Kesangsian Wisatawan terhadap Penerapan Protokol Kesehatan
Pandemi belum berakhir, tetapi pemerintah dan para pegiat pariwisata ingin dunia pelesir Sulut tetap hidup. Protokol kesehatan adalah jalan tengahnya. Namun, pelancong tetap sangsi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Wisatawan berenang bersama beragam ikan di perairan Taman Nasional Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (27/3/2021).
Brigita (22) memandangi kacamata dan pipa snorkel merah muda itu penuh ragu. Ia tak yakin perlengkapan selam permukaan yang disewa dari sebuah kios berbentuk gubuk di Pulau Bunaken itu sudah disterilkan, setelah dipakai penyewa sebelumnya. Sayangnya, ia memang tidak punya pilihan.
Si bapak pengelola kios memilih kacamata dan pipa itu secara acak, lalu langsung menyodorkannya kepada Brigita. Hal itu di luar ekspektasinya. Di masa pandemi Covid-19, mahasiswa profesi kedokteran gigi itu berharap petugas persewaan serupa mendisinfeksi peralatannya di depan pelanggan demi memberi rasa aman.
Brigita sendiri tak ingin terkena Covid-19 cuma gara-gara pelesir. Ia pun berinisiatif, ”Disemprot hand sanitizerajakali, ya?” katanya seraya mengeluarkan botol pembersih tangan, lalu menyemprotkan isinya ke ujung yang akan ditempatkan di mulut.
Brigita salah satu dari 15 peserta tamasya terbuka (open trip) dengan destinasi tiga pulau di Teluk Manado, yaitu Pulau Nain, Siladen, dan Bunaken, akhir Maret 2021. Paket wisata berlabel New Normal seharga Rp 200.000 per orang itu diprakarsai agen perjalanan yang berbasis di Manado, Sulawesi Utara.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Pemandu wisata mengukur suhu tubuh dan memberikan cairan pembersih tangan kepada peserta tamasya terbuka dengan destinasi Pulau Nain, Siladen, dan Bunaken di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (27/3/2021).
Biaya perjalanan itu belum termasuk sewa alat snorkeling seharga Rp 150.000, yang mencakup kacamata dan pipa snorkel, baju selam (wetsuit), serta sepatu sirip (fins). Peralatan itu disewakan secara sepaket dan biaya tidak bisa ditawar. Para penyewa yang berkelompok juga ditemani seorang pendamping selam (dive guide).
Semua kembali kepada penyewa: ambil semua atau merugi. Pendamping dari agen perjalanan itu hanya menunjuk satu kios persewaan sehingga peserta open trip tak memiliki kebebasan memilih.
Rifky Eka (21), peserta lain, menerima peralatan itu dengan rasa sangsi. Ia pun mengambil langkah preventif terhadap pipa snorkel-nya, seperti yang dilakukan Brigita. Bahkan, ia mencelupkannya ke dalam air laut sebelum mengenakannya. Pada saat yang sama, ia pasrah saja mengenakan wetsuit yang masih lembab ketika diterima dari petugas kios.
”Saya parno (paranoid) sih sebenernya. Jadi, saya ambil langkah pencegahan sendiri. Setidaknya (pipa snorkel) itu terbilas air laut, lah, sebelum masuk ke mulut,” kata analis lingkungan asal Bogor, Jawa Barat, itu.
Terlepas dari itu, Rifky masih boleh bernapas lega karena tamasya itu hanya diikuti 15 orang. Jadi, perahu motor yang mengantarkan mereka dari pantai Kawasan Megamas menuju ketiga pulau itu lengang karena terisi hanya setengah dari kapasitasnya.
Pemilik agen perjalanan itu mengatakan, satu perahu bisa diisi 25-30 orang setiap perjalanan. Ketika ditanya via pesan teks, apakah jumlah tersebut adalah hasil pertimbangan jaga jarak fisik sesuai protokol kesehatan, alih-alih meyakinkan, dia malah menjawab, ”Maaf, kalau ragu bisa private trip (perjalanan pribadi) aja.”
Ia kemudian mengirimkan daftar biaya paket private trip. Perjalanan satu atau dua orang dibanderol Rp 3,25 juta. Setiap ketambahan satu sampai dua orang, biaya naik Rp 250.000. Itu sudah mencakup antara lain perahu, makan siang, asuransi, dan dokumentasi foto tanpa batas. ”Pakai perahu sendiri lebih aman,” katanya.
Kendati demikian, biaya Rp 200.000 per orang di paket open trip sudah mencakup pengukuran suhu tubuh peserta dan penyediaan hand sanitizer bagi peserta. Peserta diberi cairan pembersih tangan setidaknya dua kali, yaitu sebelum naik ke perahu dan sebelum masuk ke Pulau Bunaken.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Peserta tamasya terbuka turun dari perahu menuju pesisir Pulau Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu (27/3/2021).
Bagi Rifky, fasilitas penunjang protokol kesehatan itu sudah cukup. Namun, menurut dia, seharusnya pendamping wisata lebih tegas dalam mengatur jarak fisik antarpeserta. Apalagi, peserta tidak diwajibkan menunjukkan hasil tes cepat antigen sebagai bukti bebas Covid-19.
Rifky dan kawannya pun menjaga jarak dengan duduk di haluan perahu sepanjang perjalanan. ”Seharusnya protokol kesehatan bisa ditingkatkan lagi, terutama jaga jaraknya. Kalau bisa, peserta dikasih selembar masker gratis buat jaga-jaga,” katanya.
Sektor unggulan
Akhirnya, Brigita, Rifky, dan enam peserta lain menceburkan diri juga ke perairan Bunaken sore itu. Terumbu karang di titik snorkeling dan selam yang dituju sudah cukup terkikis oleh jangkar perahu-perahu yang membawa pelancong ke sana. Maklum, selama 2015-2019, Bunaken dikunjungi 129.968 wisatawan Nusantara dan 53.543 wisatawan mancanegara.
Jumlah wisman bahkan lebih banyak daripada wisnus selama 2019-2020, yaitu 41.392 orang berbanding 22.400 orang. Namun, pesona bawah laut Bunaken tetap hidup. Beragam jenis ikan menyambut dan menari bagi para penyelam, seperti ikan kupu-kupu double-saddle (Chaetodon ulietensis), sixbar wrasse (Thalassoma hardwicke), dan damsel (Pomacentrus sp.).
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Suasana bawah laut Taman Nasional Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (27/3/2021).
Selama 2015-2019, total pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang diterima lewat Bunaken mencapai Rp 7,8 miliar. Rata-rata pengeluaran wisman mencapai Rp 30 juta-Rp 40 juta dalam sekali kunjungan, sedangkan wisnus Rp 3 juta-Rp 8 juta. Karena itu, Pemerintah Provinsi Sulut menetapkan pariwisata sebagai sektor unggulan, termasuk wisata selam.
Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw mengatakan akan menggenjot sektor penerbangan saat pandemi berakhir. Bahkan, ia mengakui untuk sementara, Sulut tetap menerima penerbangan charter dari luar negeri. Tenaga kerja asing dari China transit di Manado sebelum melanjutkan penerbangan ke Sulawesi Tengah atau Tenggara.
Pemerintah juga mempersiapkan diri dengan kampanye serta sertifikasi standar kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan (CHSE), termasuk di bidang usaha wisata selam. Di perahu, misalnya, pengusaha diwajibkan menerapkan jaga jarak fisik minimal 1 meter serta mendisinfeksi titik-titik yang kerap disentuh orang.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyosialisasikan buku panduan pelaksanaan kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan usaha wisata selam di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (2/10/2020).
Pengusaha juga wajib menyimpan peralatan selam terpisah dari jangkauan pengunjung. Alat-alat selam juga wajib disemprot disinfektan secara rutin, bahkan tiga kali sehari, sesuai standar CHSE yang ditetapkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Para pekerja, termasuk pemandu wisata selam, juga wajib menerapkan protokol kesehatan.
Kendati demikian, saat ini belum diketahui jelas berapa unit usaha selam di Sulut yang telah bersertifikat CHSE. Kepala Dinas Pariwisata Sulut Henry Kaitjily, awal Maret lalu, mengatakan, sertifikat CHSE penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam berwisata.
Pandemi belum berakhir, tetapi pemerintah dan para pegiat pariwisata ingin dunia pelesir Sulut tetap hidup. Protokol kesehatan adalah jalan tengahnya. Namun, pelancong, seperti Brigita dan Rifky, tetap sangsi. Di lapangan, frase new normal dan ”protokol kesehatan” kerap hanya jadi formalitas dan gimik pasar.