“Hutan Jagung” yang Semakin Mengancam Bima
Alih fungsi hutan menjadi ladang jagung menjadi salah satu pemicu banjir bandang di Kabupaten Bima, NTB. Jika tidak segera ditangani, ancaman banjir bandang serupa tetap mengintai kabupaten itu.
Kawasan hutan di pegunungan sisi barat Bendungan Pelaparado, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, tampak gundul dan beralih fungsi menjadi lahan jagung. Kondisi itu diduga menjadi pemicu bendungan tak mampu menahan debit air dan meluap mengakibatkan banjir bandang saat hujan turun dengan intensitas tinggi, Jumat (2/4/2021).
Setiap kali mendengar suara monyet, Siti Hawa (38) bergegas turun dari balai-balai beratap terpal yang ditempatinya. Ia kemudian mendongak ke atas, ke ladang jagung yang berada di perbukitan.
Posisi balai-balai dengan ladang di perbukitan itu terpisah oleh jalan besar. Siti harus menyeberang, kemudian mendaki melewati jalan setapak. Setelah berhasil mengusir monyet dari ladang jagungnya, ia kembali ke balai-balai itu.
”Beberapa bulan lagi panen. Kalau tidak dijaga, jagungnya bisa habis dimakan monyet,” kata Siti.
Monyet yang menyerang ladang jagung tidak datang dari perbukitan itu. Menurut Siti, mereka datang dari dataran rendah di sekitar kawasan Bendungan Pelaparado, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
”Sudah tidak ada lagi di atas (bukit). Banyak dari bawah (bendungan),” kata Siti.
Berubahnya habitat monyet dari seharusnya di perbukitan ke kawasan di sekitar tidak bisa dilepaskan dari kondisi di kawasan tersebut. Hutan di perbukitan yang berada sekitar 26 kilometer barat daya Woha, ibu kota Kabupaten Bima, itu sejak lebih dari dua dekade telah beralih fungsi menjadi ”hutan jagung”.
Baca juga : Berharap Banjir Bandang Tak Terulang Lagi di Sempadan Sungai Leu
Kawasan perbukitan selingkar Bendungan Pelaparado mulai dari sisi selatan, timur, dan sebagian di sisi barat daya, telah menjadi hamparan ladang jagung. Di sisi selatan bendungan, tiga bukit besar juga telah gundul dan hanya ladang jagung yang terlihat.
Di sisi timur, jumlahnya lebih banyak lagi. Adapun di sisi barat daya masih banyak tutupan hutan. Namun, sebagian sudah mulai dibuka untuk ladang.
”Kalau mau menanam jagung, harus membuka hutan. Pohon-pohonnya ditebang dulu,” kata Mahmud (45), salah satu pemilik ladang jagung.
Di bukit-bukit yang sudah jadi ladang jagung, tutupan hutan hanya berada pada area yang sulit dijangkau atau sangat curam. Itu pun sudah terancam kritis karena mulai longsor. Di area ladang-ladang jagung hanya ada beberapa pohon peneduh.
Baca juga: "Kalembo Ade" Saudaraku di Bima!
Jika dilihat dari citra satelit, alih fungsi hutan menjadi ladang jagung akan semakin terlihat, bahkan lebih luas. Tidak hanya di area sekitar bendungan, tetapi juga berlanjut ke selatan hingga perbukitan kawasan pesisir.
Selain di kawasan Pelaparado, sekitar 52 kilometer barat laut bendungan itu, tepatnya di wilayah Madapangga dan sekitarnya, alih fungsi kawasan hutan menjadi lahan jagung juga berlangsung.
Kalau mau menanam jagung, harus membuka hutan. Pohon-pohonnya ditebang dulu.(Mahmud)
Serupa dengan di Pelaparado, bukit-bukit menjadi hijau oleh ladang jagung, mulai dari kaki hingga puncak bukit. Jika berkendara di Jalan Raya Lintas Sumbawa-Bima, kawasan hutan di perbukitan di kiri kanan jalan telah menjadi ”hutan jagung”.
Banjir bandang
Alih fungsi kawasan hutan menjadi ladang jagung di Bima telah berlangsung lama. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB Madani, penanaman jagung sudah dimulai sejak tahun 1998. Kemudian semakin masif hingga saat ini.
Perbukitan di sekitar Pelaparado sebelumnya adalah hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon kemiri. Tetapi, seiring makin populernya jagung, hutan itu habis.
Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, hingga 2016 total lahan kritis di NTB mencapai 578.645,97 hektar. Baik yang berada di dalam maupun luar kawasan hutan.
Dari total lahan kritis, sebanyak 141.375,54 hektar berada di dalam kawasan hutan. Dari jumlah itu, sebanyak 57.599,56 hektar atau 40,74 persen berada di Kabupaten Bima.
Kondisi itu, menurut Madani, menjadi salah satu penyebab banjir bandang di Kabupaten Bima yang berkali-kali terjadi. Terbesar dan terparah terjadi pada Jumat (2/4/2021) lalu yang melanda enam kecamatan, yakni Madapangga, Bolo, Woha, Monta, Palibelo, dan Belo.
Banjir bandang yang melanda wilayah, antara lain, Woha dan Monta, disebabkan meluapnya Bendungan Pelaparado yang tak mampu menahan debit air setelah hujan intensitas tinggi mengguyur kawasan tersebut.
Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, hingga 2016 total lahan kritis di NTB mencapai 578.645,97 hektar. Dari total lahan kritis, sebanyak 141.375,54 hektar berada di dalam kawasan hutan. Dari jumlah itu, sebanyak 57.599,56 hektar atau 40,74 persen berada di Kabupaten Bima.
Begitu juga daerah lain. Hilangnya kawasan resapan air membuat air hujan tidak cukup tertampung di bagian hulu sehingga banjir bandang datang menghantam wilayah hilir.
Akibatnya, dua orang meninggal dunia. Sebanyak 10.185 keluarga atau 29.182 jiwa terdampak. Selain itu, banjir bandang juga mengakibatkan 5.333 rumah rusak, terdiri dari 380 rumah rusak berat, 2.176 rumah rusak sedang, dan 2.777 rumah rusak ringan.
Kerusakan juga terjadi pada 49 fasilitas pendidikan, 29 fasilitas kesehatan, 25 fasilitas peribadatan, 13 fasilitas kebinamargaan, serta 350 hektar lahan pertanian dan 1.158 hektar tambak. sejumlah irigasi dan saluran air minum juga rusak.
Lihat juga: Solidaritas Bersama Untuk Bima
Kondisi salah satu ruangan yang rusak berat akibat banjir bandang di SDN Inpres Tangga 1 Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, seperti terlihat Sabtu (10/4/2021).Banjir bandang itu diyakini akan semakin sering terjadi dan cakupannya semakin luas. Terutama jika tidak ada penanganan serius terhadap alih fungsi lahan yang terjadi.
”Kami pernah turun. Memaksa warga yang berladang jagung untuk keluar. Tetapi susah,” kata Kepala Desa Leu, Kecamatan Woha, Muhammad Taufik. Leu merupakan salah satu desa yang terdampak parah saat banjir bandang kemarin.
Menurut Taufik, jika sekadar komitmen, tapi tidak ada langkah nyata, banjir bandang akan terus terjadi bahkan semakin parah.
Madani juga mengakui tidak mudah mencegah alih fungsi hutan. Apalagi, jika tidak disertai kesadaran masyarakat.
”Kami juga terbatas secara personel. Di Kesatuan Pengelolaan Hutan di Parado, misalnya, hanya ada delapan orang. Mereka harus berhadapan dengan ribuan orang sehingga sering terjadi konflik,” kata Madani.
Baca juga: Sebagian Warga Terdampak Banjir Bandang Bima Mulai Kembali Beraktivitas
Ia menambahkan, Gubernur NTB juga mengeluarkan moratorium penebangan dan pengangkutan kayu keluar Sumbawa dan NTB. Patroli rutin dilakukan di sebelas pos bersama TNI, Polri, serta pihak kecamatan dan desa.
Selain itu, Pemerintah Provinsi NTB juga menghapus APBD untuk bantuan jagung, termasuk di dalamnya benih. Akan tetapi, bantuan justru datang dari APBN untuk program swasembada jagung.
”Sekarang kami juga mulai proses rehabilitasi. Bekerja sama dengan TNI. Jadi, warga yang menanam jagung harus juga menanam pohon lain. Kalau tidak tumbuh, disuruh keluar dari ladang itu,” kata Madani.
Badan sungai di Desa Pela, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Jumat (9/4/2021) terlihat semakin lebar pascabanjir bandang yang melanda kawasan itu pada Jumat (2/4/2021) lalu. Banjir mengakibatkan dua warga meninggal dunia dan ribuan rumah, ratusan lahan pertanian, dan seribu lebih tambah, serta puluhan fasilitas rusak.Orientasi masyarakat dan lingkungan
Dalam Rapat Koordinasi Penanganan Bencana Banjir di Provinsi NTB yang dilakukan secara virtual, Sabtu (10/4/2021) lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, penanganan bencana banjir akibat alih fungsi lahan di NTB memerlukan kebijakan yang tepat dan strategis.
Doni mengatakan, meminimalkan potensi banjir bandang serta mengatasi permasalahan hutan gundul yang dihadapi NTB, terutama di Kabupaten Bima dan Dompu, bisa dengan pola penanaman kembali pohon-pohon.
Walakin, pohon yang dipilih juga harus dengan nilai ekonomi sekaligus berfungsi sebagai penyerap air hujan yang kuat. Misalnya, kopi, alpukat, kelengkeng, dan jenis tanaman lain yang bisa dengan sistem tumpang sari dengan tanaman jagung.
”Yang saya saksikan adalah proses alih fungsi lahan dari hutan ke jagung. Secara ekonomi untung, tapi dampaknya menimbulkan bencana berkepanjangan. Silakan bertanam, bertani, dan berkebun, tapi harus ada dua aspek yang seimbang. Alam dijaga, alam juga akan jaga kita. Kita merusak alam, alam rusak kita,” kata Doni.
Menurut Doni, setiap program yang berhubungan dengan ekosistem harus melibatkan rakyat. Tidak boleh berorientasi proyek karena akan gagal. Harus berorientasi masyarakat dan kesadaran untuk memperbaiki lingkungan.
Baca juga: Kota Tepian Air yang Kelebihan Air
Banjir bandang merendam buku-buku dan data sekolah di SDN Rabakodo, Kecamatan Woha, Jumat (9/4/2021).Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengatakan, tidak dimungkiri jika kesejahteraan dari menanam jagung banyak masyarakat yang terlena. Akibatnya, tanpa disadari banyak hutan-hutan habis terbabat.
”Musibah ini menyadarkan kita bahwa kegiatan penghijauan adalah kebutuhan untuk sekarang dan untuk masa yang akan datang,” kata Zulkieflimansyah.
Baca juga: Merawat Solidaritas Rakyat