provinsi, yaitu Jawa Timur, Jateng, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Dalam sesi diskusi, Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jumeri menjelaskan, paradigma Merdeka Belajar akan mengintegrasikan pengajaran nilai-nilai toleransi dalam kurikulum pendidikan. Alih-alih disampaikan dengan metode lama melalui pendekatan aturan, ancaman, dan hukuman, nilai toleransi akan disampaikan melalui praktik, salah satunya kolaborasi dan kerja sama dalam penyelesaian suatu masalah.
Jumeri menyampaikan, Kemendikbud menempuh sejumlah langkah mitigasi untuk meningkatkan toleransi di sekolah. Beberapa strategi di antaranya melalui Merdeka Belajar dengan penguatan profil pelajar Pancasila, penguatan kompetensi guru, dan transformasi pembelajaran. ”Peningkatan toleransi di sekolah tidak lagi dengan beragam aturan, ancaman, atau hukuman. Namun, dengan paradigma baru dalam konsep Merdeka Belajar dan praktik,” ujarnya.
Langkah-langkah itu, lanjut Jumeri, terimplikasi pada kurikulum, pembelajaran, dan sepak terjang para guru. Ia mencontohkan, dalam tiap pelajaran, para siswa akan diajak berkolaborasi, bekerja sama, dan menyelesaikan sebuah masalah. Dengan begitu, diharapkan akan terbentuk profil pelajar bernapaskan Pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebinekaan global, bergotong royong, dan kreatif.
Untuk menangkal gejala intoleransi di lingkungan pendidikan, pihaknya menerapkan asesmen nasional. Deteksi dini mesti dilakukan oleh dinas-dinas pendidikan di daerah.