Jaga Hutan, Masyarakat Adat Kinipan Bangun Rumah Jaga
Komunitas Adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, kehilangan hutannya setelah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Sampai saat ini, baik perusahaan maupun komunitas adat, masih saling klaim.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat adat Laman Kinipan membangun tiga rumah jaga di hutan adat yang mereka klaim sebagai wilayah kelola masyarakat adat di Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Rumah jaga itu dibuat untuk menjaga aktivitas alih fungsi lahan oleh perusahaan perkebunan sawit yang selama ini berkonflik dengan warga.
Masyarakat adat Kinipan sudah berkonflik dengan salah satu perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Lamandau sejak 2016. Saat perusahaan hendak membuka lahan, beberapa kali warga mencoba menghadang dan menghentikan aktivitas perusahaan, tetapi berujung pada penangkapan beberapa warga dari Komunitas Adat Laman Kinipan, termasuk Ketua Adat Laman Kinipan Effendi Buhing (Kompas, 27 Agustus 2020).
Hingga kini, pertemuan demi pertemuan digelar, bahkan beberapa kali pejabat pusat datang ke Lamandau untuk mencoba mencari jalan keluar, tetapi menemui jalan buntu. Masyarakat adat yang ingin diakui pun memilih jalannya sendiri dalam menjaga hutan adat mereka, salah satunya dengan membangun rumah jaga.
Ketua Adat Laman Kinipan Effendi Buhing menjelaskan, pembangunan tiga rumah jaga itu sudah dimulai sejak awal April lalu. Pembangunannya dibuat bertahap. Rumah jaga pertama dibangun dengan jarak 300 meter saja dari kebun sawit milik perusahaan perkebunan. Rumah jaga yang kedua dan ketiga dibuat di batas barat dan batas timur hutan adat Kinipan.
”Kami mencoba taat aturan, tetapi aktivitas perusahaan jalan terus, makanya kami buat rumah ini supaya bisa memantau. Ini kami sebut juga rumah keramat,” kata Buhing saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa (13/4/2021).
Buhing menambahkan, pihaknya masih berpikir positif terhadap upaya pemerintah untuk mencari solusi dalam konflik di Kinipan. Namun, konflik terus berlanjut tanpa ada penyelesaian.
”Harapan kami, pemerintah segera melakukan validasi dan verifikasi hutan adat kami. Sedari awal keinginan kami hutan adat bukan hutan desa seperti yang ditawarkan pemerintah selama ini,” kata Buhing.
Dalam skema perhutanan sosial, hutan desa menjadi salah satu pilihan. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, hingga kini terdapat 151 izin pengelolaan yang diberikan kepada masyarakat di Kalteng dengan total luas lahan 205.381,95 ha. Rinciannya, 28 hutan desa seluas 79.531 ha, 69 hutan kemasyarakatan (68.107,99 ha), 51 hutan tanaman rakyat (57.640,96 ha), dan 1 hutan adat (102 ha).
”Kami tidak anti-investasi, tetapi kami hanya menjaga apa yang diberikan oleh nenek moyang kami,” ungkap Buhing.
Dalam proses pembuatannya, beberapa lembaga adat Dayak pun hadir, seperti Lembaga Tariu Borneo Bangkule Rajank, sebuah lembaga adat yang struktur organisasinya mengikuti aturan adat Dayak. Salah satunya adalah Hulu Balang atau raja kecil di Kabupaten Lamandau Rudi Pervito.
Menurut Rudi, pihaknya sudah melakukan perundingan dengan berbagai pihak untuk percepatan pengakuan hutan adat. Ia meyakini jika hutan adat disahkan sesuai dengan sejarah adat, maka tidak akan ada konflik lagi di Kinipan.
”Masyarakat jangan terpancing adu domba, harus tetap teguh dan mengikuti aturan. Di sisi lain juga tetap berjuang untuk menjaga wilayahnya,” kata Rudi.
Menurut Rudi, batas wilayah kelola adat tidak ditentukan sembarangan. Batas yang digunakan masyarakat adat Dayak mengikuti batas alam, seperti batu, sungai, dan pepohonan. ”Jadi, yang bisa menyelesaikan batas adat itu, ya, orang adat di sekitar situ, bukan orang lain. Pemerintah malah harus bertanya dulu ke masyarakat,” ungkapnya.
Masyarakat jangan terpancing adu domba, harus tetap teguh dan mengikuti aturan. Di sisi lain juga tetap berjuang untuk menjaga wilayahnya.
Sebelumnya, masyarakat adat Laman Kinipan sempat menggugat Pemerintah Kabupaten Lamandau karena lalai dalam mengesahkan hutan adat dan mengakuinya. Gugatan itu kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara lantaran pemerintah daerah terbukti sudah membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat (PMHA).
Direktur Save Our Borneo Safrudin menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014, Panitia MHA memiliki limit waktu dalam melaksanakan tugas-tugasnya mulai dari kegiatan identifikasi, verifikasi, dan validasi hingga terbitnya SK Bupati tentang Pengakuan MHA. Namun, hingga kini pembentukan panitia itu terkesan hanya memenuhi syarat gugatan di PTUN saja.
”Panitia MHA Kabupaten Lamandau diharapkan dapat bekerja dengan serius dalam proses pengakuan MHA di Kinipan. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu mengedepankan prinsip pemerintahan yang baik (good governance) agar masyarakat adat di Kinipan memperoleh kepastian atas hak-hak mereka,” kata Safrudin.