Pengungsi Bencana di Adonara Bertumpu kepada Sukarelawan
Korban bencana di Pulau Adonara yang kini tinggal di tempat pengungsian bertumpu kepada para sukarelawan. Mereka memerlukan dialog dengan pemerintah untuk memperjelas nasib mereka.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Penanganan pengungsi korban banjir bandang dan longsor di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, bertumpu kepada para sukarelawan yang setiap hari mendampingi mereka. Sebagian dari pengungsi kini tinggal di fasilitas umum, sementara banyak juga yang menumpang di rumah keluarga dan kerabat.
Pantauan Kompas di gedung sekolah Madrasah Aliyah Negeri Waiwerang pada Kamis (15/4/2021), sebanyak 65 keluarga dengan 226 jiwa mengungsi di tempat itu. Para pengungsi merupakan warga Kelurahan Waiwerang dan Desa Waiburak yang menjadi korban banjir bandang pada 4 April lalu. Tempat itu merupakan lokasi pengungsian terbesar di Adonara.
Ursula Uba (50), salah seorang pengungsi, menuturkan, kebutuhan makanan mereka tercukupi. Sejak hari pertama mengungsi, mereka dilayani oleh para sukarelawan yang tak lain adalah pemuda setempat. Untuk kebutuhan pakaian, mereka mendapat cukup bantuan. Rumah Ursula di Kelurahan Waiwerang hanyut disapu banjir. Ia lari tanpa membawa apa-apa.
Selama di pengungsian, mereka mendapat cukup bantuan makanan dari berbagai pihak. Makanan itu dimasak oleh para sukarelawan dibantu warga setempat. Beberapa ibu yang mengungsi juga ikut membantu memasak. Bahkan, beberapa sukarelawan yang membantu memasak adalah umat Islam yang kini sedang menjalani ibadah puasa.
”Berutung ada sukarelawan yang masih membantu kami. Di lokasi itu Pa Bupati Flores Timur datang satu kali. Pa Camat Adonara Timur juga satu kali, padahal tempat ini dekat dengan kantor camat,” kata Ursula. Jarak kantor camat dengan tempat itu kurang dari 1 kilometer.
Ursula kini merasa bingung dengan masa depan mereka. Sejauh ini belum ada penjelasan dari pemerintah mengenai nasib mereka selanjutnya. Ia juga tidak tahu batas tanggap darurat. ”Ini, kan, bangunan sekolah. Jadi, kami tidak bisa berlama-lama di sini,” katanya.
Sejauh ini belum ada penjelasan dari pemerintah mengenai nasib mereka selanjutnya.
Sementara itu, sekitar 18 kilometer arah barat Waiwerang, yakni Desa Oyangbarang, Kecamatan Wotan Ulumado, tidak ada tenda pengungsian yang dibangun oleh badan penanggulangan bencana daerah. Para korban bencana yang berjumlah 119 orang memilih menumpang di rumah keluarga yang ada di kampung tersebut.
Di desa itu telah dibangun dapur umum yang dikelola sukarelawan setempat. Mereka memasak makanan, kemudian mengantarnya dari rumah ke rumah, tempat korban menumpang. Ada juga warga dari desa tetangga yang membantu memasak. ”Semua di sini juga punya hubungan keluarga sehingga tidak ada masalah dengan interaksi,” kata Yermin Tukan (33), sukarelawan.
Seperti Waiwerang, banjir bandang di desa itu juga terjadi pada 4 April 2021 lalu. Material batu dan kayu yang terbawa banjir menghantam puluhan rumah. Sebanyak tiga orang terseret, dua ditemukan meninggal dan satu lagi masih hilang. Pencarian korban dilakukan secara manual.
Sementara itu, Wakil Bupati Flores Timur Agustinus Payong Boli lewat sambungan telepon mengatakan, masa tanggap darurat untuk bencana di daerah itu akan berakhir besok, 16 April 2021. Belum ada keputusan perpanjangan masa tanggap darurat. ”Nanti masih bicarakan dulu dengan Pa Bupati (Anton G Hadjon),” ucapnya.
Agus mengatakan, saat ini banyak desa yang terisolasi. Pihaknya masih fokus untuk mendorong pembukaan akses jalan yang terputus, seperti di Kecamatan Wotan Ulumado, Adonara Timur, Adonara Tengah, dan Adonara Barat.