Asa dari Setiap Kerukan Ekskavator di Lokasi Banjir Lembata
Hingga satu pekan berlalu, pencarian korban banjir bandang yang diduga tertimbun di bawah material batu dan pasir di Lembata, NTT, terus berlangsung. Keluarga korban menanti penuh harapan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Makanan belum ngendon sempurna di perut, Zakarias Sanga (48) sudah beranjak menuju ekskavator yang pakir di tengah hamparan material banjir bandang. Segeralah ia menghidupkan mesin lalu menggerakkan lengan ekskavator ke arah tumpukan material yang menggunung demi mencari korban di lokasi bencana di Desa Amakaka, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (10/4/2021).
Bucket, bagian ekskavator berupa keranjang yang berfungsi untuk mengeruk, mendorong, dan mengangkut material, mulai bergerak mendobrak tumpukan batu bercampur pasir setinggi lebih dari 3 meter. Setelah menyingkirkan pasir di bagian permukaan, di bawahnya tampak sebuah batu dengan diameter hingga lebih dari 2 meter.
Ruang bucket yang hanya berkapasitas sekitar 1 meter kubik tak bisa mengangkut batu tersebut. Bucket hanya bisa mendorong batu itu ke titik yang berjarak sekitar 10 meter. Setiap batu dengan ukuran semacam itu, Zakarias membutuhkan waktu lebih dari 5 menit untuk menyingkirkannya.
Sementara material batu menghampar di areal seluas 20,37 hektar, lokasi yang dulunya adalah permukiman penduduk. Material terbawa banjir bandang dari Gunung Ile Lewotolok yang berada di bagian hulu. Material itu merupakan hasil muntahan dari gunung api tersebut. Amakaka berada di sisi barat Gunung Ile Lewotolok, di sana bermukim 1.573 jiwa.
Banjir bandang diduga terjadi setelah terciptanya ceruk atau danau di bagian hulu akibat longsor. Di dalam ceruk terisi air setelah hujan dengan intensitas lebat sampai sangat lebat selama hampir satu pekan. Pada 4 April 2021 sekitar pukul 01.30 Wita, ceruk itu jebol lalu mengalirkan air yang menyeret material batu, kayu, dan lumpur.
Khusus batu, material itu sulit digeser. Karakter batu vulkanik memang keras, sulit dihancurkan menggunakan ”gigi” bucket. ”Jadi, kalau tidak bisa angkut, harus pakai dorong. Ini yang membuat proses pencarian terlambat,” kata Zakarias yang sudah puluhan tahun mengoperasikan ekskavator. Ini pengalaman terberat.
Di lokasi itu terdapat lima ekskavator yang dikerahkan untuk membantu pencarian. Ekskavator baru mulai masuk beroperasi pada Senin (5/4/2021) atau sehari setelah banjir bandang pada Minggu sekitar pukul 01.30 Wita. Awalnya hanya satu, kemudian ramai-ramai didatangkan menjelang kunjungan Presiden Joko Widodo di lokasi itu pada Jumat (9/4/2021).
Sebelum ekskavator tiba, warga melakukan pencarian secara manual menggunakan peralatan seadanya. ”Saat itu beberapa korban sudah bisa terlihat, tetapi kami tidak bisa buat apa-apa karena tertindih batu besar. Terpaksa harus menunggu ekskavator sampai besok,” kata Vinsen Benidau, salah satu sukarelawan.
Gelar ritual
Kini, ketebalan material serta luasan sebarannya menyebabkan proses pengerukan tidak bisa berjalan dengan cepat. Anjing pelacak pun didatangkan untuk mengendus jazad yang tertimbun. Warga juga menggelar ritual adat untuk meminta petunjuk dari Tuhan dan leluhur mengenai posisi para korban.
”Selama lima hari pencarian, hasilnya masih nihil. Jumlah korban yang hilang masih tetap 10 orang,” kata Aswandi, Komandan Operasi dari Kantor SAR Makassar, Sulawesi Selatan, yang ditugaskan di Lembata dalam pencarian korban. Sebanyak 18 orang telah ditemukan meninggal di lokasi tersebut.
Aswandi mengatakan, proses pencarian biasanya berlangsung selama 14 hari. Pencarian bisa dibuka kembali jika ditemukan tanda-tanda jejak korban hilang. Hal itu akan dibicarakan bersama antara pihak pemerintah daerah, tim SAR, dan keluarga korban. ”Kami akan bekerja maksimal,” katanya.
Selama lima hari pencarian, hasilnya masih nihil. Jumlah korban yang hilang masih tetap 10 orang.
Albertus Doni (45), penyintas bencana di Amakaka, berharap korban hilang dapat ditemukan. Proses pencarian sudah memasuki hari ketujuh, artinya masih ada tujuh hari ke depan. ”Kami hanya ingin memakamkan mereka secara pantas, apa pun kondisi mereka. Kami ingin punya kenangan dengan mereka yang sudah meninggal,” katanya.
Jika sampai batas tanggap darurat selesai dan masih ada korban yang belum ditemukan, pihak keluarga akan menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Mereka memahami sulitnya membongkar material itu. Kondisi terburuk adalah melakukan tabur bunga di lokasi itu. Mereka akan mengikhlaskannya.
Ketika meninjau lokasi itu, Presiden meminta agar warga segera direlokasi. Tempat itu berisiko akan terjadi bencana serupa pada masa yang akan datang. Biarlah tempat itu sebagai monumen penanda bagi sejarah di masa depan dan juga dapat dianggap menjadi tempat peristirahatan terakhir korban yang belum ditemukan.
Masih ada tujuh hari ke depan. Selalu ada asa dari setiap kerukan ekskavator di hamparan material itu. Memang tak mudah, tetapi bukan berarti mustahil.