Politik Uang dan Intimidasi Jadi Ancaman PSU di Penukal Abab Lematang Ilir
Politik uang, intimidasi terhadap calon pemilih, hingga kecurangan di tempat pemungutan suara berpotensi muncul dalam pemilihan suara ulang di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir. Berbagai pihak mengantisipasinya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu Sumsel memetakan potensi kerawanan yang dalam pemungutan suara ulang di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan, pada 21 April 2021. Potensi itu adalah politik uang, intimidasi terhadap calon pemilih, dan kecurangan di tempat pemungutan suara. Karena itu, proses pendampingan akan dilakukan seketat mungkin agar potensi kerawanan itu tidak terjadi.
Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antarlembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumsel Junaidi, Selasa (13/4/2021), mengatakan, jelang pemungutan suara ulang (PSU) yang akan digelar di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Bawaslu Sumsel akan fokus pada beragam kerawanan yang mungkin terjadi.
Kerawanan itu adalah politik uang yang mengarahkan calon pemilih untuk menjatuhkan suaranya pada pasangan tertentu. Bawaslu juga mendapat informasi adanya intimidasi oleh oknum tertentu yang meminta calon pemilih menjatuhkan pilihan pada salah satu pasangan. Jika tidak memilih pasangan dimaksud, warga diminta meninggalkan desa untuk sementara waktu sampai proses pemungutan suara berakhir.
Informasi ini terus digodok agar pada saat pelaksanaannya tidak terjadi. ”Hingga kini, potensi itu masih berupa informasi belum ada laporan resmi. Namun, kemungkinan itu akan terus diantisipasi,” kata Junaidi.
Untuk mencegahnya, proses pengawasan akan dilakukan seketat mungkin. Panitia Pengawas Pemilu Tingkat Kecamatan (Pawascam) diinstruksikan untuk mendampingi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ketika memberikan undangan berupa formulir C-6 kepada calon pemilih. ”Harus dipastikan agar undangan benar-benar diterima oleh calon pemilih bukan diwakili,” ungkapnya.
Hal itu untuk mencegah orang yang tidak memiliki hak suara untuk mencoblos seperti terjadi pada Pilkada 9 Desember 2020 lalu. Seorang warga bernama Tarmizi diketahui memilih hanya karena memiliki kesamaan nama dengan pemilih yang berhak. Adapun pemilih yang sebenarnya memilih di TPS lain.
Karena itu, pada PSU kali ini, pemilih juga harus membawa formulir C-6 beserta KTP elektronik untuk disandingkan untuk mencegah ”pemilih siluman” berulah.
Pihaknya dengan instansi terkait juga melakukan pencermatan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. Dari hasil pencermatan ditemukan adanya pemilih yang sudah pindah tempat domisili, meninggal, atau sudah memilih di tempat lain. Proses pencermatan ditargetkan rampung Rabu (14/4/2021).
PSU di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir akan digelar di empat TPS, yakni di TPS 6 Kelurahan Tempirai, Kecamatan Penukal Utara; TPS 8 Kelurahan Babat, Kecamatan Penukal; serta TPS 9 dan TPS 10 Kelurahan Air Itam, Kecamatan Penukal. Mahkamah Konstitusi memutuskan KPU harus menggelar PSU karena ditemukan sejumlah kecurangan, seperti pemalsuan dokumen dengan tanda tangan petugas KPPS dan pemilih yang menyalurkan suaranya lebih dari satu kali.
Penyelenggaran PSU membutuhkan biaya cukup besar, yakni mencapai Rp 1,5 miliar. (Hepriyadi)
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Selatan Divisi Hukum dan Pengawasan Hepriyadi mengatakan, penyelenggaraan PSU di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir sudah berada di tahap persiapan akhir berupa bimbingan teknis kepada penyelenggara pilkada. Proses ini diintensifkan untuk mengurangi kesalahan di lapangan. Proses PSU pun akan berlangsung pada 21 April 2021.
Menurut Hepriyadi, PSU itu terjadi lantaran adanya kesalahan dalam mekanisme pelaksanaan pilkada. ”Petugas menganggap remeh masalah yang terjadi di lapangan. Alhasil, Mahkamah Konstitusi menganggapnya sebagai sebuah pelanggaran,” ujarnya.
Adanya pemilih yang menyalurkan suara lebih dari satu kali bukanlah hal yang disengaja, melainkan pemilih sudah menyalurkan suara di TPS lain. ”Mereka mencoblos di tempat yang berbeda dengan yang ditentukan karena masalah domisili dan kesalahan dalam pemberian undangan,” ujar Hepriyadi.
Adapun terkait pemalsuan tanda tangan, menurut Hepriyadi, itu disebabkan pemilih tidak memberikan tanda tangan setelah menyalurkan suara. Untuk mengisi kekosongan tersebut, petugas mengisinya dengan tanda tangan mereka masing-masing. ”Tindakan tersebut adalah pelanggaran di mata hukum,” ujar Hepriyadi.
Untuk mencegah kesalahan berulang, ujar Hepriyadi, KPU telah melantik semua penyelenggara pilkada yang akan menggelar PSU di empat TPS tersebut. Ada sekitar 1.560 orang yang akan menyalurkan suaranya di empat TPS tersebut. Untuk menjaga proses penyaluran suara, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk memetakan wilayah yang rawan.
Hepriyadi menuturkan, persiapan sangat diperlukan agar proses PSU dapat berjalan lancar. Sebab, memang penyelenggaraan PSU membutuhkan biaya cukup besar, mencapai Rp 1,5 miliar. Dana itu berasal dari sisa dana dari penyelenggaran pilkada sebelumnya. ”Untuk PALI ada Rp 40 miliar untuk menggelar pilkada, dari sana masih ada sisa Rp 8 miliar. Dana itulah yang digunakan untuk penyelenggaran PSU,” ujar Hepriyadi.
Dana itu digunakan untuk membeli perlengkapan logistik, membayar gaji petugas, dan persiapan alat pelindung diri. ”Adapun persiapan logistik sudah hampir rampung,” ujarnya.