Gempa Malang Memberiku Pelajaran tentang Ketakutan dan Kehidupan
Di Lumajang, saya menemukan, bencana memang mendatangkan luka. Namun, ia sama sekali tak mampu membunuh kemanusiaan. Duka tak menghentikan para korban gempa untuk tetap saling membantu satu sama lain.
”Tak ada yang perlu ditakuti dalam hidup, semuanya hanya perlu dimengerti. Sekaranglah waktunya untuk lebih banyak mengerti, supaya kita lebih sedikit takut.” (Marie Curie)
Hari Sabtu (10/4/2021), saya bersama sejumlah wartawan sedang ngobrol santai di sebuah ruangan di lantai empat hotel di kawasan Stadion Gajayana, Kota Malang. Saat itu, kami hendak meliput kegiatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dijadwalkan pukul 13.30.
Sambil berdiri menunggu, karena tidak disediakan kursi bagi wartawan, kami pun ngobrol ngalor ngidul. Sudah habis banyak obrolan, acara belum juga dimulai. Menurut panitia, mereka masih menunggu kedatangan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak.
Baca juga : Diguncang Gempa, Sejumlah Bangunan di Malang, Blitar, dan Lumajang Rusak
Sekitar pukul 14.00, dinding tempat kami bersandar tiba-tiba terasa bergerak. Para wartawan yang tengah asyik mengobrol langsung berpandang-pandangan, ”Eh, gempa!”
Kami sempat mengira, tak akan ada goyang lanjutan setelah goyangan pertama gempa, seperti terjadi sebelum-sebelumnya. Namun ternyata, dinding kembali terasa bergoyang-goyang.
Kali ini terasa sangat kencang. Orang-orang pun berhamburan ke luar ruangan. Begitu pula, orang-orang dari ruangan lain. Petugas keamanan mengarahkan kami untuk segera turun melalui tangga darurat di ujung lorong.
Baca juga : Di Adonara, Hancur-hancuran Sekalian Sudah
Saya bersama rekan-rekan wartawan dengan cepat mengikuti arahan. Dengan menggandeng seorang teman wartawan yang berkacamata, kami bergegas menuju pintu darurat.
Entah dari mana datangnya keberanian, panggilan jurnalistik membuat saya refleks mengambil ponsel di saku dan merekam situasi. Pikir saya, meski gambar videonya goyang-goyang, setidaknya akan ada bukti suasana saat itu.
Sambil merekam, saya menuruni tangga darurat pelan-pelan. Teman saya, yang mengalami gangguan penglihatan minus dan plus sekaligus itu, memegangi lengan saya kuat-kuat dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mencengkeram tangga. ”Ayo, Mbak. Hati-hati,” kata saya saat itu.
Baca juga : Gempa Bumi yang Mengingatkan Kita
Kami memilih bergerak beriringan dekat pegangan tangga, agar jalur lain bisa digunakan orang lain untuk bergerak turun dengan cepat. Namun rupanya, meski semua panik, tidak ada yang lantas berebut atau main serobot agar bisa segera turun.
Semua orang mungkin sadar, jika tergesa-gesa malah berpotensi celaka jatuh dari tangga. Sambil terus berjalan turun, kami terus saling mengingatkan satu sama lain agar berhati-hati. Selama di tangga darurat, goyangan gempa terasa semakin kuat.
Entah berapa lama, yang jelas rasanya kami sempat beberapa kali berputar mengikuti alur tangga. ”Pelan-pelan, yang pakai high heels silakan dilepas,” kata petugas satpam mengumumkan.
Baca juga : Akhir Pekan yang Viral
Di tengah perjalanan, saya meneriaki teman lain yang tampak tertinggal di belakang. Rupanya, ia menggandeng seorang anak yang ditinggalkan ibunya turun terlebih dahulu.
Setibanya di lantai bawah, tampak orang-orang berhamburan keluar hotel dan menjauh dari bangunan. Sebagian lantas memilih duduk-duduk di lapangan parkir. Kepanikan menghiasi wajah-wajah mereka. Berikutnya, mereka sibuk menelepon keluarga masing-masing, mencoba mencari kabar.
Kami para wartawan, setelah merasa aman, bergegas menekuri ponsel untuk mencari tahu mengenai gempa tersebut. ”Gempa magnitude 6,7, pusatnya di selatan Malang,” celetuk salah satu dari kami.
Baca juga : Warga Malang Diminta Tetap Waspada
Sambil menghela napas dan menenangkan hati yang masih dag-dig-dug ketakutan, saya hubungi beberapa narasumber untuk mencari keterangan. Saya rasa, baru kali ini saya mengalami gempa ketika sedang berada di dalam bangunan bertingkat.
Beberapa kontak saya di Malang Selatan juga saya hubungi. Grup-grup media sosial percakapan, saya fungsikan sebagai penggali informasi. Alhasil, berita dengan disertai foto sudah bisa terkirim ke kantor tak lama setelah kejadian.
Selama beberapa saat, para wartawan terus memproduksi berita untuk kantor masing-masing. ”Acara digeser ke Bakorwil. Yuk, kita ke sana,” kata seorang teman wartawan menyampaikan pesan panitia acara.
Namun, saya memutuskan tidak meneruskan liputan tersebut. Saya merasa, mencari kabar soal dampak gempa menjadi lebih penting ketimbang liputan seminar.
Sambil mencoba melihat dampak gempa di tengah Kota Malang, saya mampir sebentar untuk membeli makan siang. Saya khawatir, kombinasi panik dan lapar dapat menyebabkan saya kesulitan meliput dan menulis berita gempa dengan baik. Usai makan, masuk pesan dari kantor. ”Foto ditunggu untuk halaman 1,” pesan editor saya.
Saya kemudian berpikir, jika saya nekat ke Malang Selatan yang berjarak 70-80 kilometer (km) sore itu juga, saya baru akan tiba di sana saat hari sudah gelap. Saya akan kesulitan mengambil foto, bahkan mungkin gagal. Bergeser ke Gubugklakah, lokasi gempa di Malang Timur yang jaraknya sekitar 50 km, juga memakan waktu lama.
Akhirnya, saya memilih bergeser ke arah Wagir yang jaraknya hanya sekitar 13 km arah Barat Kota Malang. Setelah ngebut ke sana, dan bertanya ke RT dan warga setempat, rupanya kabar dampak gempa di sana hoaks. ”Duh, keburu gelap dan tak dapat foto ini,” pikir saya galau saat itu.
Kok ya, ada saja orang menyebar kabar tidak benar di tengah bencana. Namun, saya tetap ngotot ingin mencari foto terlebih dahulu. Pikiran saya saat itu, foto akan menjadi salah satu bukti bahwa gempa di Malang benar-benar berdampak. Sementara untuk menggali data lebih dalam sebagai bahan berita, bisa dilakukan setelah foto di tangan.
Saya pun bertekad tetap mengejar foto dampak gempa. Akhirnya, setelah memastikan bahwa sebuah foto yang sampai ke saya benar, saya segera meluncur ke Desa Ganjaran di Kecamatan Gondanglegi. Lokasinya sekitar 25 km arah tenggara dari posisi saya saat itu. Saya bersyukur, mengendarai motor membuat saya bisa bergerak lincah dan tidak tertahan kemacetan yang saat itu muncul di sana-sini.
Baca juga : Delapan Jam Menjadi Pemilik Mobil Super Si Kuda Jingkrak
Namun, upaya pencarian korban gempa rupanya tidak semudah itu. Lokasi yang terdampak gempa parah tidak berada di tepi jalan besar, tetapi masuk ke pelosok, melewati sawah-sawah yang mulai sepi. Rona jingga senja mulai datang ketika saya belum juga sampai di rumah yang saya tuju. Panik kembali menyerang, karena foto belum juga di tangan.
Tidak ingin menyerah, saya teruskan pencarian. Bertanya kepada beberapa orang dan berusaha dengan cermat menggali titik lokasi. Saya yakin tempatnya sudah dekat, tinggal mencarinya masuk-masuk ke dalam gang. Saya bersyukur, sebelum gelap benar-benar pekat, saya sudah tiba di rumah terdampak gempa yang dimaksud.
Di sela-sela memotret dan mendengarkan curhat sang pemilik rumah, lewat atap yang jebol, terlihat langit berhias semburat warna pink dan ungu nan indah. Tak lama kemudian, gelap benar-benar datang dan saya pamit undur diri kepada ibu pemilik rumah. Foto ini kemudian menghiasi foto di koran Kompas esok harinya, dan versi online di Kompas.id.
Sebuah pesan datang dari fotografer Kompas Bahana Patria Gupta. Ia mengarahkan beberapa angle agar foto saya menjadi lebih bagus. Namun, tetap saja, saya kesulitan untuk mengeksekusinya dengan maksimal karena berkejaran dengan petang. ”Duh, saya kok kebetulan pas cuti. Saya nanti akan gabung hari Senin (12/04/2021), Mbak,” kata Bahana berusaha menenangkan saya.
Baca juga : Kemanusiaan yang Mengalahkan Trauma Teror Bom di Surabaya
Setelah foto gempa di tangan, saya kembali ke kantor dan tiba pukul 20.00 untuk mengetik. Editor meminta saya membuat tulisan mendalam, bukan sekadar hard news tentang gempa. Agar lebih berkonsentrasi, saya memasang headset, mulai mencari data terkait, dan menelepon narasumber yang saya ingat pernah bicara soal gempa.
Dari sang narasumber akhirnya saya tahu bahwa gempa besar di Jatim sudah terjadi sejak dahulu kala. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Mau waspada atau teledor dan seenaknya.
Pukul 22.00, panggilan editor untuk segera mengirim berita kembali datang. Saya bersyukur, dengan bantuan data kliping Kompas dan narasumber yang bersedia dihubungi malam-malam, tugas saya mewartakan dampak gempa Malang tuntas juga malam itu.
Baca juga : Dua Hari Pascagempa Bumi di Kabupaten Malang
Sambil menghela napas dan merenungkan kejadian seharian, saya berpikir jika Yang Maha Kuasa berkehendak, mudah saja untuk mengingatkan betapa tak berdayanya manusia.
Saya juga merasakan, betapa kita tak bisa benar-benar hidup sendirian di dunia yang mahaluas ini. Teman, narasumber, dan orang-orang di sekitar adalah penolong saya saat itu.
Esok harinya, Minggu (11/4/2021), sebenarnya jadwal libur saya. Namun, gempa besar membuat saya membatalkan libur dan bergerak ke wilayah Lumajang, yang juga salah satu wilayah liputan saya. Belakangan diketahui, Lumajang juga mengalami dampak parah gempa. Bahkan, lima orang tewas akibat tertimpa longsor dan reruntuhan.
Di Lumajang, lagi-lagi saya menemukan bahwa bencana memang mendatangkan luka. Namun, ia sama sekali tidak pernah mampu membunuh kemanusiaan. Di antara para korban gempa di Lumajang, saya mendapati fakta bahwa duka tak menghentikan mereka untuk saling membantu satu sama lain.
Warga yang rumahnya masih tegak berdiri menerima tetangganya yang butuh mengungsi atau memasak makanan untuk para korban gempa lainnya. Melihat ini, sungguh menghangatkan hati.