Kemunculan Pulau di Rote Butuh Penelitian Ahli Geologi
Pemerintah daerah memerlukan hasil penelitian pakar geologi terkait kemunculan pulau baru pascabadai Seroja di perairan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, sebelum memberi nama pulau itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kemunculan pulau baru pascabadai Seroja di perairan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, butuh penelitian para ahli geologi untuk memastikan keaslian pulau itu. Jika pulau itu asli seperti pulau-pulau lain, pemerimtah daerah setempat boleh memberi nama pulau itu.
Juru bicara Gubernur Nusa Tenggara Timur, Marius Jelamu, di Kupang, Rabu (14/4/2021), mengatakan, pulau itu muncul di perairan selatan Rote, tepatnya di depan Sai, Kecamatan Leahalu, Rote Ndao. Pulau ini muncul, Minggu (4/4/2021), sehingga camat dan kepala desa setempat menamainya Pulau Paskah karena muncul bertepatan dengan hari raya Paskah umat Kristiani.
Kendati demikian, dibutuhkan penelitian dari para ahli geologi untuk memastikan bahwa tumpukan pasir dan batu itu merupakan pulau baru. ”Jangan sampai setelah diberi nama dan didaftar sebagai pulau baru, tiba-tiba menghilang diterjang gelombang dan angin kencang, terutama musim hujan atau saat cuaca buruk melanda wilayah itu,” kata Jelamu.
Ia menduga pulau itu terbentuk dari sedimentasi bahan material dasar laut akibat pergerakan pusaran air laut dengan kecepatan tinggi, kemudian membentuk pulau itu, saat badai Seroja. Keberadaan pulau itu sekitar 4 kilometer dari Desa Sai yang berada di bibir pantai. Sebelumnya sama sekali tidak ada pulau atau bebatuan yang tertimbun di lokasi pembentukan pulau.
Tetapi, kalau ada informasi soal kestabilan pulau ini sangat penting bagi masyarakat setempat.
Kemunculan pulau itu pertama kali dilihat Kepala Desa Sai Tasilo Isak Dea. Ia kemudian memberi tahu warga desa itu, kemudian ramai-ramai mengunjungi pulau dengan perahu motor. Kepala desa mengukur pulau itu dengan langkah kakinya sendiri, jumlahnya 152 langkah kaki, dan ketinggian pulau itu diperkirakan 50 meter dari permukaan laut.
Camat Kecamatan Leahalu Oktovianus Adu mengatakan, pulau ini sangat strategis bagi para nelayan untuk berteduh. Mereka bisa membangun pondok dari daun lontar untuk beristirahat serta memperbaiki pukat atau perahu yang rusak.
”Tetapi, kalau ada informasi soal kestabilan pulau ini sangat penting bagi masyarakat setempat. Pemerintah harus melakukan penelitian soal pulau ini. Jangan sampai sifatnya sementara, bisa hilang sewaktu-waktu, terutama ketika cuaca buruk,” kata Adu.
Melaporkan kerusakan
Sementara itu, menurut Marius Jelamu, kesempatan masyarakat NTT melaporkan kerusakan rumah akibat badai Seroja ditutup pada Rabu (14/4/2021). Jika mereka belum melapor, pemerintah menganggap tidak ada kerusakan. Pemerintah memberi kesempatan melapor selama sembilan hari.
Data kerusakan itu harus dilaporkan ke RT/RW setempat, kemudian dibawa ke desa atau kelurahan, kemudian ke wali kota atau kabupaten. Bupati atau wali kota kemudian menerbitkan surat keputusan status bencana, termasuk kerusakan rumah yang telah dilaporkan warga.
Pantauan Kompas di posko penanggulangan bencana NTT, ratusan orang datang ke posko pengaduan melaporkan kerusakan rumah. Ada yang datang melaporkan kerusakan rumah pribadi, tetapi kebanyakan mewakili kelompok atau RT tertentu.
Agustinho Dosantus (39), warga Tanah Merah, Kecamatan Kupang Timur, yang hadir di posko pengadulan bencana, menyatakan mewakili 500 keluarga di Desa Tanah Merah, Oebelo, Tuapukan, dan Noelbaki yang rumahnya rusak diterjang badai. Mereka sudah melapor ke RT masing-masing, tetapi selalu ditolak dengan alasan posko pengaduan sudah ditutup.
”Kami dipingpong oleh RT masing-masing, Mereka meminta kami mendata langsung ke BPBD Kabupaten Kupang, sampai di sana, mereka minta kami wajib lapor ke RT masing-masing. Nah, sekarang masa pendaftaran sudah ditutup. Kami dipastikan tidak kebagian bantuan itu,” kata Dosantos.
Junita Baintuan (35), warga RT 012/006 Kelurahan Naibonat, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, mengatakan sudah tiga kali melapor kepada RT setempat, tetapi RT selalu beralasan penerimaan pengaduan berlangsung pukul 07.00-10.00 Wita, di luar jadwal tersebut ditolak.
Ia mengaku sebagai orangtua tunggal, bangun pagi harus mengatur anak-anak, memberi makan ternak sapi, mencuci pakaian, dan mengurus kedua orangtuanya. Ia mengira jam pelayanan masyarakat berlangsung sampai pukul 16.00 Wita, sesuai jam kerja di kantor pemerintah,
”Kami dengar di radio, Bapak Gubernur bilang batas akhir laporan kerusakan hari ini, Rabu, 14 April 2021, sehingga saya jauh-jauh datang ke sini. Saya sewa ojek dari Naibonat ke posko ini Rp 200.000, pergi-pulang,” ujar Junita.
Rumah milik orangtuanya, tempat Junita tinggal bersama dua anaknya, hancur diterjang badai Seroja. Tidak hanya rumah tinggal yang terbuat dari bambu, tetapi semua perabot rumah tangga pun hancur berantakan di lantai.
Ia mengatakan, di Kabupaten Kupang masih ada ratusan warga belum terdata. Untuk NTT seluruhnya, ada ribuan rumah rusak yang belum terdata di BPBD kabupaten/kota. Pasalnya, RT/RW setempat tidak melayani pengaduan masyarakat. ”Tetangga saya pun mengeluhkan hal yang sama,” ucapnya.
Pelayanan publik di Kabupaten Kupang memang buruk, jauh di bawah standar, termasuk pascabadai Seroja menimpa daerah itu. Hal ini terbukti dengan kemarahan Gubernur NTT Viktor Laiskodat terkait buruknya pelayanan Bupati Kupang Korinus Masneno terhadap warga yang terdampak.
Gubernur menegur keras Bupati Kupang Masneno karena dinilai tidak bekerja melayani masyarakat pascabencana. ”Pak Bupati Kupang, saya katakan, Pak belum layak menjadi bupati,” ujar Laiskodat di hadapan Masneno, Rabu (7/4/2021).
Saat itu Gubernur Laiskodat melakukan perjalanan ke daratan Timor. Hampir di sepanjang jalan di Kabupaten Kupang, ratusan bahkan ribuan warga menyerbu kendaraan yang ditumpangi Gubernur. Mereka mengaku belum makan dari pagi, kemudian meminta bantuan makanan, pakaian, bahan bangunan, dan air bersih.
Masyarakat juga mengatakan sejak bencana menimpa desa mereka yang berada di sepanjang jalan Timor Raya itu, bupati belum pernah mengunjungi mereka. ”Kalau bapak bupati jalan, biasanya ada voorijder di depan, dan ada pula konvoi kendaraan dinas, tetapi itu tidak ada sejak bencana,” kata Laiskodat.