Paus Tak Lagi Bermain di Teluk Ambon
Degradasi teluk membuat ekosistem di dalamnya terganggu, termasuk hilangnya sejumlah biota laut yang penting bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat.
Bibir Teluk Ambon, Maluku, yang dulunya dipenuhi hutan mangrove dan lamun kini hampir semuanya berganti menjadi hutan beton. Air laut yang jernih pun telah berubah keruh oleh sedimen yang meluas akibat erosi dan proyek reklamasi. Teluk tak lagi menjadi tempat yang aman bagi biota laut, bahkan kehidupan warga pesisir pun kian terancam.
Enam tahun belakangan mulai tumbuh bangunan besar yang memanjang di pesisir Pantai Tantui. Dari bagian timur berjejer kantor-kantor pemerintahan ataupun layanan publik lain. Semua bangunan itu berdiri di atas areal reklamasi.
Reklamasi memperluas sedimentasi di teluk dan Pantai Tantui menjadi titik terparah. Di dekat pantai itu terdapat Sungai Wairuhu yang setiap musim hujan membawa material lumpur. Pembukaan lahan di darat, terutama di kawasan serapan air, sering menyebabkan erosi. Lumpur, batu, dan berbagai material lain terbawa ke teluk.
Kondisi itu diperparah lagi dengan proyek pembangunan Jembatan Merah Putih sepanjang 1.140 meter yang berdiri di dekat Pantai Tantui. Setelah pembangunan selesai, banyak material sisa yang terjatuh ke dalam air laut tidak dikeruk lagi. Perairan di lokasi itu kini kian dangkal. Penanda pun dibangun di beberapa titik agar tidak dilintasi kapal.
Ahli perekayasa muda di Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon, Johanis Lakalepa, teringat kenangan masa kecilnya saat melihat puluhan paus bermain di dekat Pantai Tantui. Menurut dia, dulu di Tantui banyak lamun dan mangrove. Airnya juga jernih sehingga paus pun biasanya masuk sampai ke sana dari lautan lepas.
Menurut Johanis, setiap tahun, antara bulan Mei dan Agustus, suhu air di Laut Banda menurun akibat hawa dingin yang ditiup angin dari Australia. Paus lalu bergerak ke utara dan Teluk Ambon menjadi salah satu daerah tujuan migrasi. Selain suhu yang relatif aman, di Teluk Ambon juga terdapat makanan.
Sayang sekali, Teluk Ambon kini terus terdegradasi dan atraksi paus hanya menjadi cerita.
”Karena ada mangrove dan lamun, makannya perairan itu jernih serta kaya akan plankton yang menjadi santapan paus. Kadang paus bermain di sekitar situ sampai satu hari kemudian berpindah lagi. Sayang sekali, Teluk Ambon kini terus terdegradasi dan atraksi paus hanya menjadi cerita,” ucapnya. Dia mengatakan terakhir kali melihat paus di dekat Tantui menjelang tahun 2000.
Tak hanya paus, berbagai biota laut pun telah bergeser dari teluk seluas lebih kurang 28.292,8 hektar dengan panjang garis pantai 102,7 kilometer itu. Saat ini, semakin jarang terlihat nelayan yang melepas jaring atau memancing di teluk. Kondisi teluk yang kian terdegradasi membuat wisata bawah air juga telah bergeser ke bagian luar teluk, ke pesisir utara dan selatan Pulau Ambon. Teluk yang menjadi kebanggaan warga kota itu sudah lama ditinggalkan para penyelam.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku Roy Siauta mengakui, kebijakan pembangunan ikut berkontribusi pada kerusakan pesisir. Menurut dia, minimnya lahan di Kota Ambon mendorong pemerintah menyetujui reklamasi pantai serta penebangan mangrove. Hal ini memengaruhi ekosistem teluk, termasuk warga pesisir di dalamnya.
Menurut data LIPI, rekaman citra satelit tahun 1994 dan 2007 menunjukkan luas sedimentasi Teluk Ambon meningkat dari 102,56 hektar menjadi 168,13 hektar.
Baca juga : Teluk-teluk di Ujung Tanduk
Roy tidak menjamin bahwa pemerintah tidak akan lagi memberi izin proyek reklamasi pada masa mendatang. Ia hanya memastikan bahwa pemerintah akan lebih selektif dalam menyetujui proyek reklamasi.
Masalah sedimentasi di Teluk Palu, Sulawesi Tengah, juga menyebabkan biota laut menyingkir. Nelayan merasakan dampaknya dengan makin sedikitnya populasi ikan, terutama di dekat pantai. Basri Badong (47) adalah salah satu nelayan yang merasakan kegetiran itu.
Sepuluh jam melaut dari pukul 21.00 Wita pada Sabtu (27/3/2021) sampai pukul 09.00 Wita pada Minggu (28/3/2021), bapak tiga anak itu hanya mendapatkan satu boks ikan layur berbobot total 10 kilogram. ”Ini hanya pas untuk biaya hidup harian. Tidak bisa untuk nabung,” ujarnya.
Sejak tahun 2000 ketika air di perairan sekitar muara Sungai Palu makin keruh, tangkapan Basri hanya bisa mengisi satu boks. Itu pun ikan layur yang menjadi targetnya ditangkap sekitar 5 kilometer dari muara. Padahal, pada era 1990-an, ikan masih melimpah hanya di pinggir-pinggir pantai Teluk Palu.
Air di sekitar pinggir pantai ini makin keruh. Ikan lari ke mulut teluk.
Air keruh tersebut dampak dari aliran sedimen (lumpur) Sungai Palu. Sungai besar itu menyumbang sedimen terbanyak ke Teluk Palu. Jejak lumpur terlihat jelas mengendap di pantai. Lumpur berwarna abu-abu kecoklatan tergenang di pantai di dekat muara. Jejak lumpur bahkan membekas di bongkahan batu tanggul.
Sedimen itu merusak karang, tempat ikan berkembang biak. Dengan kondisi itu, ikan memilih perairan lain yang karangnya masih bagus untuk berkembang biak. ”Air di sekitar pinggir pantai ini makin keruh. Ikan lari ke mulut teluk,” ucap Basri.
Arham (52), Ketua Himpunan Nelayan Teluk Palu, menyatakan, karena populasi ikan berkurang, banyak nelayan Teluk Palu memilih melaut di laut lepas, terutama ke Kabupaten Donggala Utara, sekitar 80 kilometer dari Palu. Dia pun berharap pemerintah menangani kerusakan ekosistem Teluk Palu dengan penanaman terumbu karang.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Arif Latjuba menyebutkan, sedimentasi di Teluk Palu membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, banyak biota laut yang makin banyak populasinya karena adanya makanan yang terbawa sedimen, seperti udang kecil.
Baca juga : Mereka Bergerak Menyelamatkan Teluk
Selama ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng menanam terumbu karang di sejumlah titik di Teluk Palu, antara lain di sekitar perairan Kelurahan Tipo dan Buluri di Kecamatan Ujuna. Untuk pengendalian sedimen, Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III membangun sabo dam di sejumlah sungai yang mengalir ke Sungai Palu.
Teluk yang jernih kini juga tinggal kenangan bagi Fredic Nicolaas (66), nelayan di Teluk Manado, Sulawesi Utara. Dia mengingat, teluk itu kondisinya pernah lebih jernih hingga dekade 1990-an. Saat itu, Manado belum sepadat sekarang. Area tangkapan air dalam kota belum berubah jadi permukiman. Belum ada pula area bisnis hasil reklamasi teluk yang sekarang menjadi kawasan bisnis Megamas dan Manado Townsquare. Saat itu pula air dari sungai relatif lebih jernih.
Kala itu, tak masalah bagi Fredic untuk berlayar 2-3 mil laut (3,7-5,5 km) saja karena ikan kerapu, kakap, tude (kembung), oci (selar), dan sebagainya akan terpancing oleh kailnya. Namun, karena teluk telah keruh, kini setidaknya ia harus berlayar lebih dari 8-9 mil laut (14,8-16,6 km).
Hal serupa diungkapkan Budi Arson, Ketua Kelompok Nelayan Tarusi di Kecamatan Sario, yang bermarkas di tepi pantai kawasan Megamas. Ia mengatakan hanya mampu menangkap maksimal 500 tude dan oci sekali melaut, dari pukul 18.00 hingga 04.30 Wita. Jumlah ini hanya setengah dibandingkan dengan tiga dekade lalu.
Baca juga : Sedimentasi di Teluk Manado Merusak Terumbu Karang
Minimal ia harus berlayar 10 km. Ikan tak lagi berkumpul di area gugusan terumbu karang yang semakin terimpit dan terkikis oleh material tembok penahan lahan reklamasi Manado Townsquare dan Megamas serta terkena sedimen.
Tekanan terhadap ekosistem terumbu karang terbukti dari hasil sementara penelitian terumbu karang Scientific Exploration of Manado Bay yang dijalankan sekelompok ilmuwan, salah satunya pengajar Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaluddin. Penelitian dilangsungkan di sepanjang pantai Teluk Manado yang terbagi menjadi delapan situs, mulai dari Pantai Malalayang hingga pantai utara.
Keruhnya air dari lima sungai yang bermuara di Teluk Manado adalah pertanda kasatmata sedimentasi. Memang, Teluk Manado tidak akan sekonyong-konyong mendangkal karenanya mengingat teluk itu sangat terjal dan dalam. Tim Rignolda juga belum mampu mengukur laju sedimentasi.
”Kami menemukan adanya tekanan terhadap terumbu karang seiring pembukaan lahan di daratan. Akibatnya, sedimen masuk melalui sungai-sungai, dan itu tampak di setiap lokasi. Kejadian ini makin parah karena kerap terjadi banjir yang membawa materi sedimen cukup besar,” kata Rignolda.
Baca juga : Teluk Nelangsa, Nelayan Merana
Kepala BWSS I Bastari mengatakan, pihaknya belum pernah secara khusus mengukur laju sedimentasi dari lima sungai yang bermuara di Teluk Manado. Namun, secara alami, sungai pasti akan membawa muatan sedimen dari hulu dan area tangkapan air di sekitarnya.
”Kalau ada perubahan lanskap yang tadinya hutan atau tegalan menjadi, misalnya, perumahan, pasti itu menambah sedimen. Akan ada guguran dari tebing-tebing sungai manakala belum ada penguatan,” kata Bastari.