Wata setia menjaga nyawa kesenian tradisi di Indramayu tetap bergaung. Jalan seni itu membuatnya melanglangbuana dan mengajarkan kemampuannya tanpa biaya bagi siapa saja yang menyukainya.
Oleh
Melati Mewangi dan Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Hidup Wata tak pernah jauh dari seni musik dan pertunjukan. Sempat dilarang orangtua, dia justru menyelaminya lebih dalam. Ia bahkan mendirikan kelompok perkusi dan sanggar seni untuk melatih anak-anak di desanya tanpa memungut biaya. Bukan demi uang tapi menebar tradisi dan kebahagiaan.
Tangan Wata (51) begitu lincah membuka-tutup lubang-lubang seruling bambu yang dia tiup. Bunyinya terdengar merdu mengiringi cerita dongeng yang disampaikan Samsudin (50), pegiat Dongeng Keliling Satwa Langka Indonesia, Senin (29/3/2021). Suara gelak tawa dan sorak dari anak-anak turut meramaikan pentas dongeng ini.
Siang itu, duet yang kerap tampil bareng sejak tahun lalu ini menjadi sukarelawan untuk menghibur anak-anak penyintas ledakan dan kebakaran tangki Pertamina RU VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat. Mereka membawakan kisah dongeng tentang kehebohan di tengah hutan karena badak bercula satu yang hilang tanpa kabar. Orangutan, sahabat badak, pun mengajak teman-teman lainnya untuk mencari si badak.
Saat mencari badak, lantunan musik tradisi dari seruling Wata terus mendayu. Bunyinya seolah membawa kedamaian agar anak-anak tetap rileks di tengah kegaduhan.
Dongeng ini mengajak anak-anak untuk mengutamakan kepentingan bersama dan saling membantu dalam keadaan apa pun, terutama saat diimpit musibah. Sikap teman-teman badak bercula satu bisa menjadi contoh baik bagi anak-anak, yakni pentingnya menjaga kehadiran satu sama lain.
Sorot matanya terus memperhatikan wajah anak-anak yang asik menikmati pertunjukan. Antusiasme mereka mengingatkan Wata pada kegembiraan anak-anak di sekitar lingkungan tempat tinggalnya yang menekuni kesenian gamelan di sanggar milik Wata.
Dia seniman serba bisa. Di rumahnya, Desa Tambi, Kecamatan Sliyeg, Wata dikenal sebagai nayaga, pelatih dan pembuat gamelan, hingga pengiring tari topeng. Pengalamannya tidak main-main. Tidak hanya tampil di negeri sendiri, tapi juga di negeri orang.
Ketertarikannya pada dunia ini muncul selepas dia lulus SD tahun 1982. Kala itu, Wata beberapa kali melihat ayahnya, Dimah, terbiasa menabuh bonang untuk mengiringi Wisat, seniman serba bisa Indramayu.
”Pertama kali menyaksikan pertunjukan yang diiringi gamelan itu hati saya rasanya bergetar. Kena banget, saya tertarik belajar,” katanya.
Hanya saja, niatnya serius di dunia seni sempat mendapat penolakan dari ayahnya. Dimah bilang, masa depan seniman tidak cerah. Tidak banyak uang yang bisa dibawa pulang.
Cukup bapak saja. Kamu berjualan atau berdagang juga, biar menghasilkan banyak uang.
”Cukup bapak saja. Kamu berjualan atau berdagang juga, biar menghasilkan banyak uang,” ucap Wata menirukan pesan almarhum ayahnya.
Akan tetapi, jalan untuk seni memang miliknya. Setelah tak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya, ia menceburkan dirinya ke dunia seni. Di sanggar yang sama dengan ayahnya, dia belajar.
Semua dimulai dari nol. Mulai dari sekadar menyediakan kopi untuk para pemain senior hingga belajar bonang untuk pertama kalinya. Beberapa kali dia diminta mengiringi perlombaan tari dengan bayaran seadanya.
Lebih dari sekadar rupiah, semuanya perjuangannya terbayar dengan kemampuannya yang kian terasah. Ia mulai ikut grup wayang ternama. Salah satunya milik dalang Taham, anak Wisat dan ayah dari penari topeng Wangi Indriya. Ia juga terpilih dalam rombongan Wangi Indriya yang pentas ke Belgia, Belanda, Italia, dan Swiss sekitar 2001.
Empat tahun kemudian, sekitar 2005, Wata menginjakkan kaki di London untuk pentas bersama rombongan maestro tari topeng Mimi Rasinah dan cucunya, Aerly. ”Waktu itu ada bom dekat hotel. Kami enggak jadi tampil. Saya sembunyi di kolong meja,” katanya.
Bagi dia, pengalaman melanglangbuana itu ikut menjadi titik awal pembuktian bahwa gamelan punya masa depan. Tekadnya kian mantap membentuk kelompok kesenian khas sisingaan bernama Manuk Dangdut di tahun 2005. Dengan modal sekitar Rp 150.000, dia membuat set gamelan sederhana dari barang bekas, yakni saron, bonang, dan penerus.
Kelompok musiknya hanya beranggotakan sekitar lima orang. Tak banyak orang yang mau terjun menjadi pegiat seni, dia pun kesulitan untuk mencari personel tambahan. Minimnya regenerasi menggerakkan dirinya untuk mengajak sejumlah anak dan remaja di sekitar rumahnya berlatih gamelan setiap sore. Semuanya gratis, bahkan Wata juga menyediakan suguhan makanan dan minuman.
Manuk Dangdut kerap dipanggil untuk mengisi acara hajatan atau khitanan warga. Tak sedikit yang mengundang kelompok kesenian ini untuk mengisi acara besar. Sepanjang tahun 2008, misalnya, kelompok ini tercatat pernah tampil sebanyak 80 kali dengan tarif kala itu Rp 1,7 juta per panggung. Wata meyakini kesenian apa pun akan tetap memiliki penikmatnya sendiri seiring perkembangan zaman.
Bisa belajar
Dia menyadari bahwa hidup tak sekadar untuk mengumpulkan materi, tetapi juga bermakna bagi sesama. Semangat berbagi ini ia hidupkan dengan mendirikan sanggar seni bernama Gelora Muda pada tahun 2012. Dia ingin sanggar tersebut menjadi tempat belajar dan menemukan minat kaum muda yang tertarik bermain gamelan. Semua bisa belajar tanpa dipungut biaya.
Semula tak mudah membuat mereka tertarik belajar gamelan. Hanya ada lima anak yang bergabung. Namun, suara gamelan yang bergaung di rumah Wata perlahan mengundang banyak anak-anak lain datang menyaksikan proses latihan.
Mereka penasaran, bertanya banyak hal pada dirinya, dan ikut memainkannya. Wata memposisikan dirinya seperti bapak yang memberi kenyamanan dan menjadi kawan mengobrol yang asik bagi anak-anak. Sekarang, 25 anak usia 8-15 tahun belajar padanya.
Saat ini, rumahnya yang hanya berukuran 5 meter x 8 meter kerap menjelma menjadi panggung. Hampir setiap malam Sabtu, ada pentas menguji hasil latihan anak didik. Ada dua set gamelan yang bisa digunakan para seniman cilik Indramayu itu mengasah ilmu.
Enggak banyak seniman yang mau diajak kolaborasi menyuarakan konservasi. Mang Wata salah satunya.(Samsudin)
Salah seorang yang percaya pada kemampuan Wata adalah Sriyati Noeryn (44). Sejak setahun terakhir, ia menitipkan anaknya, Athalia Aerilyn (7), berlatih gamelan. ”Anak saya juga sudah latihan tari topeng setahun terakhir. Belakangan, ia juga mau latihan gamelan. Pak Wata orangnya baik,” katanya.
Samsudin, rekan duet Wata, juga mengapresiasi perjuangan Wata yang tidak pilih-pilih tema berkesenian. ”Enggak banyak seniman yang mau diajak kolaborasi menyuarakan konservasi. Mang Wata salah satunya,” ucapnya.
Apa pun itu, semuanya bisa jadi bukti Wata tulus berkarya. Dia tidak ingin seni tradisi Indramayu berhenti dan mati. Wata ingin generasi saat ini terus melanjutkan langkah yang telah ia pilih.
”Suatu saat nanti, mereka harus bisa meneruskan perjalanan saya untuk meneruskan seni tradisi Indramayu,” ucapnya.