Gairah Makassar Memanggungkan Sastra
Dunia sastra di Makassar tak pernah berhenti bergeliat. Melalui sastrawan-sastrawan muda, bakat dan karya-karya sastra terus lahir mengiringi perkembangan kota.
Geliat sastra di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, telah mengarungi berbagai zaman. Belakangan, geliat itu makin meningkat seiring dengan proses regenerasi yang terus terjaga. Sastra menjadi penyejuk di tengah keringnya deretan beton dan baja kota.
”Saya sedang menyelesaikan kurasi naskah yang akan dimuat April nanti. Lumayan banyak yang masuk. Semoga naskah yang terpilih nanti adalah yang terbaik dan bisa diterima pembaca magrib.id,” kata Muhary Wahyu Nurba (48), penyair Makassar yang beberapa tahun terakhir bolak-balik Makassar-Bima.
Saat dihubungi pekan terakhir Maret lalu, Muhary sedang berada di kaki Gunung Tambora. Penyair ini menyebut sedang menikmati keindahan Tambora sembari menyelesaikan kurasi naskah untuk media daring yang didirikan dan dikelolanya sendiri dua tahun ini, magrib.id.
Media ini mengkhususkan kontennya pada kesusastraan. Muhary menyebut magrib.id dibuat untuk memanggungkan karya-karya puisi, cerpen, esai, dan beragam karya tulis sastra yang selama ini tak punya banyak tempat di media konvensional.
”Saya pernah mengasuh halaman sastra di beberapa media lokal di Sulawesi Selatan dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). Yang saya dapati, minat orang untuk mengisi halaman itu cukup antusias. Sayang halamannya terbatas,” katanya.
Separuh nekat dan memberanikan diri, Muhary akhirnya meluncurkan magrib.id. Media ini dia persembahkan bagi para penyair, penulis, dan siapa pun yang bergiat dalam dunia sastra untuk memanggungkan karya mereka. Tentu saja, seleksi juga dilakukan secara ketat untuk menjaga kualitas. Untuk pembaca, media ini adalah alternatif jika ingin menikmati karya sastra dengan porsi lebih.
Selama dua tahun, Muhary pula yang menyediakan honor bagi para penulis dan membiayai operasional media. Semua itu dirogoh dari kantongnya sendiri. ”Ini bentuk kecintaan saya pada dunia sastra. Toh, ada saja rezeki untuk tetap menghidupkan magrib.id tanpa mengganggu anggaran dapur dan kebutuhan keluarga lainnya,” katanya.
Sebelumnya, pascagempa bumi di Lombok dan Palu pada 2018, Muhary mengajak sejumlah penulis menulis cerita anak. Kisah-kisah inspiratif ini kemudian dibukukan dengan judul Memetik Keberanian. Buku ini dikirim untuk anak-anak penyintas bencana di pengungsian. Selebihnya dikirim ke sejumlah perpustakaan dan komunitas pegiat literasi untuk jadi bacaan anak-anak.
Terus bergeliat
Muhary adalah salah satu sosok yang turut menggeliatkan napas sastra di kota terbesar di kawasan timur Indonesia ini. Selama beberapa tahun, geliat dunia sastra dan literasi di Sulsel, terutama Makassar, terus meningkat. Berbagai perhelatan yang digelar sejumlah organisasi atau lembaga tak pernah sepi peminat.
Geliat ini tak selalu berupa perhelatan akbar dan melibatkan banyak penonton, tapi juga merasuk hingga ruang-ruang kecil diskusi, perpustakaan, hingga perhelatan lomba. Karya-karya sastra baru pun terus lahir, melanjutkan estafet dari generasi-generasi sebelumnya.
Baca juga: Puisi untuk Malam dan Ruang yang Kosong
Pegiatnya juga banyak dimotori anak muda. Nama penyair Aan Mansyur dan cerpenis Faisal Oddang hanya sedikit dari banyak nama yang menoreh prestasi di panggung sastra nasional.
Banyak yang terenyak saat sekuel film Ada Apa Dengan Cinta 2 menggunakan puisi-puisi karya Aan Mansyur. Ada pula satu kisah saat Ariel, vokalis band Noah, bercerita bagaimana syair lagunya yang berjudul ”Kupeluk Hatimu” tak selesai hingga turut meminta Aan menambahkan lirik dalam lagu tersebut.
Sama ketika nama Faisal Oddang tiba-tiba kondang saat memenangi Cerpen Pilihan Kompas tahun 2014. Kiprah Faisal di bidang sastra berlanjut dengan meraih sejumlah penghargaan dari sejumlah lembaga ataupun organisasi.
Selain perseorangan, komunitas pun turut mendorong geliat sastra di Makassar. Tengoklah aktivitas Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel. Di Indonesia, FLP Sulsel menjadi salah satu cabang FLP yang sangat aktif. Ada saja seminar ataupun pelatihan yang dibuat untuk menjaring bakat-bakat penulis novel, puisi, cerpen, dan esai.
Ketua FLP Sulsel Andi Batara Al Isra mengatakan, bahkan pandemi Covid-19 tak menyurutkan semangat para penulis untuk berkarya. Webinar atau pelatihan daring yang dilakukan FLP saat pandemi tetap disambut antusias. ”Setiap kegiatan selalu ramai peminat dan yang ikut juga biasanya tetap lanjut dan terus mengembangkan diri di FLP. Kami juga punya cara mengembangkan bakat para penulis dengan rajin menggembleng mereka ikut lomba,” kata Batara.
Siti Mardiah (29), yang menggunakan nama pena Nahla, adalah salah satu kader FLP Sulsel yang cukup aktif. Tinggal jauh dari Makassar, yakni Kabupaten Enrekang, tahun 2019 lalu, ibu rumah tangga ini memenangi lomba menulis cerita anak yang diselenggarakan Balai Bahasa.
ISM menjadi wadah mencari dan menggembleng orang-orang yang punya minat pada kesusastraan.
”Dua karya saya menang di dua kategori yang diselenggarakan Balai Bahasa. Judulnya adalah Anggota Badan dan Gula Merah Nenek. Awalnya saya banyak menulis cerpen dan puisi. Suatu ketika saya membuat cerita anak. Mentor-mentor saya di FLP kemudian mengatakan bahwa saya cukup berbakat menulis cerita anak. Akhirnya bakat itu saya asah,” katanya.
Aktif di FLP sejak 2011, Nahla sudah melahirkan ratusan karya cerpen ataupun puisi, hingga cerita anak. Sebagian sudah dimuat di koran lokal. Ada pula yang diterbitkan dalam bentuk antologi. Dia bercita-cita menerbitkan buku yang berisi karyanya sendiri.
Ada pula sastrawan sekaligus pengajar di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, Aslan Abidin, yang mendirikan Institut Sastra Makassar (ISM). Dia mengatakan, ISM menjadi wadah mencari dan menggembleng orang-orang yang punya minat pada kesusastraan.
”Tak semua bisa masuk karena kami seleksi. Di ISM, selama satu tahun pertama, peserta harus menghabiskan setidaknya 100 buku karya sastra. Mereka harus membaca karya sastra, termasuk karya sastra dunia. Tahun berikutnya, mereka harus punya karya. Kami sudah bekerja sama dengan sejumlah penerbit yang siap menerbitkan karya peserta ISM,” kata Aslan, yang sudah menerbitkan karyanya antara lain dalam buku berjudul Napas Kampus serta Koridor dan Batu Beramal.
Di Makassar, ada banyak lembaga atau organisasi yang mengkhususkan diri untuk pengembangan sastra sekaligus literasi. Di kampus-kampus, pegiat sastra membentuk kelompok. Dari belajar bersama, mereka kemudian membuat karya secara individu. Karya ini bahkan dibagikan dalam bentuk stensilan.
Baca juga: Para Penulis Nasional Hadiri Makassar International Writers Festival 2019
Di luar kampus, kelompok pegiat sastra tak kalah banyak. Kata Kerja yang didirikan Aan Mansyur, Ininnawa yang kini diketuai Anwar Jimpe Rahman, dan Kedai Buku Jenny, adalah beberapa contoh.
”Sastra menjadi penanda peradaban suatu kota. Sejarah kota mungkin bisa ditulis dalam narasi sejarah yang baik. Tapi, sastra bisa mencatat sejarah kota dalam berbagai peristiwa, seperti politik, demokrasi, hingga tragedi, dalam bentuk dan perspektif yang berbeda dan lebih manusiawi. Dengan kata lain, untuk kelangsungan kehidupan kemanusiaan, sastra juga dibutuhkan. Kita membutuhkan pegiat-pegiat yang terus bergeliat memanggungkan sastra,” kata Aslan.