Gempa boleh meluluhlantakkan bangunan dan mencabik-cabik perasaan. Namun, ia tak pernah bisa mengubur rasa cinta dan kepedulian di antara kita, sesama anak manusia. Solidaritas tak pernah mati meski dibelit pandemi.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Bukan cinta namanya kalau hanya berdiam diri saja seperti padang pasir, atau menjelajahi dunia seperti angin. Bukan pula cinta namanya kalau hanya memandang segala sesuatu dari kejauhan. (Paulo Coelho)
Sabtu (10/04/2021), sekitar pukul 14.00, saat orang sibuk beraktivitas, tiba-tiba bumi berguncang. Tembok-tembok bergoyang bak ayunan, tanah bergelombang bak kain dikibaskan. Bangunan luluh lantak, orang-orang semburat ketakutan, dan beberapa di antaranya harus menyerahkan hidup kepada Sang Penguasa Alam karena tak mampu bertahan.
Sukacita menikmati siang yang cerah berganti dengan duka. Rumah yang sudah dibangun dengan tabungan selama bertahun-tahun remuk tak bersisa.
”Rumah ini hasil saya nabung sedikit-sedikit selama 10 tahun. Jadinya seperti ini,” kata seorang ibu warga Desa Kaliuling, Kecamatan Tempursari, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Minggu (11/4/2021).
Dalam kepedihannya, ia mencoba memunguti barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Dengan dibantu suami dan keluarganya, ia mencoba menarik sesuatu dari balik reruntuhan. Namun, hal itu dibatalkan karena kesulitan. Ia kemudian berputar ke belakang reruntuhan, mengambil baju dan benda-benda lain yang bisa dipindahkan.
Liani (45), warga Desa Kaliuling lainnya. pun demikian. Sambil takut-takut, ia mencoba masuk ke dapur rumahnya yang tersisa untuk mengambil sesuatu. ”Saya ingin mengambil air bersih. Kemarin saya masak air sebelum kejadian. Selanjutnya, tanah seperti terangkat dan bergerak-gerak tak keruan. Menakutkan,” katanya dengan raut muka cemas.
Rumah Liani merupakan satu di antara 300-an rumah rusak akibat gempa di Kabupaten Lumajang. Tersisa bagian dapur, itu pun retak dan tak mungkin lagi ditinggali. Saat ini, ia tinggal seadanya di teras rumah tetangganya yang masih utuh.
Kepedihan dirasakan oleh ribuan orang pada hari yang tak dapat diduga itu. Siang yang tenang berubah menjadi tak terlupakan.
Namun, rasa ketakutan dan tidak percaya akan bencana yang begitu tiba-itu itu tak menutup rasa kemanusiaan di antara mereka. Lihat saja, mereka yang rumahnya relatif masih bagus dengan sukarela menampung tetangganya untuk tinggal sementara.
Bahkan, meski mereka sendiri juga korban gempa, mereka pun dengan sukacita membuat dapur umum untuk satu RT. Wajah-wajah riang gembira mereka seakan mengikis rasa kaget dan nelangsa akibat rumah rusak.
”Iya, ini masak untuk satu RT. Masak untuk dimakan bersama-sama. Bahan makanannya, ya, dapat dari orang-orang dan dari desa,” kata Bandi (41), warga RT 003 RW 003 Dusun Iburojo Halimo, Desa Kaliuling. Ya, sekitar rumah Bandi memang menjadi salah satu lokasi dapur umum untuk warga.
Di antara rasa duka yang masih membayang, senyum dan keceriaan mereka memasak bersama-sama tetap terpancar dengan indahnya. Canda tawa dan saling olok di antara ibu-ibu RT 003 tersebut menggambarkan betapa masyarakat kita begitu kuatnya.
Mereka sadar bahwa canda tawa akan mengikis luka dampak gempa. Mereka paham, harta benda yang ditabung bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Namun, setidaknya, mereka bersyukur karena nyawa masih terselamatkan. Tidak seperti tiga warga lanjut usia di desa itu yang meninggal karena tertimpa reruntuhan rumah.
Gempa kali ini juga menunjukkan bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Jika bukan tetangga, kita tetap akan butuh keluarga untuk menopang di saat-saat sulit seperti yang dirasakan warga Desa Kaliuling saat ini.
Eka (40), misalnya, sehari setelah gempa tampak mengemas dan mengambili barang-barang di antara reruntuhan rumahnya. Ia menatanya di sebuah mobil bak terbuka, dibantu ayah dan kerabatnya.
”Untuk sementara ini saya akan tinggal di rumah bapak saya, tak jauh dari sini. Rumah saya sudah seperti itu, tak bisa ditinggali. Belum tahu nanti ke depan seperti apa, semoga ada bantuan dari pemerintah untuk bisa membangun rumah ini kembali,” kata Eka.
Gempa kali ini juga menunjukkan bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian.
Sunar (89), lelaki renta yang hanya tinggal berdua dengan istrinya yang sudah mulai sulit berjalan, beruntung masih diberikan anak-anak yang perhatian. Anaknya yang tinggal di Pujiharjo, Kabupaten Malang, tak jauh dari rumahnya, datang untuk menengoknya begitu ada kabar gempa besar merusak banyak rumah.
”Tadi saya bawakan makanan dan minuman dari rumah. Habis di sini tidak ada apa-apa, jadinya kami bawakan. Rumah Bapak hancur rata dengan tanah seperti itu, tak bisa ditinggali. Biarlah sementara tinggal di tenda pinggir jalan seperti ini. Semoga segera ada bantuan dan Bapak bisa membangun rumah tinggalnya kembali,” kata Yati, anak Sunar.
Belakangan, bantuan dari berbagai pihak pun mengalir untuk korban gempa. Hal ini membuktikan, solidaritas bangsa ini tak pernah mati meski dibelit pandemi. Gempa boleh meluluhlantakkan bangunan dan mencabik-cabik perasaan. Namun, ia tak pernah bisa mengubur rasa cinta dan kepedulian di antara kita, sesama anak manusia.