Tiada Kata Terlambat Menyelamatkan Pesisir Bangka
Setelah dieksplotasi lebih dari tiga abad, sampai berapa lama lagi Pulau Bangka akan mampu bertahan menghadapi rakusnya para petambang timah?
Prinsip pembangunan yang berkelanjutan masih sekadar lip service dalam geliat penambangan timah di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Kerusakan lingkungan, di darat ataupun di laut, semakin tak terbendung. Konflik sosial juga semakin sering terjadi. Setelah dieksploitasi lebih dari tiga abad, sampai berapa lama lagi Pulau Bangka mampu bertahan menghadapi rakusnya para petambang?
Seorang laki-laki bertubuh gempal memegang pengeras suara. Ia memakai kaus tanpa lengan dengan tulisan It’s Never Too Late, tak ada kata terlambat. Malam itu, udara terasa sesak oleh kemarahan ratusan nelayan yang memadati pertigaan jalan di depan Kantor PT Timah, Kota Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Senin (5/4/2021).
”Kami minta hentikan operasi KIP (kapal isap produksi) timah di Pesisir Matras-Pesaren,” kata Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Matras-Pesaren Suhardi alias Ngikew (49) di hadapan Gubernur Kepulauan Babel Erzaldi Rosman yang malam itu turun menemui nelayan.
Penolakan terhadap rencana usaha pertambangan timah di Pesisir Matras-Pesaren, Kabupaten Bangka, yang panjangnya lebih kurang 70 kilometer, sudah dilakukan sejak 2015. Sekitar 2.000 nelayan berulang kali melakukan demonstrasi. Namun, pada 9 November 2020, belasan KIP tetap saja datang ke perairan yang hanya berjarak kurang dari 4 mil dari garis Pantai Matras.
”Nelayan tidak bermaksud menyetop seluruh usaha pertambangan di Babel. Kalau PT Timah mau menambang di daerah yang warganya mengizinkan, ya silakan saja, kami tidak akan menghalang-halangi. Namun, khusus Pesisir Matras-Pesaren, tolong jangan ditambang karena itulah sumber kehidupan kami,” kata seorang nelayan lain, Cecep Agung Priyatna (37).
Tetap berjalan
Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Agung Pratama menyatakan tidak dapat menghentikan operasional KIP di Pesisir Matras. Hal itu ia nyatakan dalam pertemuan dengan nelayan dan forum koordinator pimpinan daerah Kepulauan Babel, Kamis (15/4/2021).
”Tapi kalau dipaksakan harus stop, saya bilang tidak bisa karena operasional kapal (isap) ini juga dibutuhkan 6.500 karyawan PT Timah. Kapal tetap jalan karena kapal itu sumber hidup banyak orang,” kata Agung.
Namun, Agung menambahkan, apabila nanti IUP PT Timah di lokasi itu habis pada 2024 dan pemerintah tidak memperpanjang, PT Timah akan patuh. ”Melihat PT Timah jangan melihat saya saja, 6.500 karyawan PT Timah, 90 persen lebih masyarakat Babel, itu kami hidupi dari bijih timah,” ucapnya.
Mengutip Kontan, pada Oktober 2018, Kementerian ESDM bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menjalin sinergi terkait kegiatan penambangan timah di pesisir pantai dari 0 hingga 2 mil, yang merupakan wilayah penambangan PT Timah.
Kala itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan, penambangan timah di laut tidak dilarang asalkan metode dan teknologi yang dipakai dalam aktivitas penambangan tidak merusak lingkungan. TINS diminta menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, yakni dengan metode borehole mining (BHM).
Terkait rekomendasi penggantian kapal isap dan kapal keruk dengan metode penambangan BHM itu, sampai berita ini diturunkan, Corporate Secretary PT Timah Zulkarnaen Dharmawi tidak menanggapi permohonan wawancara Kompas yang disampaikan lewat pesan tertulis ataupun panggilan telepon.
Berdampak buruk
Selain di Pesisir Matras-Pesaren, konflik antara nelayan dan pertambangan timah juga terjadi di Teluk Kelabat Dalam, perbatasan antara Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Barat. Sejak 2016, ratusan ponton petambang ilegal menutupi muka teluk itu. Aktivitas ribuan petambang ilegal menyebabkan pencemaran dan pendangkalan teluk.
”Para petambang ilegal itu sering berteriak girang juga bertepuk tangan kalau melihat nelayan mengangkat jaring dan ternyata tidak dapat apa-apa. Sungguh, sakit sekali hati kami,” kata seorang nelayan, Wisnu (41).
Menurut Ketua Pusat Kajian Sumber Daya Perairan dan Pulau-pulau Kecil Universitas Bangka Belitung Kurniawan, penambangan timah di laut secara legal, menggunakan kapal isap dan kapal keruk, ataupun secara ilegal, menggunakan ponton-ponton kecil, sama-sama berdampak buruk terhadap lingkungan. Pengeboran atau pengerukan dasar laut akan mengubah bentuk permukaan laut.
Aktivitas penambangan timah akan membuat relief dasar laut menjadi penuh lubang dan gundukan. Lubang di dasar laut akan menyebabkan munculnya pusaran air, atau yang disebut nelayan setempat sebagai busung. Busung membahayakan nelayan kala melaut pada malam hari. Apabila menabrak busung, perahu nelayan bisa terbalik atau bahkan hancur.
Sementara gundukan tanah akibat aktivitas pengerukan atau pengeboran akan memicu pendangkalan. Hal ini, salah satunya terjadi di Teluk Kelabat Dalam. Pada 2020, sawah warga di sana seluas lebih kurang 70 hektar gagal panen karena terendam air laut. Pendangkalan teluk dan kerusakan bakau mengakibatkan air laut meluap ke sawah warga.
”Selain itu, lumpur buangan tambang akan terbawa arus lalu mengendap di lokasi yang berjarak antara 1 mil dan 2 mil. Tailing akan menutupi karang dan membuat ikan, udang, cumi-cumi, dan biota laut lainnya menjauh,” kata Kurniawan, Kamis (5/4/2021).
Ia menambahkan, penambangan timah laut juga KIP rawan memicu konflik dengan nelayan, karena biasanya wilayah operasi KIP berada di perairan yang berjarak kurang dari 4 mil dari garis pantai. Penyebabnya, alat penambangan bawah laut yang dipakai KIP dan kapal keruk pada umumnya hanya efektif dioperasikan di perairan dengan kedalaman sekitar 30 meter.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan Tb Haeru Rahayu menginginkan agar masyarakat nelayan tidak ditinggalkan dalam proses pembangunan di Provinsi Babel. ”Semua harus duduk bersama, intinya kami ingin ekologi tetap terjaga dan perekonomian tetap menggeliat,” ujarnya.
Baca juga: Pemerintah dan Aparat Kewalahan Atasi Tambang Timah Ilegal di Pulau Bangka
Kerusakan tiga abad
Penambangan timah di Pulau Bangka sudah berlangsung lebih dari tiga abad. Catatan sejarah menunjukkan, pertambangan timah pertama di Pulau Bangka berada di di Kampung Calin, Merawang, Kabupaten Bangka, pada 1709. Dari zaman Kesultanan Palembang itu, obsesi terhadap timah terus berlanjut pada masa kolonial hingga kemerdekaan dan akhirnya sampai hari ini.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Babel mencatat, saat ini, ada lebih dari 6.000 lubang tambang yang belum direklamasi di Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Selain itu, kualitas air di 11 sungai yang berada di wilayah Provinsi Babel juga tidak memenuhi standar baku mutu badan air kelas II.
”Jika Babel terus-menerus dieksploitasi, kami khawatir Babel yang terdiri atas pulau-pulau kecil ini semakin rawan mengalami bencana alam, seperti banjir, krisis air bersih, dan kepunahan hayati,” kata Direktur Eksekutif Walhi Babel Jessix Amundian.
Pemprov Kepulauan Babel juga mencatat ada sekitar 278.000 hektar lahan kritis akibat penambangan timah. Ribuan lubang tambang, atau yang jamak disebut warga sebagai kolong, dan ratusan ribu lahan kritis itu belum dapat dipulihkan karena biaya untuk reklamasi mencapai Rp 12,5 juta per hektar dinilai tidak sepadan dibanding pendapatan yang didapat dari sektor tambang.
Rencana transformasi Kepulauan Babel meninggalkan ketergantungan terhadap timah sudah mengemuka sejak tahun 2000, saat daerah itu memisahkan diri dari Sumatera Selatan. Namun, Gubernur Kepulauan Babel Erzaldi, Selasa (6/4/2021), mengatakan transformasi Babel menuju ekonomi berkelanjutan belum terwujud karena prosesnya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, saat ini, Pemprov Babel tengah berusaha meminta royalti timah ditingkatkan dari 3 persen menjadi 10 persen. Pemprov juga meminta hibah saham 14 persen dari 65 persen saham PT Timah Tbk yang dikuasai pemerintah pusat.
”Bukan karena (semata) ingin duitnya. Kalau pemerintah daerah memiliki saham PT Timah, kami bisa mengontrol apa yang dikerjakan PT Timah agar seiring dan sejalan dengan kebijakan daerah,” kata Erzaldi.
Hal itu ditanggapi sinis oleh Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah. Ia menilai, melepaskan ketergantungan terhadap timah bisa dimulai segera dari menyelesaikan persoalan di depan mata seperti mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pesisir Matras-Pesaren.
Ketidakseriusan pemerintah memperjuangkan ekonomi yang berkelanjutan itu tercermin di Museum Timah, Kota Pangkal Pinang. Di museum itu, sebuah pigura yang memajang motto Konferesi Stockholm 1972 ”Hanya Satu Bumi” diletakkan di sebuah ruang kecil yang tak akan dilewati pengunjung jika mereka tak hendak menuju toilet. Sementara beranda depan museum, dipenuhi diorama kapal keruk dan mesin-mesin tambang lainnya.
Bagi Suhardi dan ribuan nelayan lain di Pesisir Matras-Pesaren, moto Konferesi Stockholm 1972 ”Hanya Satu Bumi” juga bermakna ”\'Hanya Satu Pesisir Matras-Pesaren”. ”Inilah satu-satunya sumber kehidupan kami. Nelayan tidak minta banyak, hanya tolong jangan rusak laut kami ini,” ucapnya.
Setelah dieksplotasi lebih dari tiga abad, sampai berapa lama lagi Pulau Bangka akan mampu bertahan menghadapi rakusnya para petambang? Pertanyaan itu kembali terngiang. Menurut Merah, penambangan timah adalah bom waktu di Pulau Bangka. Alam tak akan diam saja setelah begitu lama dilukai, dan cepat atau lambat seisi Pulau Bangka harus siap menerima dampaknya.
Namun, kaus yang dikenakan Suhardi pada malam ketika ia memimpin ratusan nelayan berunjuk rasa di depan Kantor PT Timah mungkin menyiratkan sebuah pesan. It\'s never too late, tak ada kata terlambat untuk menyelamatkan Pesisir Bangka.