Nasib Nelayan dan Reklamasi Pantai Manado, Sama Tidak Jelasnya
Belum ada yang tahu kapan reklamasi di Boulevard II, Kota Manado, Sulawesi Utara, akan terlaksana, termasuk pemerintah. Yang pasti, para nelayan punya suara.

Jalan Boulevard II di utara Jembatan Soekarno, Manado, Sulawesi Utara, adalah tahap awal pembangunan proyek reklamasi Boulevard II. Hingga Kamis (26/9/2019), jalan sepanjang 2 kilometer itu belum selesai dibangun.
Pengalaman mengajarkan Ferdy Tuilan (47), tidak ada gunanya melawan. Itu terbukti ketika pemerintah membangun Jalan Boulevard II, Manado, Sulawesi Utara. Nelayan tradisional seperti dirinya, yang lahir dan tumbuh di tepi laut, makan dan hidup dari laut, akhirnya tunduk di kaki pembangunan infrastruktur atas nama pertumbuhan ekonomi.
”Yang namanya pembangunan itu, kan, tidak bisa dicegah. Sudah jadi sesuatu yang pasti seiring kemajuan zaman,” kata Ferdy, akhir Maret 2021, di tepi pantai Teluk Manado. Ia tak melaut karena angin sedang kencang dan ombak meninggi.
Para nelayan pun hanya duduk-duduk di atas beton pembatas antara pantai dan Jalan Boulevard II di Kelurahan Sindulang 2, Manado. Di beton pembatas itu pula perahu katinting mereka tersandar berjajar, ujung yang satu di beton, sedangkan yang lain di pasir pantai.
Sejak jalan itu dibangun, daerah tangkapan ikan semakin jauh. (Ferdy)
Ferdy tidak mengerti kenapa pemerintah tak membangun semacam jetty atau tambatan bagi nelayan seiring pembangunan Jalan Boulevard II. Padahal, komunitas nelayan di kelurahan itu lebih besar dibandingkan empat lainnya.

Seorang nelayan duduk di timbulan pasir di pantai Teluk Manado, Sulawesi Utara, yang terletak di Kelurahan Sindulang 2, Jumat (26/3/2021). Wilayah itu sedikit mendangkal akibat proyek reklamasi untuk membangun Boulevard II dan kini harus menerima sedimen setiap hari dari Sungai Tondano.
”Ada enam kelompok nelayan di sini, semua anggotanya 60-70 orang. Namun, di sini tidak ada tambatan, sedangkan di Sindulang 1 dan Bitung Karangria ada. Jadi, kami setengah mati tarik dan angkat perahu ke tepi. Kalau dibiarkan mengapung, pasti rusak,” kata Ferdy.
Jalan Boulevard II dibangun paruh kedua dekade 2000-an diiringi penolakan komunitas nelayan. Jalan yang panjangnya kini baru sekitar 3 kilometer itu membentang di lima kelurahan, yaitu Sindulang 1 dan 2, Bitung Karangria, Maasing, dan Tumumpa 2. Jalan itu adalah kelanjutan dari Boulevard Piere Tendean yang telah selesai dibangun pada 1993.
Baca juga: Sedimentasi di Teluk Manado Merusak Terumbu Karang
Kendati belum selesai, Boulevard II telah mengubah lanskap kehidupan nelayan. Jika dulu warga pesisir langsung menginjak pasir pantai ketika melangkah keluar rumah, kini menapaki jalan aspal di atas lahan hasil pengurukan. Karena jalan itu juga, mereka tak bisa menarik perahu sampai ke depan rumah.
Sejak jalan itu dibangun, daerah tangkapan ikan, kata Ferdy, semakin jauh, dari 2-3 mil laut (3,7-5,5 kilometer) menjadi 8-9 mil laut (14,8-16,6 km) karena pantai mendangkal dan makin keruh. ”Ikan menjauh, cari perairan yang lebih jernih. Kami makin susah cari ikan karena harus lawan kapal pajeko,” katanya.

Perahu-perahu nelayan kecil ditambatkan di Pantai Karangria, Manado, Sulawesi Utara, Kamis (26/9/2019) . Pantai ini direncanakan masuk ke area proyek reklamasi Boulevard II. Para nelayan khawatir akan masa depan mata pencarian mereka.
Tidak jelas dibangun
Kini, nelayan di sepanjang Boulevard II menghadapi wacana reklamasi di pantai mereka. Rapat antara pemerintah dan kelompok-kelompok nelayan telah digelar beberapa kali, tetapi masih mengambang tanpa konklusi pasti.
Menurut rencana, lahan reklamasi itu akan menjadi pusat bisnis layaknya kompleks Bahu Mall, Manado Town Square, Kawasan Megamas, dan Marina Plaza di Boulevard Piere Tendean sejak dekade 2000-an. Nelayan pun kehilangan akses langsung ke laut karena pembangunan pusat-pusat bisnis tersebut.
Di daerah Sario, baru satu tahun terakhir, nelayan mendapat tempat di tepi pantai Kawasan Megamas setelah dibangun sebuah jetty milik TNI AL. Namun, para nelayan lain tidak bisa leluasa masuk dengan sepeda motor, mengingat ada biaya karcis masuk kendaraan bermotor Megamas. Beberapa memilih berjalan 200-300 meter dari rumah.
Belajar dari pengalaman itu, para nelayan di Sindulang 2 menyatakan penolakannya. ”Sebenarnya kami menolak, tetapi bagaimana lagi, ini kebutuhan zaman. Kami cuma berharap ada jalan tengah, misalnya tambatan perahu dan jalan akses ke pantai untuk melaut. Nelayan seperti kami sudah harus melaut pukul 04.30 Wita, masak harus tunggu toko buka dulu?” katanya.

Sebuah ekskavator di sisi utara Pelabuhan Pelelangan Ikan Tumumpa, Manado, Sulawesi Utara, digunakan untuk menguruk tanah di atas perairan Laut Sulawesi, Kamis (26/9/2019).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut seolah mengonfirmasi perkataan Ferdy. Pada 2020, produk domestik regional bruto (PDRB) yang dihasilkan sektor perdagangan besar dan ritel diperkirakan Rp 10,52 triliun, mendekati sektor perikanan Rp 10,75 triliun. Jika diitambah sektor akomodasi dan makan-minum yang nilai PDRB-nya di Sulut Rp 1,98 triliun, lahan reklamasi lebih menghasilkan.
Fredic Nicolas (66), nelayan lain di Sindulang 2, juga punya harapan senada. Namun, ia ragu. ”Kadang pemerintah ingkar janji. Seperti di pertokoan Boulevard (Piere Tendean) sana, tiba-tiba akses (ke pantai) sudah ditutup semua. Apa kami harus alih profesi jadi penjaga toko atau kerja bangunan supaya bisa makan?” katanya.
Baca juga:Tanpa Peredam Gelombang, Kawasan Bisnis Reklamasi Manado Rusak Diterjang Ombak
Fredic menyadari, ia sudah sepuh dan mungkin tak lama lagi berhenti melaut. Namun, masih ada nelayan-nelayan yang 15-20 tahun lebih muda darinya dan masih bergantung pada laut. ”Dari dulu kami tinggal di sini dan cuma tahu melaut. Harus ada jalan tengah untuk nelayan,” ujarnya.
Nelayan di Kelurahan Bitung Karangria, seperti Ali Sahrain (69), juga tak benar-benar tahu kapan reklamasi di pantai Boulevard II akan terlaksana. Namun, jika pemerintah telah bersepakat, nelayan tak mungkin dapat menghalangi. Ia hanya berharap di celah pertokoan dan perkantoran yang dibangun, ada kanal untuk perahu nelayan.

Area parkir Manado Town Square, Manado, Sulawesi Utara, rusak akibat bebatuan yang terlempar dari tanggul bersama terjangan ombak, Senin (18/1/2021). Gelombang dan ombak besar yang menerjang Teluk Manado semalam sebelumnya menyebabkan kerusakan parah di kawasan bisnis yang dibangun di atas lahan reklamasi.
Sesuai ketentuan, nelayan kecil dan tradisional punya hak atas akses langsung dan bebas menuju laut. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang diubah dengan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K) mewajibkan alokasi ruang dan akses pemanfaatan laut bagi masyarakat pesisir.
Di sisi lain, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulut Jenny Karouw mengaku belum tahu soal pengembangan lahan reklamasi. Wacana itu sempat bergulir, tetapi ia tak benar-benar tahu rencana teknisnya. Peraturan Daerah Rencana Zonasi WP3K Sulut sudah ada, tetapi belum memuat reklamasi di pantai Boulevard II.
”Memang waktu kepemimpinan (Gubernur Olly Dondokambey) yang pertama, ada rencana reklamasi. Namun, para periode kedua ini, kami lagi fokus mengembangkan infrastruktur untuk membuka jalur-jalur ke sentra produksi agar sektor pertanian dan perkebunan terus bergerak,” katanya.
Kini, Bappeda Sulut fokus membahas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026. Menurut Jenny, beberapa kebijakan pemerintah berubah karena pandemi Covid-19. Reklamasi Boulevard II pun belum pernah dibahas Sejak Olly kembali menjabat per 15 Februari 2021.

Nelayan menata perahunya di tepi pantai Teluk Manado, Sulawesi Utara, yang terletak di Kelurahan Bitung Karangria, Jumat (26/3/2021).
Rusak lingkungan
Tak hanya nelayan yang sebenarnya tak mau reklamasi. Pegiat lingkungan yang juga dosen Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, Rignolda Djamaluddin, mengatakan, lahan reklamasi telah merusak ekosistem laut, terutama terumbu karang.
Gugusan terumbu karang yang disebut Napo Toto di belakang Manado Town Square telah berubah bentuk. Letaknya yang dekat dinding lahan reklamasi membuatnya rentan terkena runtuhan batuan talud penahan lahan urukan jika diterjang ombak. ”Pada kondisi gelombang besar, saya yakin seiring waktu akan ada kerusakan yang tercatat oleh terumbu karang,” katanya.
Di darat, lahan reklamasi disebut memperparah banjir. Hujan lebat yang mengguyur Manado pada dua bulan pertama 2021 terjadi bersamaan pasang air laut. Akibatnya, jalan protokol sekelas Boulevard Piere Tendean terendam banjir. Gelombang besar juga sempat memorak-porandakan area reklamasi itu sendiri.

Jalan Boulevard Piere Tendean, Manado, Sulawesi Utara, tergenang banjir dari luapan air laut akibat ombak tinggi yang menerjang Teluk Manado, Minggu (17/1/2021). Puluhan kios di pusat bisnis kota hancur, sedangkan tanggul pemecah ombak rusak.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulut Theo Runtuwene menyebut, reklamasi bukanlah bentuk pembangunan berkelanjutan. Daerah resapan air di bukit-bukit Manado berubah menjadi permukiman, sedangkan reklamasi menyebabkan air laut mudah meluap ke daratan menjadi banjir rob.
Tak heran jika Manado terus dirundung banjir. ”Air sudah deras mengalir dari hulu. Waktu sampai hilir, pantai sudah menjadi lahan reklamasi. Saat laut pasang, efeknya seperti ember sudah penuh tetapi terus diberi air, pasti akhirnya meluap,” kata Theo.
Belum ada yang tahu kapan reklamasi di Boulevard II akan terlaksana, bahkan pemerintah sekalipun. Namun, jika waktunya tiba, pasrah para nelayan akan mengiringinya. Suara nelayan, seperti Ferdy dan Fredic, sepatutnya didengar dan dipertimbangkan betul.