Sedimentasi dan Pelanggaran Tata Ruang Rusak Teluk Kendari
Teluk Kendari di Sulawesi Tenggara semakin kritis. Cepat atau lambat, kehidupan manusia di sekitarnya bakal terpengaruh akibat kerusakan lingkungan di sana.
Oleh
saiful rijal yunus
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sedimentasi masif serta pelanggaran tata ruang membuat kondisi Teluk Kendari di Sulawesi Tenggara semakin kritis. Permasalahan ini harus diselesaikan agar fungsi konservasi teluk berjalan ideal sehingga mampu memberi manfaat besar bagi masyarakat dan lingkungan.
Ketua Komisi III DPRD Kendari La Ode Muhammad Rajab Jinik menyampaikan, kondisi Teluk Kendari yang kian kritis harus segera diatasi. Selain persoalan sedimentasi, pelanggaran tata ruang juga mendesak dituntaskan.
”Sebelum ada Perda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kendari tahun 2012, di kawasan teluk telah terbit puluhan sertifikat atas nama pribadi. Kawasan yang dulunya tambak itu menjadi hak milik perorangan atau perusahaan dan diubah menjadi kawasan ekonomi. Hal ini yang membuat kondisi teluk semakin parah,” ucapnya, Senin (12/4/2021).
Pelanggaran tata ruang ini, lanjutnya, tidak hanya mengubah fungsi ekologi teluk. Namun, hal itu juga turut menggerus fungsi sosial dan ekonomi wilayah yang menjadi ikon hingga tempat masyarakat kecil mencari penghidupan.
Akibatnya, kondisi teluk semakin terbuka dan dipenuhi bangunan. Wilayah yang dulunya dipenuhi mangrove perlahan berubah menjadi kawasan bisnis dan permukiman.
”Sebelumnya direncanakan ada Perda Central Business District (CBD). Namun, setelah kami bahas, itu dikembalikan ke Pemkot Kendari untuk diturunkan dalam bentuk peraturan wali kota. Yang perlu dilakukan adalah melihat persoalan tata ruang yang turut menjadi permasalahan utama di Teluk Kendari,” tambahnya.
Sedimentasi sedikit banyak ikut memicu pembangunan di sekeliling teluk. Rumah makan berjejer di sepanjang teluk, bahkan mengokupansi bakau.
Penimbunan lahan baru yang dulunya tambak atau tempat bakau tumbuh terlihat marak, utamanya di Jalan Madusila, Andonohu. Jalan ini terbentang di sepanjang sisi selatan teluk.
Di jalan ini juga berdiri Kantor DPRD Kendari yang tepat menghadap teluk. Tongkang-tongkang terparkir di tengah dan tepian teluk.
Akibat pembangunan, hutan bakau yang tumbuh di sisi barat dan selatan teluk ikut kritis. Selama tiga dekade terakhir, tutupan bakau berkurang hingga setengahnya. Di lahan bakau tersebut terlihat beberapa papan nama yang mencantumkan nama hak milik, baik pribadi maupun perusahaan.
Irfan Ido, akademisi dari Universitas Halu Oleo yang kerap meneliti mangrove, menyampaikan, pembangunan skala besar membuat tutupan mangrove di kawasan teluk semakin kritis. Padahal, kawasan ini adalah daerah hijau yang tidak boleh dialihfungsikan.
Sayangnya, tutur Irfan, selama ini tidak ada sanksi tegas dari pemerintah terhadap mereka yang mendegradasi mangrove ataupun reklamasi di teluk. Terlebih lagi, saat ini pemerintah tengah menggodok aturan terkait kawasan bisnis di wilayah teluk.
Menurut Irfan, orientasi bisnis semata akan membuat kondisi mangrove di teluk pasti semakin rusak. Terkecuai jika aturan terkait CBD tersebut berorientasi konservasi dan tidak murni pada kepentingan ekonomi. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah, yang diselaraskan dengan penghijauan dan pengembalian kawasan mangrove seperti sebelumnya.
Dia mengatakan, berkurangnya mangrove terjadi seiring dengan laju sedimentasi karena tidak ada lagi yang menahan dan menjadi pengumpul partikel tanah yang hanyut bersama aliran air. Sementara mangrove merupakan aset dalam sebuah ekosistem serta menjadi tempat pemijahan dan berkumpulnya ikan.
”Persoalan ini harus ditangani pemerintah agar wilayah Teluk Kendari tetap terjaga dan hewan yang terdampar tidak mengalami kesulitan di kemudian hari,” ujarnya.
Kritis
Kondisi kritis Teluk Kendari disumbang dari sedimentasi masif yang terjadi selama beberapa dekade terakhir. Dari hasil penelitian, total sedimentasi mencapai 66 juta meter kubik selama empat dekade terakhir. Laju sedimentasi sekitar 1,1 juta meter kubik per tahun.
”Kondisi Teluk Kendari sekarang sudah di fase sangat kritis. Hitungan saya, berdasarkan variabel perubahan lingkungan, dalam empat dekade terakhir total sedimentasi mencapai 66 juta meter kubik, dengan laju sedimentasi terus meningkat hingga 1,1 juta meter kubik dalam satu tahun,” papar La Ode Alwi, Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, Kendari, yang tekun meneliti kondisi Teluk Kendari.
Alwi menerangkan, sedimentasi parah yang dialami Teluk Kendari mayoritas disumbang dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu. Dengan luas 339,73 kilometer persegi, DAS sungai itu menyumbang sedimentasi terbesar, yaitu 65 persen dari total sedimentasi. Selebihnya adalah sumbangan dari 12 sungai dan anak sungai yang bermuara ke teluk ini.
Hal ini berimbas pada kedalaman Teluk Kendari yang menyusut jauh. Pada medio 1970-an, kedalaman teluk ini mencapai 23 meter. Saat ini, kedalaman ditaksir hanya berkisar 6-7 meter.
Akibatnya, biota laut yang dulunya menetap di teluk hilang atau migrasi. Terumbu karang dan lamun hampir tidak ditemukan. Kerapu hingga kakap yang bernilai tinggi nyaris tidak pernah terlihat lagi. Daerah yang dulunya menjadi tempat nelayan bagang mencari cakalang hanya sekadar menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal.
Tidak hanya sedimentasi, sambung Alwi, pembangunan masif sejak akhir 1980-an turut berperan besar mengubah kawasan teluk. Penimbunan tepian teluk secara gradual membuat luas kawasan teluk susut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kendari Nismawati menyampaikan, sedimentasi menjadi ancaman serius di Teluk Kendari. Sejak bertahun lalu, penumpukan sedimen semakin tinggi dan terus terjadi hingga sekarang.
Untuk penanganan saat air tinggi, ujar Nismawati, telah terbangun kolam retensi Sungai Wanggu dengan luas 5,9 hektar. Kolam ini menjadi pengendali saat air melimpah sehingga endapan tidak semua bermuara ke teluk.
”Dari tahun ke tahun memang semakin parah dan penanganan harus dikeruk menggunakan alat. Belum lagi masalah sampah yang mencapai 3 ton setiap hari,” ucapnya.
Oleh karena itu, penanganan menyeluruh harus dilakukan ke depan. Terlebih lagi, penyebab sedimentasi teluk merupakan pekerjaan lintas sektor yang harus dikerjakan bersama. Untuk sementara, penanganan akan dilakukan dengan cara dikeruk. Meski begitu, hingga April 2021, rencana itu belum terlihat. Sedimen di muara masih tinggi dan tidak pernah dikeruk.