Waspadai Gempa Berulang di Lampung, Mitigasi Minimalkan Risiko
Gempa tektonik berkekuatan M 5,2 melanda Kabupaten Tanggamus, Lampung, Senin (12/4/2021) pukul 08.52. Masyarakat perlu mewaspadai terjadinya keberulangan gempa di Lampung.
Oleh
VINA OKTAVIA
·5 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Gempa tektonik berkekuatan M 5,2 melanda Kabupaten Tanggamus, Lampung, Senin (12/4/2021) pukul 08.52. Meskipun dirasakan hingga Kabupaten Lampung Barat, gempa dilaporkan tidak berdampak serius di sekitar sumber gempa. Masyarakat perlu mewaspadai terjadinya keberulangan gempa di Lampung.
Berdasarkan peta tingkat guncangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kekuatan guncangan gempa di Liwa dan Tanggamus mencapai skala intensitas II MMI (Modified Mercalli Intensity). Sejumlah warga merasakan guncangan gempa selama beberapa detik. Benda-benda ringan yang digantung di dalam rumah, seperti lampu, ikut bergoyang.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bambang S Prayitno menjelaskan, berdasarkan episenter dan kedalaman hiposenternya, jenis gempanya menengah akibat aktivitas subduksi.
Pusat gempa berada pada koordinat 5,62 Lintang Selatan dan 104,55 Bujur Timur, tepatnya berada pada jarak 21 kilometer (km) arah barat daya Kota Agung, Kabupaten Tanggamus, dengan kedalaman 110 km. Gempa tidak berpotensi menimbulkan tsunami.
Dalam dua hari terakhir, Kabupaten Tanggamus sudah dua kali dilanda gempa tektonik. Sehari sebelumnya, wilayah itu juga diguncang gempa berkekuatan M 4,8 pada Minggu (11/4/2021) pukul 17.44. Gempa juga dirasakan hingga Lampung Barat.
Pengamat meteorologi dan geofisika muda BMKG Kegempaan Lampung, Rudianto, menuturkan, kejadian gempa berulang yang mengguncang Tanggamus bersumber dari zona subduksi yang sama. Namun, ditinjau dari pusat gempanya, lokasi kedua gempa itu berjauhan.
Gempa pertama berpusat pada koordinat 6,33 Lintang Selatan dan 104,66 Bujur Timur, tepatnya pada jarak 94 km barat daya Tanggamus. Kedalamannya 26 km di bawah permukaan laut.
Gempa berulang juga pernah melanda Kabupaten Pesawaran, Lampung, pada 6-8 Januari 2021. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat, terjadi 17 kali rentetan gempa selama tiga hari. Dari 17 gempa, hanya dua kejadian yang dirasakan warga.
Rentetan gempa yang terjadi di Pesawaran memiliki kedalaman dangkal atau kurang dari 10 km. Rentetan gempa ini diduga akibat pergerakan sesar lokal yang berada di wilayah tersebut. Gempa diduga kuat berasal dari aktivitas Sesar Menanga (Menanga Fault).
Rawan gempa
Menurut Rudianto, Lampung merupakan wilayah dengan aktivitas kegempaan tinggi. Kondisi itu dipengaruhi aktivitas subduksi Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-Australia. Zona subduksi lempeng inilah yang menjadi jalur-jalur pusat gempa tektonik di Lampung.
Selain dekat dengan zona subduksi, Lampung juga dilewati sesar tektonik aktif yang membentang dari ujung Aceh hingga Selat Sunda. Kawasan itu dikenal sebagai Sesar Besar Sumatera.
Panjang sesar aktif tersebut diprediksi sekitar 1.900 km, yang terbagi menjadi 19 segmen utama. Tiga segmen utama yang melewati Lampung adalah Kumering, Semangko, dan Sunda.
Lampung juga masih memiliki sesar aktif lain, di antaranya Sesar Tarahan dan Sesar Menanga. Sesar Tarahan berada di sepanjang pantai bagian timur Teluk Lampung. Sesar ini menerus ke daratan Sumatera melalui daerah Tarahan, Panjang, dan lereng timur Gunung Rajabasa, bahkan diperkirakan menerus ke perairan Selat Sunda.
Keberadaan sesar aktif inilah yang memicu terjadinya gempa di sekitar wilayah Lampung. ”Potensi gempa bumi di wilayah Lampung akan terus ada sehingga tidak heran apabila Lampung sering diguncang gempa walaupun sebagian gempa tidak dirasakan oleh masyarakat dan hanya tercatat pada alat seismometer,” papar Rudianto saat dihubungi Kompas dari Bandar Lampung, Senin (12/4/2021).
Berdasarkan data yang dihimpun BMKG, sedikitnya enam kali kejadian gempa merusak di wilayah Lampung dan sekitarnya selama periode 1852 hingga 1994. Gempa merusak terakhir terjadi di Liwa, 15 Februari 1994. Gempa itu menewaskan 207 orang dan 2.000 orang luka-luka. Gempa itu juga memicu longsor.
Menurut Rudi, aktivitas sesar besar Sumatera itulah yang memicu gempa Liwa pada 1994, tepatnya pada segmen Kumering. Segmen ini pula yang telah menyebabkan peristiwa gempa dengan kekuatan M 7,5 di Liwa, 25 Juni 1933.
Selain dua gempa itu, peristiwa gempa yang merusak rumah dan bangunan di Lampung yang tercatat BMKG pernah terjadi pada 9 Januari 1852 dan 25 September 1931. Gempa berkekuatan M 6,5 juga pernah melanda Kota Metro dan Bandar Lampung pada 27 Desember 1985.
Pada 29 Januari 1986, gempa merusak juga mengguncang wilayah Lahat, Pagar Alam, dan Muara Enim (Sumatera Selatan). Gempa itu tercatat menimbulkan dua korban luka.
Gempa megathrust juga diprediksi berpotensi terjadi di wilayah Lampung dan sekitarnya. Berdasarkan prediksi BMKG, gempa berkekuatan M 8,7 berpotensi terjadi di Selat Sunda. Gempa itu dapat menimbulkan tsunami dan diperkirakan merusak kawasan pesisir Jawa Barat, Banten, Lampung, dan Bengkulu.
Prediksi gempa itu diperoleh dari pengukuran zona kesenjangan gempa atau seismic-gab. Potensi luas patahan gempa yang terukur mencapai 600 km x 180 km. Meski demikian, belum diketahui secara pasti kapan gempa itu terjadi (Kompas, 24 Mei 2016).
Mitigasi
Kendati belum dapat diprediksi, gempa merupakan peristiwa dengan periode berulang yang bisa kembali terjadi di kemudian hari. Gempa memiliki jalur tertentu, yaitu antara batas pertemuan lempeng-lempeng tektonik dan sesar-sesar aktif. Dengan begitu, pemahaman masyarakat terhadap kondisi wilayah tempat tinggalnya menjadi hal penting.
”Peristiwa gempa bumi yang kerap terjadi menyadarkan bahwa daerah yang kita tinggali ini adalah daerah rawan gempa. Maka dari itu, sudah saatnya kita mempersiapkan diri,” ujarnya.
Dosen Program Studi Teknik Geofisika Institut Teknologi Sumatera (Itera), Erlangga Ibrahim Fattah, mengatakan, sejak 2020, pihaknya bekerja sama dengan BMKG melakukan sejumlah riset terkait kegempaan di Lampung. Pusat Riset BMKG-Itera melakukan penelitian untuk menentukan titik pusat gempa.
Penelitian ini bertujuan untuk mementukan lokasi hiposenter kegempaan agar lebih presisi. Selain itu, pihaknya juga melakukan kajian terkait potensi kegempaan di Lampung berdasarkan data sejarah terjadinya gempa di Lampung.
Menurut dia, mitigasi gempa merupakan kunci utama untuk memperkecil risiko jatuhnya korban jiwa akibat gempa. Masyarakat harus memahami langkah yang harus dilakukan sebelum, saat, dan setelah terjadi gempa.
Selama ini, sebagian besar korban jiwa akibat gempa disebabkan tertimpa bangunan yang runtuh. Karena itu, masyarakat harus dilatih untuk memahami cara berlindung yang tepat saat terjadi gempa.
Ia menambahkan, masyarakat sebaiknya tetap tenang dan mengikuti jalur evakuasi saat berada di dalam bangunan ketika gempa melanda. Peristiwa gempa di masa lalu sudah semestinya menjadi pengingat agar masyarakat lebih mewaspadai potensi terjadinya bencana serupa di kemudian hari.