Teluk Jayapura Kritis akibat Sedimentasi dan Sampah
Pendangkalan terjadi di Teluk Jayapura selama 20 tahun terakhir karena penumpukan lumpur dan sampah rumah tangga.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Perairan di Teluk Jayapura, Provinsi Papua, terancam pendangkalan akibat tumpukan sampah rumah tangga dan sedimentasi lumpur. Terjadi pendangkalan dengan jarak sekitar 100 hingga 500 meter dari garis pantai.
Terdapat dua teluk di Perairan Jayapura, yakni Teluk Humboldt atau biasa juga disebut Teluk Yos Sudarso dan Teluk Youtefa. Masalah pendangkalan terjadi di perairan yang berada di dua teluk tersebut.
Dari pantauan Kompas pada Jumat (26/3/2021), pendangkalan terjadi di wilayah perairan Teluk Humboldt di Jalan Sam Ratulangi. Air berwarna keruh dan sampah plastik yang menumpuk.
Sampah dan lumpur berasal dari Sungai Anafre yang bermuara di perairan tersebut. Berdasarkan kesaksian dari nelayan setempat, pendangkalan terjadi di area tersebut hingga sekitar 300 meter dari bibir pantai.
Sementara di Dermaga Abesau yang melayani pelayaran tradisional di Teluk Youtefa terjadi juga masalah pendangkalan hingga 500 meter dari bibir pantai. Kondisi ini tampak di lokasi perahu motor berlabuh di mana kedalaman air turun dari 4 meter menjadi 1,5 meter saja.
Tampak air berwarna kecokelatan dan sampah plastik menumpuk di perairan tersebut. Sampah dan lumpur berasal dari Sungai Acai yang bermuara di Teluk Youtefa.
Ketua Lembaga Daerah Aliran Sungai dan Pesisir Papua Yehuda Hamokwaron mengatakan, masalah pendangkalan di kedua teluk ini terjadi sejak 2001. Pada masa itu, mulai terjadi pembangunan masif di kawasan penyangga Cagar Alam Cycloop dan pinggiran daerah sungai yang bermuara di perairan Teluk Yos Sudarso dan Teluk Youtefa.
Ia mengungkapkan, penyebab pendangkalan di perairan Teluk Youtefa dan Teluk Yos Sudarso akibat erosi tanah lempung dari kawasan penyangga Cycloop yang mencapai 3 ton per hektar per tahun. Selain itu, pendangkalan juga disumbang oleh sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai.
”Kondisi ini mengakibatkan dua ekosistem di teluk terganggu karena tertutup lumpur dan sampah, yakni padang lamun dan terumbu karang. Padahal, dua ekosistem itu tempat ikan bertelur,” ungkap Yehuda.
Ia berharap ada regulasi yang tegas dan menyinergikan penyelamatan kawasan penyangga Cyloop dan pesisir Jayapura. Upaya ini untuk menghentikan pembukaan lahan di kawasan penyangga dan membuang sampah ke sungai.
”Tanpa adanya gerakan perubahan, luas perairan di kedua teluk ini akan terus berkurang dalam 10 tahun mendatang. Para nelayan tradisional pun akan beralih profesi karena kesulitan mendapatkan ikan,” tutur dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Geografi Universitas Cenderawasih, Jayapura, ini.
Baigo Hamuna, dosen Jurusan Kelautan dan Perikanan Fakultas MIPA Universitas Cenderawasih, menambahkan, pihaknya menemukan fenomena akresi atau penambahan luas garis pantai akibat proses sedimentasi yang mencapai 6,28 meter per tahun di wilayah Perairan Jayapura.
”Kami mengambil data berdasarkan penelitian fenomena akresi dari tahun 2003 hingga 2017. Kondisi ini akan berdampak besar bagi biota laut,” papar Baigo.
Belum tertangani
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Jayapura Agustinus Ondi memaparkan, total sampah per hari di Kota Jayapura 253 ton. Namun, hanya 215 ton sampah yang tertangani.
”Sampah yang tidak tertangani berada di saluran drainase, sungai, hingga perairan Jayapura. Hal ini disebabkan minimnya kesadaran warga untuk membuang sampah di tempat yang telah disediakan,” tutur Agustinus.
Ia pun mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Jayapura telah menyiapkan 843 tenaga kebersihan. Selain itu, ada pula fasilitas untuk penanganan sampah, yakni 43 truk, 14 motor dengan bak pengangkut sampah, dan tiga perahu motor untuk membersihkan sampah di perairan Jayapura.
”Kami telah menyiapkan sanksi denda sebesar Rp 5 juta dalam Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Lingkungan dan Kebersihan. Sanksi itu bagi warga yang sembarangan membuang sampah dan tidak sesuai waktunya, yakni pukul 18.00 hingga 03.00,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Yan Yap Ormuseray mengatakan, sekitar 3.000 hektar lahan terdegradasi di kawasan Cagar Alam Cycloop dan penyangganya. Penyebabnya, perambahan dan faktor alam.
Yan menuturkan, indikasi degradasi lahan di Kota Jayapura terjadi di daerah Buper Waena, Bhayangkara, Pasir Dua, dan Kampwolker. Sementara di Kabupaten Jayapura, degradasi lahan dominan terjadi di Sereh dan Doyo.
”Kami bersama sejumlah pihak terkait akan melaksanakan rehabilitasi, tidak hanya berpusat di kawasan Cycloop dan penyangganya yang mengalami degradasi lahan,” ujarrnya.