Sigi Pilih Penghijauan untuk Kendalikan Pendangkalan Teluk Palu
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, yang merupakan daerah hulu Sungai Palu yang membawa sedimen ke Teluk Palu akan menggencarkan penghijauan untuk mengurangi pendangkalan teluk tersebut.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Nelayan dengan perahu menangkap ikan dan udang di perairan keruh sekitar muara Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (28/3/2021). Air keruh tersebut mengalir dari Sungai Palu dengan kandungan lumpur atau material lainnya ke teluk. Hal itu mengancam ekosistem Teluk Palu.
SIGI, KOMPAS — Penghijauan dipilih Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, untuk mengendalikan banjir yang membawa sedimen ke Teluk Palu. Pengendalian dari hulu ke hilir disebut sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan ekosistem Teluk Palu.
”Upaya kami mengatasi banjir yang mengangkut sedimen dengan penghijauan lewat program Sigi Hijau. Banjirnya harus dikendalikan karena banjir itu yang membawa sedimen, berupa pasir dan lumpur, ke Teluk Palu. Selagi masih ada banjir, sedimen pasti akan selalu ada,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Sigi Muh Basir di Sigi, Sulteng, Senin (12/4/2021).
Untuk mewujudkan hal itu, Pemerintah Kabupaten Sigi bakal memberikan bibit tanaman keras dan bambu kepada desa. Bibit itu diminta ditanam di lahan kritis.
Basir mengatakan, Sigi Hijau sudah mulai berjalan, hanya saja belum maksimal dalam beberapa tahun terakhir karena penanganan pascagempa di Sigi sejak 28 September 2018. ”Program tersebut akan digencarkan lagi. Ini program jangka panjang,” ujarnya.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Rumah warga yang terendam lumpur di Dusun 2, Desa Poi, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, terlihat pada Selasa (10/12/2019).
Sigi merupakan daerah hulu Sungai Palu yang mengalir ke Teluk Palu. Daerah Aliran Sungai Palu sebagian besar masih berupa hutan lebat, tetapi sebagian lagi sudah beralih fungsi untuk pertanian. Dengan tipikal daerah aliran sungai pegunungan dengan elevasi yang curam ditambah struktur tanah yang mudah lepas, wilayah tersebut sering rawan longsor dan menimbulkan banjir bandang.
Desa-desa di Kecamatan Dolo Selatan dan Kulawi merupakan daerah yang dalam tiga tahun terakhir didera banjir bandang. Di Desa Bangga, Dolo Selatan, pada akhir 2019, misalnya, banjir bandang mengangkut sekitar 1 juta kubik sedimen.
Hingga saat ini belum ada data terbaru terkait volume sedimen ke Teluk Palu. Sebagai gambaran, pada 1998, Abdullah, Mujirin M Yamin, dan Irwan Said, dosen Universitas Tadulako, Palu, mengukur volume sedimen ke Sungai Palu 5,8 juta kubik per tahun. Sebagian sedimen mengendap di sepanjang sungai, sebagian lagi ke Teluk Palu.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Lumpur yang terangkut Sungai Palu tampak menumpuk di sekitar muara Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, seperti terlihat pada Sabtu (27/3/2021). Aliran sedimen dari Sungai Palu ke Teluk Palu sejauh ini belum terkendalikan. Hal itu bisa mengancam ekosistem teluk, termasuk populasi ikan.
Gempa Palu beberapa waktu lalu juga membuat struktur tanah di pegunungan curam tersebut menjadi kian lepas. Jika hujan lebat mengguyur, air mengalirkan sedimen berupa pasir dan lumpur.
Berbarengan dengan penghijauan, pengendalian sedimen juga dilakukan dengan membangun sabo dam di sejumlah anak Sungai Palu. Program itu dilaksanakan Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III.
Kepala Seksi Pelaksanaan BWSS III Edison menyebutkan, sabo dam berfungsi menampung sedimen yang terangkut air. Sedimen yang tertampung tersebut dikeruk untuk dibuang atau digunakan sebagai material konstruksi. ”Ini diharapkan mengurangi aliran sedimen ke Teluk Palu,” ujarnya.
Sedimen di Teluk Palu perlu dikendalikan untuk menyelamatkan ekosistem laut di ibu kota Sulteng itu. Sejauh ini, nelayan sudah mulai merasakan dampak tak terkendalikannya sedimen.
Beberapa di antaranya, seperti berkurangnya populasi ikan, terutama di pinggir-pinggir pantai di dekat muara Sungai Palu. Sedimen menutup karang sehingga karang mati. Padahal, karang merupakan tempat berpijahnya ikan dan biota laut lainnya.
Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, Palu, Abdullah, mengatakan, sedimentasi harus segera dikendalikan. Selain merusak ekosistem biota laut di Teluk Palu, tumpukan lumpur atau pasir di teluk tersebut juga membuat rawan longsor di bawah laut ketika terjadi gempa. Hal itu terkonfirmasi pada gempa dan tsunami pada 28 September 2018.
”Pengendalian sedimen harus terpadu, mulai dari hulu hingga hilir,” ucapnya.