Dunia sastra dan berkesenian di Makassar sudah mengalami jalan panjang. Sayang, di organisasi sebesar dan setua Dewan Kesenian Makassar, sejumlah persoalan membayangi, di antaranya regenerasi.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
Dunia berkesenian di Makassar, Sulawesi Selatan, sudah melewati jalan panjang dan berliku. Keberadaan Dewan Kesenian Makassar (DKM), yang tahun ini berusia 52 tahun, menjadi bukti perjalanan panjang panggung kesenian, termasuk sastra, di kota terbesar di belahan timur negeri ini.
Sebelum DKM, di Makassar ada lembaga bernama Front Seniman Makassar yang di dalamnya menaungi Teater Makassar. Di luar Makassar, sejumlah lembaga kesenian juga terbentuk dan aktif berkreasi melahirkan karya.
Sejarah juga mencatat bahwa sebelum DKM berdiri, di Makassar telah ada Lembaga Kesenian Indonesia yang didirikan seniman Hengky Rondonuwu. Lembaga ini kemudian melahirkan Akademi Seni Drama Indonesia yang aktif antara 1962-1966. Akademi ini tutup saat pergolakan PKI yang saat itu mendirikan lembaga kesenian bernama Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Dari semua yang pernah ada, DKM-lah yang bertahan hingga kini. Organisasi yang berdiri pada 1969 ini dimotori sejumlah seniman, seperti Prof Mattulada, Arsal Alhabsy, Rahman Arge, Hamzah Daeng Mangemba, Jamaluddin Latif, Aspar Paturusi, dan beberapa nama lainnya.
Era kejayaan DKM berlangsung sejak berdirinya hingga tahun 1980-an. Organisasi ini kemudian melahirkan banyak nama yang menoreh prestasi dalam dunia berkesenian, termasuk di dalamnya penulis puisi, esai, cerpen, naskah teater, dan pemain-pemain teater.
Nama Mattulada, Rahman Arge, Aspar Paturusi, Husni Jamaluddin, Ishak Ngelyaratan, Razak Thaha, Romtu Ottulua, Edy Thamrin, Udin Palisuri, dan Fahmi Syariff, hanya sedikit dari banyak nama yang pernah ikut membesarkan DKM.
“Pada masa kejayaannya, DKM cukup aktif berkegiatan. Tak hanya membuat kegiatan di Makassar, tapi banyak anggota yang berkeliling ke berbagai kota di Indonesia dan ikut dalam banyak pementasan hingga lomba,” kata Kepala Sekretariat DKM M Arman Yunus, di Makassar, Jumat (16/4/2021).
Belakangan, tak hanya pelajar, tapi juga masyarakat umum berminat. Maka, kami buat lombanya untuk SMA/sederajat serta umum.
Sayang, setelah era kejayaan itu, DKM tak lagi terlalu aktif, walau juga tak bisa disebut mati. Sejumlah kegiatan masih dilakukan. Hingga 2019, DKM masih menggelar acara "Makassar Bersyair". Ini adalah acara festival bersyair yang melibatkan pelajar SMA/sederajat. Belakangan, masyarakat umum juga berminat.
“Biasanya kami mengundang perwakilan sekolah SMA dan sederajat di Sulsel untuk ikut lomba. Belakangan, tak hanya pelajar, tapi juga masyarakat umum berminat. Maka, kami buat lombanya untuk SMA/sederajat serta umum. Tahun 2020 kegiatan ini tidak digelar akibat pandemi,” kata Arman.
Dimotori sastrawan dan seniman yang sebagian besar sudah senior, hingga 2019, DKM juga masih aktif mementaskan drama dengan mengangkat cerita-cerita rakyat hingga drama kontemporer di Sulawesi Selatan. Saat ini DKM diketuai oleh Erwin Kallo.
Upaya menghidupkan dan mengenalkan dunia sastra melalui panggung teater di antaranya dilakukan dengan menggelar pentas drama. Penulis naskah teater Fahmi Syariff, misalnya, membuat sejumlah naskah seperti "Datu Museng dan Maipa Deapati", "I Maddi Daeng ri Makka", hingga "Jenderal Terakhir".
Sebagian pentas dilakukan di panggung Trans Studio Makassar, sebagian lagi di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie. Acapkali pementasan dilakukan di sejumlah kabupaten lain di Sulsel. Namun sayang, upaya ini tidak benar-benar bisa mengembalikan kejayaan DKM sebagaimana di era hingga 1980-an.
Muhary Wahyu Nurba, yang pernah aktif di kepengurusan DKM pada Divisi Sastra, mengakui bahwa tantangan DKM saat ini adalah pada soal regenerasi. “Menjadi dewan kesenian yang cukup tua, mestinya DKM bisa lebih dikembangkan dan bahkan kembali berjaya. Persoalannya selama ini seniman dan sastrawan muda kurang dilibatkan. Padahal, jika diberikan kepada orang-orang muda, bisa jadi akan lebih berkembang,” kata Muhary.
Menurut dia, pihak DKM tak bisa lagi sekadar berbangga bahwa lembaga ini menjadi salah satu yang tertua di Indonesia. “Yang menjadi tolok ukur mestinya adalah karya. Memang, sejauh ini orang-orang DKM masih ada yang berkarya. Tapi, seperti apa? Kalau mau melihat Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang juga sama tuanya, kondisinya berbeda karena DKJ sudah dikelola seniman-seniman muda,” katanya.
Menurut Muhary, satu hal lain yang juga harus dimiliki DKM adalah bank data. “Bank data ini mencakup nama-nama seniman berikut karya mereka. Jadi, ada pengelompokkan, misalnya cerpenis, novelis, penulis esai, puisi, penulis naskah drama, pelukis, perupa, penari, dan lainnya. Ini mestinya dimiliki lembaga sebesar dan setua DKM, tapi sayangnya ini tidak ada,” katanya.
Menurut Muhary, untuk membuat DKM menjadi organisasi kesenian besar dan mengembalikan kejayaannya, regenerasi mutlak dilakukan. “Di tangan orang muda, ada banyak hal yang bisa dilakukan. Kalau bicara anggaran, itu bisa disiasati dengan berjejaring," ujarnya.
Dia menambahkan, seniman-seniman dan sastrawan muda sekarang punya jejaring hingga tingkat dunia. "Mestinya, sebagai organisasi tertua, DKM juga harus punya perhelatan tahunan yang melibatkan banyak seniman, termasuk yang dari luar Makassar,” katanya.
Agaknya sudah selayaknya organisasi tertua ini kembali dibangkitkan agar perjalanan panjang panggung sastra dan berkesenian di Makassar, utamanya yang dikelola organisasi sebesar DKM, tak berhenti.