Lembata merupakan pulau dengan kerentanan tinggi bencana, seperti gempa, tsunami, letusan gunung api, longsor, dan banjir bandang. Namun, banjir bandang luput dari mitigasi bencana.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Baru sekitar tiga bulan kembali dari lokasi pengungsian akibat erupsi Gunung Ile Lewotolok di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, warga yang tinggal di kaki gunung itu kembali dikejutkan banjir bandang pada 4 April 2021. Erupsi tak memakan korban, namun banjir bandang merenggut puluhan nyawa. Mereka tertimpa bencana di atas bencana.
Di tengah gelap malam, Sabtu (3/4/2021), Benediktus Fernadez (37) menerobos hujan deras menuju sebuah sungai yang melintasi sisi kampung mereka, Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur, bagian timur Gunung Ile Lewotolok. Air yang mengalir sungai itu hampir meluap. Tak menunggu lama, ia bergegas lari ke kampung, meminta warga segera mengungsi.
Warga mengambil selimut, tikar, dan barang-barang lain yang belum lama dibawa pulang dari lokasi pengungsian sebelumnya. Pada 29 November 2020 lalu, Gunung Ile Lewotolok meletus sehingga warga desa tersebut dan desa-desa lainnya mengungsi ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Kini, mereka harus kembali mengungsi.
Kampung kami ini tidak ada jalur kali atau sungai, karena itu saat hujan kami merasa aman-aman saja. (Maksimus Payong)
Sekitar pukul 21.00 Wita, air sungai mulai meluap, membanjiri perkampungan. Warga bergegas bergeser menuju desa tetangga yang dianggap aman. Sekitar pukul 01.30, keesokan harinya, banjir bandang datang membawa material menyapu sebagian permukiman. Material yang dibawa banjir bandang itu kebanyakan batu, lumpur, pasir, dan batang kayu.
Batu dengan diameter hampir lebih dari dua meter serta pasir itu hasil muntahan gunung api yang selama ini menumpuk di punggung gunung. Ada juga potongan kayu serta longsoran tanah yang terseret dari tebing gunung. Sebanyak 1.175 jiwa penduduk di desa itu, semuanya selamat. Sebanyak 21 unit rumah rusak.
Selama satu pekan terakhir, kampung tersebut kembali ditinggal pergi hampir semua penduduknya. Hanya beberapa pemuda yang ditugaskan menjaga kampung. "Saat masyarakat mulai menata kehidupan baru setelah erupsi gunung api, kini datang lagi banjir bandang," kata Benediktus. Warga baru pulang dari pengungsian pada Januari lalu.
Kisah serupa juga dialami warga Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape. Kampung itu di barat Gunung Ile Lewotolok. Banjir bandang yang mengalir dari gunung terbagi menjadi tiga cabang, kemudian menerjang permukiman seluas 20,75 hektar. Material banjir di Amakaka sama dengan material banjir di Jontona.
Sebanyak 29 orang terseret banjir, dan hingga Selasa (13/4/2021), sebanyak 19 orang ditemukan meninggal serta selebihnya masih dalam pencarian. Sebanyak lima ekskavator masih melakukan pencarian. "Material batu besar sangat menyulitkan," kata Aswandi, Komandan Operasi dari Kantor SAR Makassar, Sulawesi Selatan, yang ditugaskan di Lembata dalam pencarian korban.
Selama ini, warga setempat hanya disiapkan menghadapi gempa, tsunami, dan letusan gunung api. Hanya tiga jenis gempa itu yang dianggap sangat mungkin terjadi.
Maksimus Payong (43), warga Amakaka menuturkan, warga desa itu juga baru kembali dari lokasi pengungsian pada Januari lalu akibat erupsi Gunung Ile Lewotolok. Mereka tidak pernah menduga akan terjadi banjir bandang. "Kampung kami ini tidak ada jalur kali atau sungai, karena itu saat hujan kami merasa aman-aman saja," ucapnya.
Masyarakat dan pemerintah sama-sama kalang kabut. Masyarakat dengan peralatan seadanya berusaha mencari korban yang tertimbun material banjir. Pemerintah daerah pun terkesan gagap. Ekskavator untuk menyingkarkan material batu baru mulai beroperasi pada Selasa. Padahal, ekskavator bisa digerakkan dari Lewoleba, ibu kota kabupaten, hanya sekitar 22 kilometer dari Amakaka.
Cerita mengenai banjir bandang yang pernah menerjang permukiman itu memang dituturkan sejak turun temurun. Namun, oleh generasi saat ini dianggap hanyalah dongeng fiktif. Mereka pun baru menyadari setelah banjir bandang. Para tetua menyatakan, cerita tersebut benar adanya, terjadi ratusan tahun silam.
Irenius Ola dari Forum Pengurangan Resiko Bencana Kabupaten Lembata yang ditemui di Desa Amakaka menuturkan, di punggung Gunung Ile Lewotolok yang berada bagian hulu Amakaka, sempat tercipta ceruk. Ceruk dibentuk longsoran akibat hujan deras beberapa hari pada akhir Maret 2021. Bekas longsoran terpantau jelas, sekitar 500 meter dari permukiman.
Selanjutnya, ceruk itu berisi air hujan yang terus mengguyur dengan intensitas lebat hingga sangat lebat. Volume air bertambah membentuk danau. Ceruk itu pun tak mampu menahan volume air sehingga jebol, lalu menyeret material batu, pasir, dan pohon menuju dataran lebih rendah. Aliran air bersama material itu sekali jalan dan langsung kering.
Irenius yang bertanggungjawab terhadap mitigasi bencana di Desa Amakaka mengaku kaget dengan peristiwa itu. Selama ini, warga setempat hanya disiapkan menghadapi gempa, tsunami, dan letusan gunung api. Mereka sering kali menggelar simulasi. Hanya tiga jenis gempa itu yang dianggap sangat mungkin terjadi.
Banjir bandang kali ini tak lepas dari keberadaan Siklon Tropis Seroja di perairan selatan NTT. Dampaknya, hujan lebat dan angin kencang di sejumlah wilayah, termasuk Kota Kupang dan Pulau Adonara.
Pada tahun 2017 saat gempa melanda daerah itu, tak ada satupun korban jiwa. Pun ketika erupsi Gunung Ile Lewotolok pada 2020 lalu, tak ada warga yang meninggal. Oleh pemerintah kabupaten, desa berpenduduk 1.573 jiwa itu pun dianggap berhasil dalam melaksanakan mitigas bencana. "Banjir bandang tidak diperhitungkan sama sekali," kata Irenius.
Rencana relokasi
Desa Amakaka kini porak-poranda. Ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke desa itu pada 9 April 2021, Presiden menyatakan, tempat itu tidak layak lagi dijadikan permukiman penduduk. Ia meminta agar warga direlokasi dari sana. Pemerintah daerah diperintahkan segera menyiapkan lahan untuk permukiman baru secepatnya.
Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday mengatakan, banjir bandang di Lembata menerjang 20 desa yang di dalamnya terdapat 8.826 jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 10 desa yang berada di bawah Gunung Ile Lewotolok. Akibat bencana itu, 42 orang meninggal dan 21 orang masih dalam pencarian.
Thomas setuju, relokasi wajib dilakukan. "Banjir bandang ini mempunyai siklus tertentu mungkin tahunan, belasan tahun, atau puluhan tahun. Pada waktunya akan datang juga. Mungkin kita tidak, tetapi anak cucu kita. Apalagi Presiden Jokowi sudah menyanggupi seluruh anggaran relokasi menjadi tanggungan negara," kata dia.
Namun, menurutnya, rencana relokasi akan menuai berbagai tantangan. Warga setempat masih memegang teguh adat-istiadat dan budaya akan identitas diri dan tanah kelahiran mereka. Sebagai masyarakat adat, mereka tidak akan mudah dibujuk untuk pergi dari tanah kelahiran mereka. Mereka lebih memilih bertahan.
Oleh karena itu, pendekatan secara budaya dipadukan dengan edukasi berbasis mitigasi, harus terus dilakukan secara tuntas. Bahwa, kini mereka tinggal di lokasi bencana di atas bencana.