Di Tengah Pandemi, Konsolidasikan Semua Aspek Pemindahan Ibu Kota
Tak hanya payung hukum, pemerintah diminta mempertimbangkan berbagai aspek terkait rencana pemindahan ibu kota negara di tengah ekonomi yang belum pulih akibat pandemi Covid-19.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Rencana pemerintah memindahkan ibu kota sesuai target di tengah pandemi Covid-19 masih memicu perdebatan publik. Pemerintah diminta lebih banyak mendengar segala hal terkait rencana besar tersebut agar semua aspek terkonsolidasi dengan baik.
Hal itu disampaikan mantan pimpinan Komisi II DPR 2004-2009, Sayuti Asyathri, dalam diskusi daring yang digelar Narasi Institute bertajuk ”Pemindahan Ibu Kota, Pemulihan Ekonomi, dan Penanganan Pandemi Covid-19: Mana yang Lebih Prioritas?”, Jumat (16/4/2021). Diskusi tersebut dihadiri oleh ekonom, mantan menteri, dan anggota DPR.
Sayuti menanggapi pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa yang berharap peletakan batu pertama dalam proyek pemindahan ibu kota negara bisa dilakukan tahun ini. Pernyataan itu diutarakan meski Rancangan Undang-Undang Pemindahan Ibu Kota Negara belum selesai dibahas DPR.
Dalam kunjungannya ke Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin (12/4/2021), Suharso menyatakan, jika semua kondisi persyaratan sudah tersedia, peletakan batu pertama bisa dilakukan bulan Ramadhan tahun ini. Sayuti menilai, keputusan politik harus terkonsolidasi dengan baik. Jika keputusan itu diharapkan dapat menumbuhkan perekonomian nasional, semua prasyarat pemindahan ibu kota perlu dilaksanakan terlebih dahulu.
”Pemindahan ibu kota juga perlu disetujui MPR. Di samping legal, diperlukan juga legitimasi. Investasi (yang akan masuk ke proyek ibu kota negara) harus juga didasarkan pada prinsip institutional order, harus dengan tertib diatur. Tak mengabaikan undang-undang,” ujar Sayuti.
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda ini, Sayuti menilai, rencana pemindahan ibu kota negara berada di tengah kondisi keuangan negara yang terengah-engah. Untuk itu, ia berharap pemerintah mau mendengar masukan dalam segala hal, terutama terkait hal yang substansi dari rencana besar pemindahan ibu kota.
Seperti diberitakan sebelumnya, dari total Rp 466 triliun, porsi pembiayaan pemindahan ibu kota negara terbagi menjadi tiga, yakni APBN 19,2 persen, kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) 54,4 persen, dan swasta 26,4 persen. Anggota Komisi VI DPR, Herman Khaeron, mengatakan, pemerintah juga perlu terbuka terkait mekanisme swasta dalam pembangunan ibu kota negara.
Menurut dia, masyarakat perlu tahu terkait hal-hal mendetail rencana besar tersebut. Kawasan hutan tanaman industri PT ITCI Hutani Manunggal, yang menjadi calon titik nol pembangunan, konturnya berbukit dan tidak datar. Seperti diketahui, wilayah Kaltim juga kaya akan batubara.
Herman mempertanyakan bagaimana jika ditemukan batubara saat penggalian untuk kepentingan pembangunan. ”Siapa yang diuntungkan? Apakah menjadi kontribusi terhadap negara?” kata Herman.
Pemerintah juga berharap proyek pemindahan ibu kota berdampak positif terhadap peluang kerja. Diperkirakan akan terdapat 500.000-4,8 juta lapangan kerja dalam pembangunan ibu kota kelak. Namun, menurut Herman, tidak dijelaskan berapa besar peluang kerja temporer dan yang menjadi lapangan kerja produktif untuk masa depan rakyat.
Aspek historis
Selain persoalan pemerataan ekonomi, ekonom senior Emil Salim berpendapat, pemindahan ibu kota tak bisa lepas dari aspek historis. Gedung pemerintahan di DKI Jakarta, termasuk juga Gedung DPR, memiliki nilai sejarah penting nasional. Untuk itu, penggunaan bangunan bersejarah itu perlu juga dirinci dengan baik jika ibu kota dipindah.
Emil khawatir, karakter historis bangunan bersejarah itu akan habis dan berubah menjadi gedung komersial. Ia mengusulkan, ada modifikasi konsep pemindahan ibu kota negara sehingga tidak semua pemerintahan pindah ke Kalimantan Timur.
”Ibu kota negara adalah tempat presiden, wakil presiden, dan sekretaris negara. Sementara departemen (kementerian) lain ada di Jakarta sebagai ibu kota proklamasi,” usul Emil.
Ibu kota negara adalah tempat presiden, wakil presiden, dan sekretaris negara. Sementara departemen (kementerian) lain ada di Jakarta sebagai ibu kota proklamasi.
Kepala Bappenas 2014-2015 Andrinof A Chaniago menilai, pemindahan ibu kota negara merupakan ide strategis berbangsa untuk jangka panjang Indonesia. Untuk itu, di masa pandemi Covid-19 yang sangat berdampak pada ekonomi nasional, pemerintah bisa membahas komprehensif, apakah proyek besar ini batal atau dijadwal ulang.
Jika dilihat dari daya dukung Pulau Jawa saat ini, Andrinof menilai memang perlu strategi khusus agar daya dukung di pulau terpadat ini bisa dipertahankan. Ia mengungkapkan, Pulau Jawa yang luasnya hanya 7 persen dari total daratan Indonesia berpenduduk 60 persen dari total penduduk nasional.
Tahun 2060 diperkirakan penduduk di Pulau Jawa bertambah dua kali lipat atau sekitar 300 juta penduduk. ”Konsekuensinya banyak. Lahan pertanian yang subur tergusur sekitar 40.000 hektar per tahun. Artinya, dari strategi ketahanan pangan, Jawa harus diselamatkan dari tekanan penduduk yang terus bertambah dan meningkat,” katanya.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, pemulihan ekonomi, kesehatan, dan rencana pemindahan ibu kota di masa pandemi Covid-19 sangat mungkin dilakukan dengan kolaborasi kebijakan pemerintah. Terkait biaya pemindahan ibu kota negara, Yustinus mengatakan, pemerintah belum ada diskusi lanjutan.
Terakhir, sidang kabinet dilakukan pada 25 Februari 2020. Ia mengatakan, saat ini pemerintah terus melakukan pendalaman dan kajian. Adapun skema pembiayaan KPBU diharapkan meringankan APBN dalam pemindahan ibu kota negara. Sebab, dalam skema tersebut akan banyak kontribusi dari investor.
”Menurut saya pribadi, kesemuanya (bisa dilakukan). Sekarang kita menghadapi Covid-19 yang berdampak kepada aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi. Namun, di saat yang bersamaan kita juga memikirkan pemindahan ibu kota negara dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik juga dimatangkan,” katanya.
M Rizal Taufikurahman dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menuturkan, proyek pemindahan ibu kota negara diperkirakan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, dampaknya sangat kecil sekali dalam jangka pendek, yakni 0,02 persen.
Untuk itu, ia mempertanyakan apakah pemindahan ibu kota merupakan prioritas dan penting, apalagi di tengah pandemi Covid-19.
”Kenapa besaran biaya pemindahan ibu kota negara tidak didorong ke industri manufaktur? Itu bisa memberikan kontribusi untuk memecah permasalahan pertumbuhan industri kita yang di bawah pertumbuhan ekonomi,” kata Rizal.