Membalik Nestapa Menjadi Berkah
Sekelompok warga tak tinggal diam dengan masalah sampah yang merusak teluk. Tidak hanya menjawab langsung persoalan, mereka pun berupaya membalik nestapa itu menjadi berkah.
Sejumlah perempuan, mulai dari ibu-ibu hingga nenek-nenek, bergelut dengan sampah di pesisir Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara. Dari sampah plastik yang memenuhi teluk, pesisir, hingga tengah Kota Kendari, keranjang, vas bunga, hingga tas belanja pun tercipta. Mereka berupaya membalik nestapa sampah plastik di Teluk Kendari untuk menjadi berkah.
Memegang pisau kecil di tangan kanannya, Sabaniah (72) cekatan memotong alas dan mulut minuman kemasan. Dalam beberapa detik, kemasan plastik minuman itu tertinggal bagian tengahnya di tangan nenek 10 cucu ini. Sejurus kemudian, ia kembali mengambil kemasan lain untuk dipotong dengan model yang sama.
Di sore jelang petang, Sabtu (27/3/2021), Sabaniah bersama 11 perempuan lain sibuk mengolah sampah plastik kemasan. Setelah dibersihkan, plastik kemasan itu dikumpulkan sesuai jenis untuk diolah menjadi berbagai macam bentuk. Sabaniah bertugas memotong dan merapikan plastik kemasan.
”Dulu saya kerja di perusahaan kayu sampai bangkrut beberapa tahun lalu. Kerja saya potong kayu pakai gergaji mesin, jadi pegang pisau sudah biasa,” ceritanya sembari tertawa, menampilkan enam giginya yang masih tersisa.
Saban sore, Sabaniah bersama ibu-ibu lain yang tergabung dalam Bank Sampah Kelompok Perempuan Pesisir menuju tempat nongkrong mereka. Sebuah lahan milik seorang anggota kelompok dijadikan posko. Beratapkan tenda, bertiang bambu, dan beralas spanduk bekas, posko itu menjadi tempat mereka bekerja.
Kelompok yang baru terbentuk Januari lalu ini mengolah sampah plastik untuk dimanfaatkan kembali menjadi berbagai barang. Sabaniah yang bertugas memotong, ibu lain bertugas merakit, menjahit, atau mencuci botol. Dua orang anggota yang lain bertugas mengumpulkan sampah plastik.
Baca juga : Teluk-teluk di Ujung Tanduk
Semua anggota kelompok adalah perempuan, yang rata-rata telah memiliki cucu. Sebagian besar dari mereka juga bekerja hingga berusia lanjut. Di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, mereka bergabung dalam kelompok bank sampah untuk memanfaatkan potensi sekitar.
Anita Hayati (40) adalah anggota kelompok yang juga pemulung sampah. Saban hari, ia menyusuri pesisir, perkampungan warga, pasar, hingga rumah makan. Minuman kemasan, botol oli kosong, sedotan, dan berjenis-jenis plastik lain dikumpulkan. ”Tadi pagi saya jalan lagi. Terkumpul tiga karung. Alhamdulillah,” tuturnya.
Setelah menjual dua karung, cerita Anita, setengah dari hasil jualan ia simpan untuk kebutuhan hidup keluarga. Setengahnya lagi disisihkan untuk kebutuhan kelompok. Satu karung plastik yang diperoleh dari hasil memulung dibawa pulang. Plastik itu yang menjadi bahan baku untuk kerajinan.
Sore itu, kelompok ini membuat tas keranjang dari minuman kemasan. Sejumlah hasil kerajinan dipajang di atas meja. Vas beserta bunga, tas, dan keranjang berjejer. Hasil kerajinan ini menurut rencana diambil oleh Pemerintah Kota Kendari.
Peduli pesisir
Theresia, Ketua Bank Sampah Kelompok Perempuan Pesisir Cabang Lapulu, menjelaskan, bank sampah ini memang baru terbentuk dua bulan lalu. Akan tetapi, embrio kelompok perempuan telah lama ada di masyarakat. Ia, misalnya, telah mengikuti berbagai pelatihan kerajinan dan pengorganisasian kelompok. Ilmu yang diperoleh lalu disebarkan kepada anggota lain.
Dengan bank sampah, tutur Theresia, para perempuan memiliki aktivitas baru setiap hari. Selain keterampilan, mereka juga bisa mendapatkan penghasilan dari sampah, minimal untuk membeli bahan pokok.
Banyak sampah warga di kota yang tidak terbuang, masuk saluran, dan berujung ke teluk. Lebih baik kami ambil sebelum penuhi teluk.
Tidak hanya itu, mengolah sampah membuat lingkungan menjadi bersih. Salah satu permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir adalah sampah. Sampah yang tidak tertangani di lingkungan lalu memenuhi pesisir dan teluk. Akibatnya, teluk tercemar hingga biota laut terus berkurang.
Berdasarkan riset, total sedimentasi di Teluk Kendari mencapai 66 juta meter kubik. Sebagian besar sedimentasi ini berasal dari aliran 13 sungai yang bermuara di teluk, juga reklamasi. Diperkirakan sebanyak 4 persen dari total sedimentasi, atau sekitar 2,6 juta meter kubik, merupakan sampah plastik.
”Kami cari sampah tidak hanya di teluk, tapi sampai ke kota. Banyak sampah warga di kota yang tidak terbuang, masuk saluran, dan berujung ke teluk. Lebih baik kami ambil sebelum penuhi teluk,” kata Theresia.
Ketua Jaringan Perempuan Pesisir Sultra Mutmainnah menyampaikan, bank sampah adalah salah satu cara yang dilakukan untuk membersihkan kota. Selama ini, wilayah pesisir dan perkotaan dipenuhi sampah plastik.
Kelompok ini juga memberdayakan perempuan yang selama ini tidak mendapat tempat. Sebagian perempuan ini bekerja sebagai buruh kasar meski sudah berusia lanjut. Dengan mengolah sampah, mereka membersihkan lingkungan sekaligus mendapatkan manfaat.
Kami berupaya mengorganisasi agar mereka juga memiliki keahlian dan karya lain.
Kelompok perempuan ini, tutur Mutmainnah, juga memiliki koperasi yang beranggotakan 40 orang. Mereka memiliki iuran awal sebesar Rp 100.000. Setelahnya, iuran setiap bulan sebanyak Rp 5.000 per orang.
Sebagian penghasilan dari bank sampah dimasukkan ke koperasi. Nantinya koperasi akan bekerja sama dengan pemerintah, khususnya mengenai pengadaan sembako. Dari situ, diharapkan ibu-ibu ini tidak kelimpungan lagi terkait pemenuhan kebutuhan makan harian.
”Kami juga menggandeng ibu-ibu pemulung sampah laut di Bungkutoko, Abeli. Mereka memang tiap hari mencari sampah di laut dengan sampan. Kami berupaya mengorganisasi agar mereka juga memiliki keahlian dan karya lain,” tuturnya.
Teluk Jayapura
Inisiatif menyelamatkan teluk dalam wujud lain juga dilakukan komunitas Rumah Bakau Jayapura (RBJ). Sejak berdiri tahun 2018, komunitas ini telah menggelar ratusan kegiatan konservasi lingkungan secara sukarela. Salah satu kegiatan yang gencar dilaksanakan adalah penyelamatan Teluk Jayapura dari sampah dan pendangkalan.
Komunitas yang memiliki anggota sebanyak 60 orang ini menggelar kegiatan konservasi lingkungan di kawasan mangrove, sungai, hutan penyangga Cagar Alam Cycloop, dan pesisir Jayapura. Pada 24 Maret 2021, saat RBJ berulang tahun yang ketiga, mereka menanam 100 bibit berbagai jenis pohon di kawasan perbukitan.
”Kami menemukan di banyak lokasi di kawasan penyangga Cycloop terjadi perambahan hutan untuk kegiatan perladangan. Padahal, kawasan ini berfungsi sebagai daerah resapan air. Hal ini menyebabkan rawan terjadi tanah longsor saat hujan deras,” tutur Theresia Paganggi, salah seorang koordinator RBJ.
Baca juga : Teluk Jayapura Kritis akibat Sedimentasi dan Sampah
Theresia Paganggi mengungkapkan, longsoran tanah dari areal hutan penyangga Cycloop masuk ke sungai-sungai yang bermuara di perairan Jayapura. Hal inilah yang menyebabkan sedimentasi di Teluk Jayapura.
Dari data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua, sekitar 3.000 hektar lahan terdegradasi di kawasan Cagar Alam Cycloop dan penyangganya. Penyebabnya, perambahan dan faktor alam. Indikasi degradasi lahan di Kota Jayapura berada di daerah Buper Waena, Bhayangkara, Pasir Dua, dan Kampwolker. Sementara di Kabupaten Jayapura, degradasi lahan dominan terjadi di Sereh dan Doyo.
Selain menanam pohon, komunitas RBJ juga sering terlibat dalam kegiatan membersihkan pantai dari sampah. Pada 12 Maret 2020, tujuh pengurus RBJ menggandeng 30 mahasiswa Politeknik Kesehatan Jayapura untuk membersihkan pantai di kawasan Teluk Youtefa. Saat itu, dalam waktu 30 menit saja, mereka menemukan 400 botol dan 25 kilogram sampah plastik.
”Kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya masih rendah. Karena itu, kami secara rutin membersihkan pantai setiap pekan. Aksi ini sebagai bagian kampanye laut Jayapura bukan tempat sampah,” ujar Theresia Paganggi.
Baca juga : Teluk Nelangsa, Nelayan Merana
Ketua Lembaga Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir Papua Yehuda Hamokwaron memaparkan, terdapat sembilan sungai yang bermuara di Teluk Youtefa dan Teluk Yos Sudarso di Kota Jayapura. Aliran dari sembilan sungai ini tidak hanya membawa sampah, tetapi juga tanah dari kawasan penyangga Cycloop.
Dari hasil temuan Lembaga DAS dan Pesisir Papua, lanjut Yehuda, terjadi erosi tanah lempung dari kawasan penyangga Cycloop sebanyak 3 ton per hektar per tahun. Erosi dipicu pembukaan areal hutan secara masif untuk pembangunan kompleks perumahan dan ladang.
Karena itu, upaya yang dilakukan warga di Kendari dan Jayapura dalam mengerem laju kerusakan teluk patut diapresiasi. Mereka bergerak menjaga harapan kelestarian teluk yang dicintai.