Api Abadi Mrapen Menyala Lagi, Momentum Merawat Bumi
Padam sejak September 2020, Api Abadi Mrapen kembali menyala. Ditemukan dua titik sumber gas baru, dengan kedalaman masing-masing 40 meter dan 42 meter. Di sisi lain, warga diminta tak sembarangan membuat sumur bor.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
GROBOGAN, KOMPAS — Api Abadi Mrapen di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, kembali dihidupkan pada Selasa (20/4/2021) setelah padam sejak September 2020. Ditemukan dua titik sumber gas api di sekitar area yang sama. Hal itu menjadi momentum untuk merawat Bumi dengan lebih baik.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng Sujarwanto menuturkan, sejumlah tahap dilalui dalam penyalaan kembali Api Abadi Mrapen, yang dipercaya pertama kali menyala sejak abad ke-15. Tahapan tersebut, antara lain, dengan survei geolistrik untuk mencari sumber api baru, pengeboran, dan penemuan sumber gas.
Hasilnya, ditemukan dua titik sumber gas baru, dengan kedalaman masing-masing 40 meter dan 42 meter. ”Selama ini, karena kompresinya tinggi, maka keluar secara alamiah. Ibarat ban bertekanan, kalau banyak bocor, kempisnya cepat. Maka, kami selamatkan dengan mereorientasi aliran gasnya,” kata Sujarwanto, di sela-sela penyalan kembali Api Abadi Mrapen, Selasa.
Sujarwanto menuturkan, penyalaan kembali Api Abadi Mrapen menjadi tonggak sejarah, yakni satu langkah maju dalam pemanfaatan potensi gas untuk kehidupan masyarakat. Dari dua sumur baru tersebut, suplai gas diperkirakan mengalir hingga 40 tahun ke depan. Namun, jika Bumi terawat dengan baik, bisa hingga 60 tahun ke depan.
”Ini tentu membutuhkan peran serta semua. Maka, mari selamatkan Bumi kita untuk masa depan yang lebih baik. Ini juga landasan (peringatan) Hari Bumi, dengan tema restorasi atau memperbaiki Bumi. Mari mengubah sikap kita kepada Bumi untuk masa depan yang lebih baik,” kata Sujarwanto.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, yang secara simbolis menyalakan kembali Api Abadi Mrapen setelah enam bulan padam, meminta masyarakat sekitar tidak sembarangan membuat sumur bor. Apabila membutuhkan air atau lainnya, masyarakat diminta berkomunikasi dulu dengan Pemerintah Kabupaten Grobogan.
Ganjar juga berharap Api Abadi Mrapen tak hanya digunakan untuk penyalaan obor acara keolahragaan dan keagamaan, tetapi juga dapat lebih banyak dimanfaatkan warga sekitar. ”Mudah-mudahan masyarakat, seperti warung-warung di sekitar sini, juga bisa menggunakan,” ujarnya.
Lebih jauh, kembali menyalanya Api Abadi Mrapen menumbuhkan harapan baru bagi Grobogan dan Jateng. ”Kami harapkan banyak event muncul, wisata muncul, sport tourism juga muncul sehingga kegiatannya aktif kembali,” ucap Ganjar.
Api Abadi Mrapen tak hanya digunakan untuk penyalaan obor acara keolahragaan dan keagamaan, tetapi juga dapat lebih banyak dimanfaatkan warga sekitar.
Api Abadi Mrapen terletak di Zona Randublatung, yang membentang dari sebelah timur Kota Semarang hingga sebelah selatan Pulau Madura, Jawa Timur. Zona depresi itu berada di tengah-tengah antara Zona Rembang di sebelah utara dan Zona Kendeng di selatan. Selama ini, gas rawa atau gas dangkal dengan kedalaman hingga 100 meter beberapa kali muncul saat warga membuat sumur bor air tanah.
Sebelum 2020, sumber api di kompleks tersebut juga pernah padam pada 1996. Namun, masih terasa keberadaan udara yang panas. Sekitar 75 sentimeter dari titik tersebut kemudian ditemukan sumber api baru yang menyala lebih besar (Kompas, 9/5/1996).
Api Abadi Mrapen pernah digunakan untuk menyalakan obor Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang (Ganefo) I, yang dipelopori Presiden Seokarno pada 1963. Selain itu, juga untuk obor Pekan Olahraga Nasional (PON) X di Jakarta pada September 1981. Prasasti pengambilan api untuk acara-acara olahraga itu kini masih ada di sekitar titik utama Api Abadi Mrapen.
Pada Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang, Api Abadi Mrapen dipersatukan dengan api dari Stadion Nasional Dhyan Chand, New Delhi, India. Penyatuan dilakukan legenda bulu tangkis nasional Susy Susanti yang membawa api abadi dari India dan legenda tenis nasional Yustedjo Tarik yang membawa api Mrapen, di Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (18/7/2018) malam.
Selain itu, Api Abadi Mrapen juga kerap digunakan pada peringatan Trisuci Waisak Nasional. Api yang dimaknai semangat dan terang tersebut, antara lain, dibawa ke Candi Borobudur sebagai bagian prosesi peringatan hari raya Waisak.
Kajian detail
Tenaga Ahli pada Dinas ESDM Jateng, yang juga dosen Teknik Geologi dan Pertambangan Institut Teknologi Adhi Tama, Surabaya, Jatim, Handoko Teguh Wibowo, mengemukakan, ada tiga kemungkinan penyebab padamnya Api Abadi Mrapen pada 2020. Pertama, gasnya habis. Kedua, selubung atau tempat keluarnya gas tertutup. Ketiga, adanya migrasi.
Pada 2020, sebelum api Mrapen mengecil dan padam, terjadi semburan gas bercampur air yang muncul setelah adanya aktivitas pengeboran sumur bor, sekitar 200 meter dari Mrapen. ”Bisa jadi (gas bermigrasi karena ada semburan itu). Ini masih perlu kajian dan akan kami detailkan. Saat ini, gambaran awal, sudah diketahui ’nadi’ atau aliran paling derasnya di mana,” katanya.
Ia mengingatkan agar masyarakat berhati-hati karena dari statistik, pengeboran sumur bor yang cukup dalam berasosiasi dengan munculnya gas. ”Perlu dikaji ulang dan juga pelarangan untuk mencegah gas selalu ngalir. Ibaratnya, jika digembosi, lama-lama akan habis. Namun, jika dirawat, akan bisa bertahan lebih lama,” lanjut Handoko, yang juga Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jatim.
Contoh nyata melimpahnya gas rawa di sekitar Grobogan ialah di Desa Rajek, Godong, yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Api Abadi Mrapen. Sejumlah warga memanfaatkannya sebagai pengganti elpiji untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal serupa terjadi di rumah milik Utami (40), warga Desa Kebonagung, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Demak, yang berjarak sekitar 500 meter dari Api Abadi Mrapen. Gas pertama muncul pada 1992, ketika ayahnya mengebor sumur untuk mendapat air tanah. Sejak itu, Utami dan keluarganya memanfaatkan gas tersebut untuk memasak.
Bahkan, saat api di Mrapen padam pada September 2020, gas di rumahnya tetap mengalir. ”Sejak lama memang seperti ini. Kami sama sekali tidak pernah menggunakan elpiji. Memasak juga cepat,” kata Utami, Senin.
Namun, di saat ketersediaan gas melimpah, air bersih sulit didapat. Itu juga yang membuat banyak warga mengebor air tanah. ”Air di sini susah dan kurang bagus. Desa mau kelola air bersih juga takut ada gasnya. Jadi, untuk minum dan masak kami beli air. Kalau keperluan lain seperti mandi, ya, air yang ada saja. Walaupun sudah difilter, tetap tidak bagus. Apalagi saat musim kemarau,” lanjutnya.